1 - Kita Berteman

237 31 11
                                    

Banyak hal yang aku inginkan didunia ini, tapi entah mengapa semuanya sulit kugapai. Aku benar-benar merasa menjadi orang yang sangat bodoh . Aku bermimpi, mimpi yang hanya bisa diwujudkan oleh orang yang bisa memandang masa depan. Dan untuk mewujudkannya, apakah aku bisa? Apakah aku masuk kedalam jajaran orang yang bisa meraih cita-cita? Aku tidak yakin, hingga suatu hari aku bertemu dengannya, dan dia adalah orang pertama yang menganggapku ada dan mengubah segalanya.

~~~

Aku mengerjapkan mataku berulang kali, kuperhatikan setiap sudut ruangan, ruangan ini didominasi oleh warna putih, hanya ada satu tempat tidur dan juga ada sofa disalah satu sudut ruangan. Jika diperhatikan lagi, ini lebih mirip dengan rumah sakit dibanding dengan kamar tidur biasa. Dan tempat ini sangat asing.

Dimana aku sebenarnya? Kenapa aku tak bisa mengenali tempat ini.

Ah, kepalaku terasa sakit. Dan tanganku, kenapa ada infus? apa ini rumah sakit? Arghh dimana sebenarnya aku? Aku benar-benar merasa sangat pusing. Aku tak bisa mengingat apa yang terjadi padaku. Seingatku, kemarin aku keluar rumah setelah mendengar eomma dan appa bertengkar.

Seseorang membuka pintu ruangan. Membuatku terkejut. Aku tak mengenalnya, sangat asing.

"Siapa kau? Mau apa kau disini?" Tanyaku membentak, ia tetap berjalan menuju arahku. Entah mengapa aku merasa ketakutan. Aku takut berhadapan dengan orang, apalagi dengan orang baru.

"Pergilah!" Perintahku yang tidak diindahkan, bantal yang ada dikasur langsung terlempar kearahnya, namun ia tetap masih saja mendekat.

Aku melirik nakas disamping tempat tidur, disana jelas terlihat beberapa buah dan alat pemotongnya. "Pergilah atau kau akan mati?" Ucapku dengan menodongkan pisau kearahnya yang masih lumayan jauh.

"Tenanglah," ucapnya halus. Aku benar-benar bingung apa yang harus aku lakukan. Dia memang tidak bersalah padaku, tapi aku takut kepadanya.

"Hentikan langkahmu atau aku benar-benar membunuhmu." Aku turun dari kasur, melepaskan infus ditangan. Setelahnya, aku mencoba mendekatinya, agar ia takut, tapi gagal. Kepalaku berdenyut, dan kakiku terasa lemas.

Ia berhenti melangkah dan terlihat terkejut, aku bisa bernafas sedikit lega karena ia tak mendekat karena aku bisa melukai siapa saja ketika emosiku tak terkontrol seperti ini. 

Kuperhatikan lantai yang tengah kupijak, aku mulai merenungi tingkahku yang konyol ini, Apa yang sebenarnya aku lakukan? Tidak seharusnya aku bersikap sedemikian rupa, apa ini benar-benar aku, Min Yoongi?

Apakah Min Yoongi semenyeramkan ini? Aku bahkan tak bisa mengenali diriku sendiri.

Seseorang mengambil pisau disaat aku lengah, membuatku langsung menoleh tak suka kearahnya.

"Hay," Sapanya bersahabat. "Apa kau sudah baikan? Aku sangat mengkhawatirkanmu." Ucapnya.

Aku sedikit takut untuk menanggapinya, tapi ia terlihat baik. "Siapa kau?"

Ia menjabat tanganku. "Aku Park Yura, kau bisa memanggilku Yura, dan kau?"

Kenapa ia bersikap ramah seperti ini, sebenarnya apa yang ia inginkan dariku.

"Yoongi, Min Yoongi."

Setelah memperkenalkan diri, aku berusaha duduk di kasur dan ia membantuku untuk berdiri.

Ia tidak terlihat berbahaya, tidak ada tanda-tanda bahwa ia akan melukaiku.

"Kenapa aku ada disini?"

Ia sedikit berfikir. "Aku menemukanmu di toilet, ah bukan tapi orang lain bilang ada yang pingsan, dan aku ikut melihatnya."

Toilet? Bagaimana bisa aku pingsan dan, ditoilet? Haha Sial, aku bahkan tak bisa mengingatnya.

"Lalu? Apa yang terjadi?"

"Aku hanya tidak tega melihatmu pingsan, tak seorangpun yang membantu, jadi kuputuskan membawamu kesini."

Aku menatapnya. "Kenapa?" Ucapku Dingin. "Kenapa kau lakukan itu?"

Ia diam, dan terlihat sedikit takut. "Aku hanya-"

"Kasihan?" Potongku. "Aku tidak butuh belas kasihanmu, aku sudah terbiasa seperti ini, jadi kau tak perlu kasihan padaku."

"Maaf, aku hanya berusaha bersikap baik."

"Baik? Kenapa kau harus baik, disaat semuanya menjauhiku, disaat semuanya Membenciku, disaat tidak ada yang peduli denganku dan bahkan disaat dimana tak ada yang ingin melihatku?" Ucapku frustrasi.

Ia menangkup tanganku, kulihat tatapan yang begitu tulus dari matanya. "Tapi aku peduli, aku peduli terhadapmu."

"Omong kosong! selama ini tidak pernah ada yang peduli terhadapku, orangtuaku, temanku, tidak ada yang peduli, ah satu hal yang aku lupa, aku tidak memiliki teman, dan itu karena mereka tak menyukaiku!"

"Tapi aku menyukaimu, dan aku ingin menjadi temanmu, apakah boleh?"

Aku masih diam tak percaya, apakah ini hanya fatamorgana atau memang kenyataan? Untuk pertama kalinya, untuk pertama kalinya ada yang ingin menjadi temanku.

"Ketika semua menganggap aku kesialan, kenapa kau mau berteman denganku?"

"I know people said you're a damn trouble But I said you're a miracle."

Kutarik tangan ku dari genggamannya dengan kasar "Cih, bukankah semua orang akan mengatakan begitu kepada orang yang terbelakang," ucapku tak suka.

Jujur, aku tahu bahwa ia tak bermaksud mengatakan demikian, namun aku ingin tahu reaksinya.

Ia tersenyum, mencoba tetap sabar. "Aku tak bermaksud demikian, kuharap kau mengerti," ia menghentikan kalimatnya sejenak, menarik nafas dalam lalu kembali tersenyum. " Aku sungguh ingin berteman denganmu, aku ingin kita berteman, aku berjanji, aku akan terus berusaha menjadi teman yang baik untukmu, apa kau mau berteman denganku?" Tanyanya penuh harap, kulihat dari binar mata yang terpancar.

Aku mengangguk mengiyakan ucapannya. "Apa kau janji?" Tanyaku memastikan.

"Janji," ucapnya sambil mengacungkan jari kelingking.

Jari kelingking kami bertaut, aku harap dia tak mengecewakanku.

The Last (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang