"Kenapa tadi sore teleponmu nggak bisa di hubungi?" Tanya Saga selesai kami memilih menu makan malam.
"Handphoneku rusak. Tadi ke siram." Jawabku tanpa pikir panjang.
Jawabanku langsung membuat Saga menggertakan gigi jengkel. Aku buru-buru melanjutkan, "Secepatnya aku pasti beli yang baru kok, Saga. Aku kan punya tabungan.""Untuk sementara kamu pakai ini dulu." Saga menyodorkan handphonenya.
Aku buru-buru menggeleng, "Tapi aku bisa beli handphone sendiri."
"Siapa bilang ini kukasih? Ini kupinjamkan. Makanya segera beli handphone yang baru." Bibir Saga melengkung cemberut.
"Terus gimana caranya orangtuamu ngehubungi Saga, kalau Saga nggak bawa handphone?" Tanyaku khawatir.
"Aku punya satu lagi." Saga menjawab dengan cepat,"Ibumu kan lagi di luar kota beliau pasti khawatir kalau kamu nggak bisa di hubungi."
"Aku ada telepon rumah kok."
"Tetap bahaya Jo. Kamu anak perempuan. Tinggal sendirian. Kalau ada apa-apa bagaimana?" Bentak Saga.
Aku langsung mengkeret,"Iya. Maaf Saga."
"Apa kamu selalu kaya' gini? Nggak peduli sama dirimu sendiri?"
"Bukannya nggak peduli. Aku biasa ngurus diriku sendiri."
"Selama ini siapa yang ganti lampu rumahmu? Gimana kalau listrik konslet? Gimana kalau tiba-tiba mati lampu?"
"Aku nggak apa-apa Saga. Aku bisa ganti lampu rumahku sendiri. Aku bisa nyalain lilin kalau rumahku mati lampu. Aku bisa ngangkat galon air, ganti gas kompor sendiri. Aku juga berani tidur di rumahku sendirian."
"Jadi selama ini kamu ngelakuin semua itu sendirian?" Alis Saga bertaut tak suka.
"Iya, kan cuma ada aku yang ibuku punya."
"Apa kamu nggak pernah takut sendirian?"
"Kadang. Kadang aku takut kalau ibuku nggak ada. Aku takut beliau kenapa-napa. Nanti aku nggak punya siapa-siapa lagi. Makanya aku takut kalau aku sampai kehilangan teman. Takut kalau aku punya musuh. Karena aku sebetulnya aku nggak mau sendirian."
Saga terdiam sebentar sambil mengetuk-etuk jarinya. Ia seperti berpikir keras entah apa.
"Ceritakan apa saja tentangmu." Saga menghela nafas keras-keras. Ia masih tidak memandang kearahku , tapi raut putus asa tampak jelas di wajahnya, "Aku ingin tau."
"Saga pengin tau apa?" Aku memutar otak untuk menemukan sesuatu yang bisa kuceritakan.
"Apa yang kamu suka. Apa yang kamu nggak suka."
"Aku suka makan. Aku nggak suka lapar."
Saga mendengus, untuk sesaat raut wajahnya terlihat lebih tenang," Apa lagi yang nggak kamu suka?"
"Matematika." Dengusku.
"Oh." Saga ikut mendengus," Kaya' aku nggak tau aja tentang itu."
"Kalau Saga nggak suka pelajaran Geografi." Ujarku.
Saga tampak agak terkejut mendengar kata-kataku," Oh, kamu tau?"
"Saga nggak suka roti selai nanas. Saga nggak suka laba-laba. Saga selalu mengikat taki sepatu dua kali." Lanjutku. Sebetulnya aku sendiri agak terkejut karena ternyata aku tau banyak juga tentang Saga.
Saga mengerjapkan mata. Untuk sesaat bibirnya mulai tersenyum sedikit. Luar biasa. Bahkan gerakan sekecil itu sudah membuat wajahnya makin mempesona, "Ternyata kamu memperhatikan juga."
Aku menambahkan, "Saga cuma mau pakai sepatu Nike. Kalau tas harus Adidas. Hm, Saga juga punya Abs."
Sekarang Saga malah mengeluarkan suara seperti orang tersedak,"Abs apa? Anti breaking system?"
"Bukan. Maksudku perut berotot kayak roti sobek." Sahutku datar.
Saga memutar kedua bola matanya dan ekspresinya berubah seperti orang tak bisa bernafas, "Soal itu kamu dengar dari mana? Lintang?"
