Lapar

280 25 0
                                    

By Ibnu Sina

........................................

     Mendung menggelayut, membuat bulan dan bintang enggan muncul. Tapi kegembiraanku tetap membuncah saat angin malam ini bertiup lembut menggelitik.

Oh iya, kau kenal Tio?
     Dia tampan dan jago mengoperasikan komputer. Bulan ini usianya tepat 25 tahun. Kulitnya coklat sawo matang. Tingginya 180 cm. Karena hidup sendiri dia suka makan mie instan di tanggal tua. Kadang dia juga menambahkan obat maag di minuman favoritnya. Uniknya, tubuhnya sangat tambun. FYI, dia belum punya pacar a.k.a jomblo.

Gimana?
Tidak kenal?
Baiklah...

     Karena alasan tertentu, pekerjaan Tio hari ini sepertinya selesai lebih cepat. Suara gemerincing anak kunci terdengar begitu nyaring saat Tio memasukkannya ke dalam ransel. Usai mengunci pintu depan dan samping, Tio kembali meyakinkan dirinya dengan menarik - narik gembok besar tersebut.

     Setelah merasa mantap, dia berjalan melewati halaman meninggalkan warnet untuk pulang ke rumah. Ehm, ralat. Bukan rumah tapi kost.

     Tio menyusuri jalanan beraspal rata dengan langkah yang lemah. Jalanan ini adalah akses utama menuju kota sebelah meski tanpa marka. Jalanan ini lurus memanjang membelah area persawahan yang luas. Di kanan kiri jalan dihiasi tiang listrik yang ditempeli lampu remang - remang, berderet hingga ujung. Lebar jalan ini sekitar lima meter. Dan...

Tunggu.
Bukan itu intinya.

     Intinya, meski bukan jalan raya, Tio yakin jika malam ini terasa sepi. Terlalu sepi malah. Tak ada satupun kendaraan yang melintas. Tak seorangpun yang berpas - pasan dengannya. Bahkan, jangkrik dan hewan malam lainnya seperti mogok bersuara.

     Dia terus berjalan sambil sesekali menoleh ke belakang. Tio sangat penasaran. Jam menunjukkan pukul 9 lewat seperempat. Dahi Tio mengernyit seakan tidak percaya sambil kembali mengantongi ponselnya di tas. Ini aneh sekali, begitu pikirnya.

     Tio yakin sekali kalau malam ini malam Minggu. Dan seharusnya, jalanan ini ramai anak - anak muda atau pasangan muda-mudi yang hangout atau sekedar bercanda ria. Tapi malam ini? Ini lebih sepi dari malam Jumat Kliwon (yang dikenal angker itu!).

     Saat nervous Tio merasa mulas. Sesekali ia memegangi perutnya. Padahal jarak yang sudah ditempuh belum seberapa. Masih ada sekitar 600 meter lagi untuk sampai di pertigaan depan sana, 50 meter ke kiri, dan sedikit jalan menanjak di depan bank swasta.

     Tio memutuskan untuk bertahan karena dia ingin segera sampai dan beristirahat. Beberapa menit kemudian, suara aneh terdengar. Tio sontak menoleh ke kiri. Dia yakin, suara aneh itu berasal dari rerimbunan tanaman padi di sana.

     Suara aneh itu mirip sekali suara orang berdehem. Mata Tio memicing tajam mencari di tengah remangnya lampu jalan. Merasa tak menemukan yang dia cari, Tio menggelengkan kepala dan melanjutkan langkahnya.
Tak lama, Tio kembali dikejutkan suara misterius itu.

     Kali ini suaranya terdengar lebih keras, menandakan sumber suara itu makin dekat. Tio berhenti. Tangannya menggenggam erat tali ransel di bahunya. Tiba - tiba saja, lampu dari arah dia berjalan meledak satu persatu sampai ke ujung. Tio hanya bisa bergeming.

     Terkejut, takut, dan bingung menjadi satu. Membuatnya tak bisa menggerakkan kedua kakinya. Tenggorokannya serasa tercekat saat dalam kegelapan, sesuatu yang basah menyentuh kulit pipinya. Tio berkeringat begitu banyak. Matanya mendelik ngeri melihat dua pasang cahaya berwarna merah di depannya. Tio bisa merasakan hembusan angin lembab berbau busuk-lebih busuk dari kentut sepupunya saat menabrak wajahnya. Baunya begitu busuk, membuat syaraf motorik Tio tersadar.

Ya.
Tentu saja.
Tio harus melakukan sesuatu.

"Se- SEETAAAAAAAAAAAAAAAAANN!!!!"

     Tio dengan segenap tenaga berteriak dan berlari kalang kabut di tengah gelapnya malam. Bagai kuda yang dipacu, semua tenaganya dikerahkan. Aku tahu Tio bukanlah atlit lomba lari, tapi aku berani bertaruh sebuah planet ke padamu kalau Usain Boltpun akan kalah cepat dengannya.

Hm? Apa?
Kau tidak tau siapa Usain Bolt?
Haha. Mulai sekarang kusarankan kau untuk sering berlari...

     Tio merasa berlari cukup jauh. Sambil mengatur nafas dan jantungnya yang bertabuh bak genderang dia mencoba melihat sekeliling. Dia tersadar dirinya kini justru berada di sawah. Lalu sebuah cahaya hijau terang muncul begitu saja dari atas. Pilar cahaya itu membuat Tio terjerembab ke semak padi dan menghantamkan tubuhnya ke tanah becek.

     Tio berusaha bangkit dengan susah payah tapi sinar gravitasi maha dahsyat itu terus menekan, membuat seluruh tubuhnya menempel sangat erat ke tanah. Tio tak bisa berkutik. Saat dua pasang mata merah itu tiba, Tio hanya bisa menjerit tanpa suara. Lidah penuh liur bergerigi tajam melilit dan perlahan mengoyak kulit lengannya.

     Kini Tio dengan jelas bisa melihat wujud mereka. Air muka Tio pucat pasi kehilangan cahaya. Tio sangat putus asa saat melihat ekspresi wajah mereka.

Hmm.
Kenapa Tio mesti putus asa?
Bukankah itu ekspresi yang wajar?

     Iya. Ekspresi saat kalian kelaparan berhari - hari dan kemudian menemukan sepotong roti? Sama seperti saat kalian tersesat begitu lama di hutan belantara lalu melihat seekor kelinci? Ekspresi yang wajar untuk menghentikan suara perut yang keroncongan, kan?

     Yah, selanjutnya bisa kalian tebak sendiri. Tio adalah satu dari sederet menu lezat yang ada di bumi ini. Dan tentu saja tubuhnya yang subur akan menjadi tempat yang sempurna untuk mengerami telur.

     Oke, sampai sini dulu ya.
Mempelajari spesies unik sungguh menyenangkan dan membuatku lapar.

     By the way, sekarang aku mesti kembali ke kapal. Iya. Aku tau kalau aku lebih canggih dari buatan manusia. But still, Drone juga butuh recharge. Butuh 'makan' istilahnya.
Ah, jadi gak sabar nih! Semoga besok aku bisa menemukanmu ya.

Ssstt !!! I'll Tell You More...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang