Membenci Robby adalah suatu keharusan. Tetapi saat lelaki itu tiba-tiba menghilang, rasanya kewarasan Valena juga ikut hilang.
∆∆∆ Almost Late ∆∆∆
Haechan x Ryujin
Cover dari pinterest
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aku meletakkan pena yang baru saja kupakai memenuhi buku diary dengan beberapa coretan kata hingga menjadi beberapa kalimat yang menyesakkan pikiran dan dadaku. Lalu tanganku terulur, menyentuh sebuah frame foto keluarga yang memang sengaja masih aku pajang di atas meja belajarku.
Ada tiga wajah di sana, dengan senyum bahagia menatap pada kamera. Aku ingat, foto tersebut diambil pada saat hari terakhir aku menyelesaikan ujian Sekolah Dasar. Wajah Papa dan Mama pada foto itu masih tampak lebih muda, masih bisa tersenyum hangat, masih tampak saling mencintai satu sama lain, dan tentu saja saat itu mereka masih sangat menyayangi aku. Sampai pada beberapa tahun setelahnya, keadaan berubah. Dan mereka memutuskan untuk benar-benar berpisah satu tahun yang lalu.
Aku menghela napas panjang, lalu kembali menyimpan frame foto tersebut ke tempat semula dengan berbagai kenangan tentang orangtuaku yang saat ini mulai kembali memenuhi kepalaku.
Sudah satu tahun, tetapi kenangan pahit perpisahan orangtuaku sama sekali belum bisa aku lupakan dan masih menyisakan luka basah disudut hatiku yang belum mengering hingga saat ini.
Aku memejamkan mata, menutup wajahku dengan telapak tangan dan mensugesti pikiranku untuk melupakan semuanya dengan bernapas serileks mungkin. Hingga tanpa sadar aku sudah mengganti posisi tanganku menjadi berlipat di atas meja dan menenggelamkan wajahku di sana. Dalam hitungan tiga, aku sudah terlelap dengan harapan akan melakukan petualangan hebat dalam mimpi indahku meskipun aku tertidur di atas meja belajar seperti ini.
Lagipula siapa yang peduli? Siapa yang akan rela meminjamkan tubuhnya untuk menggendong dan memindahkanku ke tempat tidur?
Orangtuaku?
Oh, ayolah. Itu tidak mungkin terjadi mengingat aku saja hanya tinggal sendirian di sebuah apartemen yang cukup luas ini sebagai syarat jika aku menyetujui perpisahan mereka.
Mengabaikan jika besok aku akan bangun dalam keadaan pegal, aku tetap melanjutkan lelapku untuk mengurangi rasa lelah yang menggelayuti pikiran dan tubuhku. Bahkan bukan hanya itu, aku juga lelah dengan hidupku yang penuh dengan sunyi dan kesendirian.
Meskipun itu memang pilihanku, tetapi aku tidak pernah menyesal sama sekali. Aku merasa bebas dan tidak harus selalu menutup telingaku dengan earphone yang sengaja aku pasang agar tidak mendengar pertengkaran orangtuaku.
Sebab dari pertengkaran mereka selalu sama, yaitu karena Papa lagi-lagi ketahuan tidur bersama perempuan lain oleh Mama. Parahnya, perempuan yang tidur dengan Papa itu tidak pernah sama, selalu berbeda-beda. Sampai akhirnya Mama menyerah dan menceraikan Papa.
Aku membenci Papaku, tentu saja. Tetapi aku lebih membenci Mama yang membuatku harus memiliki seorang ayah yang brengsek seperti Papa.
Dari perpisahan orangtuaku, aku belajar jika manusia mudah berubah, begitu pun dengan perasaan mereka. Meskipun tidak semua pasangan seperti orangtuaku, tetapi pandanganku terhadap perasaan yang biasa orang-orang sebut dengan 'cinta', bagiku itu hanyalah sebuah angin yang hanya datang sebentar untuk memberikan kesejukan sementara, kemudian berlalu begitu saja dan menghilang.
Dan dari situ pula aku belajar, untuk apa mencintai seseorang jika pada akhirnya akan saling menyakiti kemudian berpisah dengan cara yang menyedihkan?