"Iya." Aku mengangguk jujur.
"Jangan percaya apa yang orang lain bilang. Kecuali kalau kamu lihat atau dengar dari orangnya sendiri." Ujar Saga cemberut.
Alisku terangkat satu,"Jadi maksud Saga, Saga nggak punya ABS gitu?"
"Bukan. Maksudku apa aku pernah bilang kalau aku cuma mau pakai barang bermerk? Atau apa aku pernah jalan-jalan di sekolah nggak pakai baju?" Senyum Saga mengejek.
"Iya sih. Aku juga mikir kalau aneh." Aku mengangguk-angguk setuju," Jadi waktu SMP Saga juga nggak minum kopi pahit sebelum berangkat sekolah?"
"Anak SMP mana yang sebelum berangkat sekolah minum kopi pahit?" Saga tertawa. Tawanya campuran ngejek, geli sendiri, bercampur jengkel.
Aku baru menyadari ketika pelayan muncul membawa pesananku dan Saga, tanpa sadar kami telah mencondongkan lagi tubuh kami ke tengah, karena kami langsung duduk tegak lagi ketika pelayan menaruh makanan di atas meja.
"Kamu mau makan yang mana dulu? Kepiting?" Tanya Saga begitu kami berdua selesai mencuci tangan.
Aku mengangguk. Saga mengambil kepiting itu kemudian meletakannya di atas piringku, "Kamu harus makan yang banyak."
"Saga harusnya bilang, aku jangan makan terlalu banyak. Soalnya aku bisa makan semua ini sendirian"
"Oh ya?" Saga tersenyum,"Nggak apa-apa. Aku suka lihat kamu makan."
"Hm?" Untuk sesaat aku berhenti makan," Aku sebetulnya punya pertanyaan, Saga. "
"Apa?"
"Sejak kapan Saga mulai kenal aku?"
"Sejak kelas tujuh."
"Oh." Aku mengangkat kedua alisku heran,"Kok bisa?" Maksudku aku nggak nyangka kalau Saga juga kenal aku sejak lama.
"Anak perempuan kayak kamu siapa yang nggak merhatiin?" Jawab Saga lalu ia melanjutkan, "Bukannya dari kelas tujuh semester satu awal, kita masuk eskul yang sama. Apa kamu nggak sadar?"
Aku menggeleng, "Awalnya aku nggak sadar. Kan ada banyak banget anak yang masuk eskul melukis."
Saga tertawa. Suara tawanya menyenangkan,"Iya, aku tau kamu nggak sadar. Kamu memang nggak pernah merhatiin sekelilingmu."
"Saga orangnya teliti. Makanya Saga tau kalau aku ada."
"Bukan juga." Bantahnya, "Kamu ingat nggak waktu kak Dinu, pembina eskul lukis nyuruh kita menggambar aquarium ruang Biologi? Kamu satu-satunya anak yang nambahin gambar gurita padahal disana nggak ada gurita?"
"Oh, pernah ya? Aku nggak ingat." Jawabku malu,"Jadi gara-gara gambar gurita makanya Saga kenal aku?"
"Bukan juga." Saga menggeleng, "Tapi siapa yang nggak tau kalau kamu buntuti aku kemana-mana?"
Dalam sekejab wajahku berubah merah padam,"Nggg, lebih tepatnya aku buntuti Lintang yang buntuti kamu kemana-mana."
"Karena itu aku jengkel. Ngelihat kamu maksain diri ngikuti temanmu ngelakuin hal yang sebetulnya kamu nggak suka."
"Jadi Saga sadar semuanya ya? Waktu aku nemenin Lintang nonton Saga main bola? Waktu ngikutin Saga di kantin? Waktu aku dan Lintang sengaja datang dan duduk di dekat kelasmu?" Seruku malu.
"Ya. Aku juga sadar kamu malah sibuk nontonin awan setiap Lintang ngajak kamu melihatku main sepak bola." Aku melihat Saga tiba-tiba mengatupkan bibirnya erat-erat. Ia seperti menimbang-nimbang sesuatu. Wajahnya bercampur antara ragu dan kesal, "Aku juga tau kalau kamu selalu lebih mentingin temanmu di atas segalanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia Saga (Completed)
Teen FictionRank 1# on innocent & first love and realistic fiction There's nothing like the innocence of first love..... This work dedicated for people who likes pure, sweet, stupid, innocent love story Enjoy! Thanks for reading and please dont copy my story...