2 - Rumah

135 25 2
                                    

Senja semakin temaram. Suasana hening, hanya ada suara gesekan dedaunan diluar sana.

Aku mengingatnya, seorang gadis baik hati, penyelamatku. Dan besok, besok aku akan menemuinya, mungkin ini awal dimana aku bisa membuka diri, dan awal dimana aku memiliki teman.

Aku merasa tidak sabar untuk menemuinya, ia bilang akan menunggu di taman kota tepat pukul 4 sore, dan untuk itu, aku tak akan membuatnya menunggu.

Aku duduk dibangku taman dan mataku menelusur kesetiap sudut, aku belum melihatnya, mungkin ia terjebak macet.

"Hay." Sapa seseorang dari belakang.

Yura, ia datang.

"Hay, duduklah." Pintaku, yang langsung disetujuinya.

"Apa kau sudah menunggu lama?"

"Tidak, hanya beberapa menit saja."

"Maaf, telah membuatmu menunggu."

Ia terlihat sangat manis ketika merasa bersalah, wajahnya benar-benar menggambarkan jika ia gadis yang polos.

"Aku memang sengaja datang lebih awal, seorang laki-laki tak mungkin membuat seorang gadis menunggu," Ucapku mencoba sok asik.

Ia tertawa renyah.

"Ah iya," Ucap Yura. "Bagaimana keadaanmu? Apa kau masih sakit?"

Jujur, aku tak suka ketika ia menganggap aku sakit, "Apa aku terlihat seperti seseorang yang penyakitan?" Tanyaku menyelidik.

Yura diam, ia menggigit bibir bawahnya, aku tahu, ia merasa bersalah karena menanyakannya.

"Aku baik, aku tidak sakit." Ucapku akhirnya, sesuatu yang mustahil jika aku membiarkan keadaan terus terlihat mencengkam.

Ia menatap dan memanggil namaku lirih "Yoongi,"

"Ada apa? Apa aku terlihat begitu tampan hingga kau menatapku seperti itu?"

Ia tertawa, aku tidak sedang bergurau, bukankah tidak seharusnya ia tertawa?

"Jangan tertawa."

"Kenapa?"

"Hanya saja, aku merasa aneh, belum pernah aku melihat orang yang tertawa ketika didekatku, biasanya ia terlihat takut dan mungkin juga benci."

"Apa yang kau katakan? Kenapa kau seperti itu, mungkin itu terjadi karena mereka tidak mengetahui dirimu yang sebenarnya."

Aku diam lalu menatapnya sendu. "Atau mungkin, kau yang tak mengenalku."

"Waktu itu," lanjutku. "Aku datang ke psikiater dengan ibuku, dokter memberikan konsultasi lalu memberi resep obat dan ibuku bilang ia tak mengerti akan diriku, dan aku pun tidak pernah mengerti dengan apapun yang terjadi, yang aku tahu hanya, aku selalu mengatakan aku tidak peduli, dan itu hanya untuk menyembunyikan sisi lemahku." Ucapku jujur, entah mengapa aku bisa percaya begitu saja padanya.

"Lalu, bagaimana sekarang kehidupanmu? Apa orangtuamu selalu bersikap baik?"

Orangtua bersikap baik? Itu yang selalu aku harapkan Ra, tapi bagaimana mereka bisa bersikap baik jika setiap hari selalu sibuk mengurusi karir. Pergi sebelum aku bangun dan pulang saat aku tidur, walau aku tidak benar-benar sedang tidur, aku hanya sedih, setiap malam selalu berfikir mungkin aku akan lebih baik jika mendapat kasih sayang mereka.

"Baik," Dustaku. "Yah, mungkin."

"Mungkin kau hanya perlu bicara dengan mereka, coba kau cari saat yang tepat untuk membicarakannya, katakan apa yang kau inginkan, mereka pasti akan mengerti tentang dirimu."

"Tidak semudah itu, sebenarnya aku tak pernah ingin ada dirumah , aku tak ingin melihat mereka yang selalu pulang larut hanya untuk bekerja, aku ingin mereka beristirahat, aku tahu semua yang mereka lakukan itu untukku tapi, bukankah aku butuh kasih sayang secara nyata? Bukan hanya dengan uang aku bahagia."

"Pulanglah, dan katakan apa keinginanmu, kau akan bahagia. "

"Jika rumah adalah tempat dimana kau bisa menemukan kebahagiaan, lantas bagaimana jika rumah hanya memberimu rasa sakit?"

Ia terlihat tengah berfikir, sejujurnya, semenjak kejadian adu mulut kedua orangtuaku, aku memutuskan untuk mengontrak rumah di daerah yang jauh dari lingkungan rumahku.

Aku ingin menenangkan diri, aku butuh ketenangan. Aku ingin semuanya berjalan seperti seharusnya.

"Aku tahu apa yang kau rasakan," ucapnya mendadak sendu.

"Apa yang kau ketahui?" Tanyaku antusias.

"Dulu, waktu usiaku 11 tahun, kedua orangtuaku bertengkar hebat. Aku bahkan tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, hanya beberapa kali kudengar ibuku mengatakan nama wanita lain,"

"Lalu apa yang terjadi," ucapku menyela.

"Beberapa hari setelah itu, ibu memboyong aku dan adikku yang masih berusia 3 tahun kerumah orangtuanya, sungguh tak pernah kubayangkan jika akhirnya merek berpisah. Aku merasa sangat hancur saat itu, aku sangat frustrasi, aku bahkan sering menangis dikamar. Aku rindu berkumpul diruang keluarga walau sekedar melempar kata yang itu-itu saja."

Matanya mulai menitihkan air, ia menangis. Aku merasa bersalah telah membuatnya merasa sedih seperti ini.

"Kami pindah setelah ibuku mendapat rumah baru, ia merasa tidak enak hati dengan nenek dan kakekku. Tidak lama setelah itu ia menjadi aneh, ia sering pergi malam dan pulang pagi. Ia senang menghamburkankan uang. Ada satu waktu aku bertanya tentang pekerjaannya, ia tak mau mengatakan dan hanya menjawab bahwa apa yang dikerjakan itu bukan pekerjaan yang buruk."

Aku merenung, berfikir mungkin jika aku ada diposisinya, aku akan memilih menggantung leherku dengan tambang.

"Ibuku bekerja hanya berlangsung 5 tahun, dan ia mencoba bisnis toko kue namun tak berjalan lama, toko merugi."

Ia menyeka air matanya.

"Maaf, kukira aku terlalu banyak bicara."

Aku mencoba memahaminya, ia sungguh tak seperti yang kusangka, kisah hidupnya jauh lebih berat dariku.

"Tidak, aku justru suka jika kau terbuka seperti ini. Seharusnya aku yang minta maaf, karena telah membuatmu membuka masa lalu."

Ia tersenyum, "Aku merasa lega sekarang, setidaknya bebanku sedikit berkurang dengan menceritakannya padamu."

Yura bangkit dari duduknya, ia menatap jauh kedepan, menelentangkan tangannya lalu menarik nafasnya dalam lalu tersenyum. Ia menengok kearahku dan berkata "Aku yakin kau bisa mengatasi masalahmu."

Berfikir, aku sendiri tidak yakin.

The Last (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang