3

2K 110 1
                                    

Langit sudah diselimuti awan mendung ketika aku menapakkan kaki di lantai dua gedung sekolah menuju ruang rapat osis yang berada di ujung lorong

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Langit sudah diselimuti awan mendung ketika aku menapakkan kaki di lantai dua gedung sekolah menuju ruang rapat osis yang berada di ujung lorong. Gedung terlihat sepi mengingat bel tanda berakhirnya pelajaran hari ini sudah berbunyi sekitar satu jam yang lalu. Angin pertanda akan turunnya hujan juga cukup kencang sampai merambah masuk ke dalam gedung melewati celah jendela yang tidak tertutup rapat. Dan aku hanya bisa mendengus, beberapa kali juga merutuk karena aku harus pulang terlambat dengan ditemani hujan yang sepertinya akan turun deras.

Yah, hanya gara-gara seorang Robby.

Derap langkahku semakin pelan saat ruang rapat hanya tinggal satu meter di hadapanku. Pintu kaca ruang rapat yang dilapisi gorden putih tertutup, membuat pantulan diriku yang masih mengenakan seragam putih abu-abu dengan tas ransel berwarna maroon yang aku sampirkan di kedua bahuku terlihat cukup jelas. Oh, jangan lupakan bunga dan cokelat yang masih dalam genggamanku, membuat tanganku sudah sangat gatal karena tidak sabar ingin melemparkan benda-benda itu tepat di hadapan Robby.

Tanpa mengetuk, aku yang sudah tidak ingin berlama-lama disini langsung memutar knop dan membuka pintu lebar-lebar. Dengusan dan umpatan pelan dari bibirku meluncur begitu saja saat mataku melihat dengan jelas apa yang sedang dilakukan oleh seorang Robby Pratama, si Ketua osis yang katanya ganteng dan seharusnya menjadi panutan bagi semua siswa di sekolah, saat ini sedang saling menautkan bibir dengan perempuan berseragam sama sepertiku di pangkuannya.

Meskipun bukan pertama kalinya aku memergoki Robby melakukan itu, tetapi tetap saja masih terlihat menjijikan. Apalagi ciuman mereka saat ini terlihat semakin panas disertai dengan suara decakan lidah yang langsung membuatku mual.

Sekarang kalian sudah tahu kan kenapa aku menolak Robby? Bahkan aku juga membencinya karena dia mengingatkanku pada sosok Papa.

Dimataku, Robby itu cuma cowok brengsek, bajingan, tidak pantas menjadi seorang ketua osis yang seharusnya menjadi panutan bagi setiap siswa di sekolah. Dan aku mengetahui kebrengsekan Robby sehari setelah dia menyatakan perasaannya padaku. Tepatnya, saat itu aku sedang mencari Seva untuk menemui Bu Tini di ruang guru dan berakhir memergoki Robby melakukan hal menjijikkan seperti ini di gudang dekat kantin saat jam pelajaran berlangsung.

Sialan, entah ini sudah keberapa kalinya mataku ternodai hanya karena Robby. Parahnya, mereka masih belum menyadari kehadiranku di sini. Ya ampun, rasanya aku sangat ingin berkata kasar walaupun sepertinya itu tidak cukup mengingat kebiasaan Robby berbuat mesum di sekolah sudah sangat membuatku muak.

Akhirnya dengan kasar, aku melempar bunga tulip kuning dan dua batang cokelat yang sedari tadi aku pegang ke meja yang berada di dekat pintu. Seketika kegiatan mereka terhenti dan aku dapat melihat keterkejutan keduanya. Perempuan dipangkuan Robby yang sepertinya masih kelas sepuluh itu segera menyingkir dan menunduk, menyembunyikan wajah dariku karena bibirnya sudah memerah serta sedikit membengkak karena kegiatannya bersama Robby barusan.

Sedangkan Robby, lelaki itu kini berdehem untuk menetralkan suasana setelah merapikan kembali seragam dan rambutnya yang sedikit berantakan. Setelah itu ia berjalan dengan santai menghampiriku yang masih berdiri di ambang pintu.

"Hai, babe. Lo nyari gue?"

Tanya Robby padaku dengan cengiran lebarnya.

***

Almost Late [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang