18

1.4K 97 1
                                    

Lagi-lagi hujan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lagi-lagi hujan.

Aku menghembuskan napas panjang sambil menyenderkan tubuh pada  tiang halte yang dingin setelah sempat melihat arloji pada pergelangan tanganku. Pukul empat lebih sepuluh menit, yang berarti bus dengan tujuan kawasan apartemenku sudah terlambat lebih dari setengah jam. Semenjak Robby mulai menjauhiku beberapa bulan yang lalu, setiap pulang sekolah pasti selalu seperti ini. Aku menunggu bus hanya ditemani dengan hembusan angin sore yang kini menjadi bertambah dingin karena turun hujan, tanpa Robby. Padahal dulu biasanya, lelaki itu selalu menyusulku ke sini karena aku yang selalu kabur hanya karena tidak mau diantar pulang olehnya.

Sambil melihat awan mendung dan jalanan basah yang sesekali dilewati oleh kendaraan, aku mengingat kembali kejadian tadi pagi saat aku dengan sengaja mendatangi kelas Robby hanya untuk memberikan kotak bekal berisi sandwich dan sekaleng susu yang berujung tidak jadi aku berikan. Lagipula untuk apa? Aku sudah terlambat dan sepertinya sia-sia saja ketika aku sudah mulai menyadari perasaanku lalu berniat sedikit demi sedikit ingin membalas perasaan serta kebaikan Robby jika lelaki itu kini sudah dimiliki oleh orang lain.

Hahaha bodoh! Seharusnya dari awal aku tetap mempertahankan prinsipku untuk tidak mengenal cinta dan tidak membuka hati untuk lelaki seperti Robby karena akhirnya pasti akan seperti ini. Tetapi terlambat, aku sudah terlanjur menyukai Robby dan mungkin sudah terjatuh terlalu dalam pada setiap tatapan jenaka serta kelakuan konyol lelaki itu.

Yah, mungkin ini hukumanku karena sudah membenci dan bersikap jahat kepada seseorang yang tulus seperti Robby. Rasa sakit yang aku rasakan saat ini mungkin tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan lelaki itu yang setiap hari selalu dipermalukan oleh penolakan dari perempuan tidak tahu diri sepertiku. Dan aku, sama sekali tidak memiliki keberanian untuk meminta maaf karena sudah bersikap seperti itu kepadanya.

Robby berhak bahagia. Dia tidak pantas mendapatkan perempuan sepertiku yang tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan gadis cantik yang tadi pagi mengapit posesif lengan Robby tepat di hadapanku.

Aku menghela napas panjang sambil memejamkan mata, berusaha meredam rasa sesak di dadaku yang kian lama makin menyiksa dengan ditemani hujan yang semakin deras.

Jika menyukai seseorang, aku memang harus siap menanggung konsekuensi berupa patah hati seperti ini, bukan? Dan aku yakin, hati yang patah pasti perlahan akan kembali pulih meskipun tidak dalam jangka waktu yang sebentar.

Aku baru kembali membuka mata ketika mendengar suara mesin mobil yang berhenti tepat di depan halte. Sebuah mobil berwarna putih susu terparkir di sana, membuat dahiku berlipat ketika menyadari jika mobil itu tampak tidak asing untukku.

Itu mobil Robby.

Dan ternyata benar, Robby tampak keluar dari pintu kemudi sesaat setelah aku mendengar suara mesin mobil itu dimatikan. Dia berjalan ke arahku, menerobos derasnya hujan  dengan seragam berantakan dan rambut basah karena tetesan air yang jatuh dari langit. Secara refleks aku menegakkan tubuh, menatap sedikit tidak percaya kepada lelaki yang saat ini sudah berdiri di hadapanku dengan senyum lebar khas dirinya.

 Secara refleks aku menegakkan tubuh, menatap sedikit tidak percaya kepada lelaki yang saat ini sudah berdiri di hadapanku dengan senyum lebar khas dirinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ternyata lo masih di sini." Ucap Robby, masih dengan senyumnya.

Mendengar itu, aku lantas berdehem untuk sekedar menetralkan detak jantungku yang menggila hanya karena senyum cowok itu, lalu berusaha menguasai diriku agar tidak balas tersenyum.

"Lo ngapain ke sini?" Tanyaku ketus.

"Jemput cewek gue."

"Oh,"

Aku refleks mengalihkan tatapanku darinya sambil menahan rasa perih di dadaku.

"Cewek lo yang adek kelas itu? Daritadi gue di sini nggak liat dia tuh."

"Dia punya nama, Val." Kata Robby sambil duduk di kursi panjang halte, tepat di belakangku.

"Siska, namanya Siska."

"Gue nggak peduli."

Robby tertawa, membuatku lantas berbalik dan menatap aneh wajahnya yang menyebalkan itu. Memangnya apa yang lucu?

"Lagian, cewek yang gue maksud itu bukan Siska." Kata Robby pelan.

"Gue ke sini buat jemput lo, Valena."

***

Almost Late [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang