13 - Younger

39 10 0
                                    

Sudah 2 bulan ini ia tak menemuiku, mungkinkah sibuk mengurusi pernikahannya? Atau telah melupakanku?

Aku sering mengunjungi tempat kerjanya, kakek Kim bilang sudah lama ia tidak bekerja. Toko bunganya tutup, hanya beberapa kali saja buka, itupun Yurin yang menjual bunga.

"Apa kau bertengkar dengannya nak Yoon?"

"Aku tak tahu, ia menjauh begitu saja dariku."

"Apa kau sudah mencarinya, meminta alasan kenapa ia menjauh?"

"Aku tak pernah bertemu dengannya, akupun tak tahu kenapa ia tidak jelas seperti ini."

Kakek Kim menepuk pundakku, tersenyum. "Hari ini adalah keberuntunganmu."

Aku berekspresi tak paham.

"Lihatlah kesana." Beliau menunjuk Yura,

Yura??!!!

Aku menghampirinya dengan terburu, namun ia berbalik ketika melihatku, hendak pergi.

Ia meronta ketika kucengkram tangannya.

"Lepaskan Yoon!"

"Tidak, sampai kau mau bicara padaku."

"Aku mohon," Wajahnya terlihat sedih, ia siap menitikan air mata sekarang.

Kulihat wajahnya, pucat. Tak ada lagi bunga mekar disana. Lalu kuajak ia duduk didepan toko bunga yang terlihat sepi.

"Apa kau sedang sakit?"

Yura diam, ia mengelus perutnya.

"Apa kau lapar?" Tanyaku, tapi ia masih tidak bergeming.

Kupegang pundaknya, ia menengok kehadapanku lalu menunduk.

"Apa yang terjadi? Katakan padaku."

Yura menatap mataku, "Aku hamil." Sesaat setelah ia bicara, wajahku berubah tak percaya.

"Apa? Siapa yang melakukan itu padamu? Apa lelaki yang mengaku sebagai calon suami-mu itu?!" Aku sedikit berbisik, dengan menekankan setiap kata yang terucap.

"Dia baik, tak mungkin melakukan itu padaku."

Aku semakin geram, kucengkram bahunya kuat. "Siapa Ra?! Siapa bajingan yang kau maksud?! Katakan, biar kuberi pelajaran orang yang berani menyentuhmu."

Yura melepaskan cengkraman tanganku. "Itu adalah kau Yoon! Kau bajingan itu!" Tanganya menunjukku tak suka, tangisnya mendadak pecah.

"A-aku? Bagaimana mungkin, aku?"

"Memang kau fikir siapa?"

"Tapi, tak mungkin aku yang melakukannya." Wajahku berpaling, jantungku berdegup semakin kencang, perasaanku tak karuan.

"Dua bulan yang lalu," Yura bercerita. "Saat aku mengantarmu pulang, apa kau ingat?"

Aku memutar otak mengingat kembali kejadian itu, Namjoon bilang aku mabuk, dan aku tak tahu yang sebenarnya terjadi.

"Apa kau ingat?" Ulangnya lebih tegas.

Kutekan kepala yang terasa pusing. "Tidak,"

"Mungkin sebaiknya memang begitu." Yura tersenyum. "Aku akan menikah, tidak lama mungkin sebulan sampai dua bulan lagi dan anak ini akan memiliki ayah."

"Maksudmu? Itu anakku bukan? Kenapa kau mau orang lain yang menggantikan?"

Yura tersenyum getir. "Karena aku tak mau merusak karirmu dan Bangtan."

"Aku tak bisa menerimanya, anak itu hak-ku, tidak ada yang bisa menjadi ayah untuknya selain aku!"

"Tapi Yoon, mengertilah." Ia memohon, satu hal yang tak kumengerti.

"Apa? Kau ingin merebut hak-ku?"

"Yoon! Berhenti bersikap seperti anak kecil, aku muak!"

Teriakan itu membuatku mematung, untuk pertama kalinya ia benar-benar terlihat kesal.

"Kenapa? Kenapa kau tak bilang dari kemarin? Kenapa kau justru sembunyi?"

"Kau yang memintaku,"

"Aku tak percaya, aku tak pernah mengharapkan kau pergi, tak pernah sedetik-pun."

"Tapi itulah kenyataannya, kau membuatku merasa tak pantas untukmu, kau membuatku mengingat kejadian beberapa tahun silam."

"Apa yang kau ingat?!"

"Saat aku meminta pertanggungjawaban, kau bilang 'you're younger than me, I'm not going to date you, get it?' Dan itu membuatku merasa benar-benar tak dibutuhkan, kalimat yang sama saat kau menolakku dulu."

Aku berlutut dihadapannya, memohon agar ia membatalkan pernikahan. Tapi ia tak bergeming, raut wajahnya saja yang terlihat sedih. Aku tahu kau tak menginginkan pernikahan ini, aku juga. Aku akan melakukan apapun agar kau tak menikah dengannya.

"Tolong beri aku satu kesempatan," ucapku menggenggam tangannya.

Ia menarik tangannya. "Aku tak bisa berjanji, maaf aku harus pergi."

Ia berlalu, aku tampak menyedihkan sekarang, bahkan sangat menyedihkan.

The Last (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang