Pagi ini aku berusaha tampak baik-baik saja di depan ibuku. Pelan-pelan aku mengangkat sendok makan. Menyembunyikan tangan kananku yang sebetulnya gemetaran dan ngilu setengah mati.
"Udah ibu pulang kerumah aja. Aku nggak apa-apa. Kan ada suster." Kataku.
Ibuku menggeleng keras kepala.
"Bu, aku beneran nggak apa-apa. Lagian kata dokter kan besok aku sudah boleh pulang." Aku memaksa beliau.
Butuh waktu lama sampai ibuku terbujuk rayuanku. Emang dasarnya aku nggak jago merayu seperti Abimayu. Ibuku akhirnya pulang kerumah setelah semalaman nggak bisa tidur karena menjagaku. Apalagi ibuku kemarin juga langsung datang ke rumah sakit tanpa membawa apa-apa. Jadi beliau belum mandi dan ganti pakaian dari kemarin.
Aku menghabiskan waktu dengan tidur sampai menjelang sore. Soalnya aku memang nggak bisa ngapa-ngapain. Aku belum pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya. Ternyata begini ya rasanya di rumah sakit, bosan.
Satu-satunya hiburanku hanyalah Saga yang datang mengjenguk sepulang sekolah. Dia membawakanku banyak roti yang kemudian ia tumpuk di meja pasien.
"Saga datang sendirian?" Aku melongokan kepala ke belakang punggung Saga. Mencari keberadaan teman-temanku yang lain.
"Ya. Abimayu, Adnan, Yugo, Yunan, dan teman-temanmu titip salam. Mereka nggak bisa jenguk karena ada acara. Roti ini juga sebagian dari mereka."
Aku langsung mengeryitkan wajah. Menurutku, teman-temanku (terutama May) memang sengaja membuat Saga datang sendirian kesini. Aku jadi malu sendiri karena menebak-nebak alasan mereka sengaja ngelakuin itu.
"Kamu nggak doyan makanan rumah sakit?" Tanya Saga sambil mengecek kotak makan siang rumah sakitku yang nyaris utuh.
Aku menggeleng.
"Ternyata ada juga makanan yang kamu nggak doyan." Saga tersenyum separo. Tiba-tiba Saga mengeluarkan sekotak nasi goreng seafood dari dalam tasnya.
Aku menatapnya takjub. Berapa banyak makanan yang Saga bawa? Aku nggak tau karena Saga terus-menerus mengeluarkan makanan dari dalam tasnya seperti itu kantung ajaib Doraemon.
Kukatakan saja pada Saga, kalau ia harusnya jangan terlalu baik padaku. Aku jadi kebanyakan hutang budi dan hutang sebanyak itu susah untuk di ganti. Bukannya setuju, Saga malah menjawab, "Memberi kesempatan orang lain untuk membantu itu juga salah satu bentuk kebaikan."
Ucapan Saga membuatku bengong. Kalimat secanggih itu sama sulit dicernanya seperti rumus Matematika. Jadi aku hanya bisa merespon dengan, "A...Apa?"
"Maksudku, ayo cepetan makan. Nggak usah mikirin soal hutang budi."
"Oh." Jawabku bodoh, "I..iya."
Aku menunggu Saga meletakan kotak sterofoam itu kedepanku, tapi nyatanya Saga tidak melakukannya. Ia malah menyuapkanku nasi seperti aku anak kecil. Aku nyaris pingsan saking malunya. Masalahnya disaat aku gelagapan salah tingkah, Saga justru bersikap biasa. Seakan-akan ia sudah biasa menyuapiku setiap hari di kelas.
"Ayo makan." Paksa Saga, "Setelah itu minum obat."
"Aku bisa makan sendiri." Aku menggeleng keras-keras.
"Pergelangan tangan kananmu retak kan?"
"Aku bisa makan pakai tangan kiri kok." Aku ngotot.
Saga menghela nafas lalu menyodorkan sesendok nasi pada tangan kiriku. Aku segera mengambil sendok yang di sodorkan Saga. Rasanya aneh memegang sendok dengan tangan kiri (di infus pula). Setelah itu, aku sukses menumpahkan separuh sendok nasi goreng ke bajuku. Tanpa ekspresi, Saga langsung memunguti nasi yang kutumpahkan. Seakan lagi-lagi ia sudah tau bakal jadi begini.
"Nurutin apa yang kuminta juga termasuk salah satu bentuk balas budi." Kata Saga sambil menyendokkan nasi ke bibirku, setelah ia selesai membersihkan tumpahan nasi.
"Ah masa' iya?" Aku tak percaya.
Ekspresiku membuat Saga tertawa geli. Akhirnya mau nggak mau aku terpaksa disuapi oleh Saga. Melihat kesabaran dan cara Saga menyuapiku membuatku ingat papaku. Ini sesuatu yang kubayangkan akan dilakukan oleh papaku jika beliau masih hidup.
Kali ini aku gagal mengatur nafasku. Aku nggak bisa lagi pura-pura tidak peduli. Pipiku merah dan perutku terasa diaduk-aduk lebih parah dari biasanya. Aku jadi tak tahan untuk tidak bertanya, "Kenapa Saga beli banyak donatku setiap hari? Kenapa Saga marah waktu aku jatuh? Kenapa Saga sampai mau mukul Yano? Kenapa Saga selalu baik padaku?"
Saga terdiam beberapa saat sambil menatap mataku tajam. Aku tak berani balik menatap matanya. Karena kalau aku sampai berani, jantungku pasti rontok.
"Aku dengar kamu berantem sama Yano dan teman-temannya karena kamu belain aku. Itu benar?" Saga malah bertanya balik.
"Nngg, Iya." Aku mengangguk gugup.
"Kenapa?"
"Aku nggak suka mereka jelek-jelekin Saga di depanku."
Bibir Saga tersenyum kembali. Saga terlalu mempesona. Caranya tersenyum dan bersikap langsung membuatku tak bisa apa-apa.
"Tangan?" Bisik Saga.
"Eh? Oh, apa?" Aku tersadar sesaat dari pesonanya. Kok bisa-bisanya di saat seperti ini Saga memintaku bertingkah seperti kucing.
"Tanganmu." Saga mengulurkan telapak tangannya lebih dekat padaku.
Biasanya Saga membiarkanku meletakan jari di telapak tangannya selama beberapa detik sebelum Saga menarik tangannya kembali. Tapi kali ini Jariku di genggam lembut Saga.
"Kenapa aku ngelakuin itu semua buatmu?" Saga menatapku sambil tertawa, "Apa kamu beneran nggak sadar? Aku suka kamu, Jo. Daridulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia Saga (Completed)
Teen FictionRank 1# on innocent & first love and realistic fiction There's nothing like the innocence of first love..... This work dedicated for people who likes pure, sweet, stupid, innocent love story Enjoy! Thanks for reading and please dont copy my story...