"Tumben lo bawa bekal."
Ucapan Seva membuatku sedikit tersentak ketika aku baru saja mengeluarkan kotak bekal berwarna merah muda dan sekaleng susu berlogo beruang dari dalam tasku. Aku menatapnya sebentar, sebelum akhirnya tersenyum ceria kepada perempuan bermata sipit itu yang hari ini mengenakan bando merah pada rambut sebahunya. Anehnya setelah insiden surat dan Seva yang sempat memarahiku kemarin, tidak membuatku lantas berbalik marah kepada perempuan itu.
Yah mungkin, karena Seva adalah satu-satunya sahabatku dan dia melakukan itu juga karena rasa pedulinya terhadapku walaupun caranya bisa dibilang sedikit keterlaluan. Jika Seva bukan sahabatku, mungkin aku sudah mencekiknya sejak kemarin.
"Tumben juga lo senyum pagi-pagi."
Kata Seva lagi yang langsung membuat senyumku luntur dan berganti dengan dengusan kecil. Padahal aku tersenyum seperti itu karena aku merasa harus melakukannya, anggap saja sebagai sedikit rasa terima kasihku untuk Seva karena telah membuatku menyadari sesuatu setelah memikirkan perkataannya selama semalaman suntuk hingga membuat kantung mataku sedikit menghitam.
"Cie elah ngambek," Goda Seva sambil mencolek pipiku sambil terkekeh pelan.
"Kayaknya mood lo hari ini lagi bagus nih. Kenapa? Udah mikirin omongan gue kemaren dan udah ngerasa yakin sama perasaan lo?"
"Berisik."
Balasku ketus sambil berdiri, kemudian berjalan ke luar kelas meninggalkan Seva yang saat ini sedang tertawa puas.
***
Aku menatap dengan ragu pintu kelas XI IPS 1 sambil terus menyembunyikan kotak bekal dan sekaleng susu yang sengaja aku bawa hari ini di belakang punggung. Lima belas menit lagi bel masuk berbunyi, membuatku mau tidak mau harus segera melangkahkan kakiku menuju ambang pintu untuk mencari seseorang yang sejak beberapa hari ini mengganggu pikiranku.
"Val,"
Aku refleks menoleh saat merasakan tepukan pada bahuku disertai suara seseorang memanggil namaku. Aku menengguk ludah, menatap agak gugup saat mataku bertatapan dengan manik sehitam kopi milik lelaki tinggi yang kini sudah berdiri di hadapanku.
Ya ampun, kenapa aku bisa segugup ini hanya karena berhadapan langsung dengan Robby?
"Lo ngapain di sini?"
"Hng, itu..." aku memegang erat kotak bekal dan susu yang masih aku sembunyikan di belakang punggung.
"Gue---,"
"Lo nyari gue?" Tanya Robby lagi, kali ini dengan cengiran lebarnya yang sudah lama sekali tidak aku lihat.
"Nggak!"
Aku membalas cepat, membuat cengiran Robby berubah menjadi tawa renyah.
Tunggu, sejak kapan suara tawa Robby yang dulu sangat terdengar menyebalkan di telingaku kini berubah menjadi alunan suara indah seperti ini?
"Keseringan bohong itu nggak baik, Valena say---, eh?" Robby menggaruk bagian kepala belakangnya lalu tersenyum canggung padaku.
"Maksud gue, Valena."
Aku mencengkram kotak bekal dan susu di tanganku semakin erat, menahan sesuatu dalam dadaku yang dirasa tersayat saat Robby tidak melanjutkan perkataannya dalam menyebut namaku dengan panggilan alay ---yang sialnya begitu ingin aku dengar, berganti dengan menyebutkan namaku dengan nada asing seperti tadi.
Mengabaikan itu, aku menghela napas panjang sebelum akhirnya memberanikan diri menyodorkan kotak bekal dan sekaleng susu kepada lelaki yang masih berdiri di hadapanku.
"Gue ke sini buat nyari orang yang mau ngabisin sandwich bikinin gue. Tadi pagi gue bikinnya kebanyakan, jadi daripada mubazir mending---,"
"Kak Robby, aku cariin daritadi tau!"
Perkataanku terpotong oleh suara manja dari seorang perempuan yang saat ini sudah mengapit lengan Robby tepat di hadapanku. Aku mengerjap, memandang bergantian antara perempuan mungil berwajah cantik yang begitu imut itu dengan lengan mereka yang saling tertaut.
Melihat reaksi Robby yang diam saja saat perempuan itu terus mengapit lengannya, membuat hatiku mencelos ke perut dengan rasa sakit di dadaku yang saat ini sedang berusaha mati-matian aku tahan.
Oh, tentu saja. Robby tampan, dan aku lupa jika di sekolah ini banyak yang menyukai Robby sampai mengejar-ngejar lelaki itu agar mau menjadi kekasihnya. Dan sepertinya perempuan mungil itu sudah berhasil mendapatkan Robby.
Hahahahaaa!
Jadi, aku terlambat ya?
Aku berdehem, berusaha menahan rasa perih di dadaku dan kembali menatap mereka dengan ekspresi wajahku yang sudah berubah datar.
"Kak Robby masih punya hubungan sama Kak Valena?"
Tanya gadis mungil itu dengan alis terangkat, memandangku dengan tatapan tidak sukanya yang secara terang-terangan dia tunjukan padaku.
Yah, ternyata aku memang sudah seterkenal itu semenjak Robby mulai mengejarku dengan segala kekonyolan miliknya sampai adik kelas yang tidak aku ketahui namanya ini juga mengenalku.
"Nggak kok. Dari dulu gue nggak pernah punya hubungan apa-apa sama dia, jadi lo nggak usah khawatir."
Jawabku datar sambil melirik sekilas ke arah jam tangan yang melingkar di lenganku setelah menarik kotak bekal dan susu yang tadi sempat aku sodorkan.
"Bentar lagi masuk, gue mau ke balik ke kelas."
Lanjutku sambil berbalik, lalu mulai berjalan meninggalkan mereka dengan rasa perih di dadaku yang tak kunjung reda.
"Katanya lo lagi nyari orang buat bantuin ngabisin sandwich bikinan lo,"
Ucapan Robby membuat langkahku berhenti.
"Gue bisa bantu ngabisin kok, Val!"
Mendengar itu, aku lantas berbalik dan kembali menghadap Robby yang lengannya masih diapit oleh perempuan di sampingnya.
"Iya. Tapi sayangnya, gue nggak sudi berbagi makanan sama cowok brengsek kayak lo, Robby."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Almost Late [Completed]
FanfictionMembenci Robby adalah suatu keharusan. Tetapi saat lelaki itu tiba-tiba menghilang, rasanya kewarasan Valena juga ikut hilang. ∆∆∆ Almost Late ∆∆∆ Haechan x Ryujin Cover dari pinterest