"Hai, babe. Lo nyari gue?"
Tanya Robby padaku dengan cengiran lebarnya.
"Kenapa? Kangen ya gara-gara gue nggak nyamperin lo setelah kelas bubar?"
Kali ini ia bertanya sambil cengengesan dengan tangan yang mulai menepuk-nepuk pelan ujung kepalaku yang tentu saja langsung aku tepis.
Mendengar suara sekaligus melihat ekspresinya yang terlihat menyebalkan seperti itu, rasanya aku sangat ingin mencakar wajah gantengnya dengan brutal.
Dan apa katanya tadi? Babe? Sampai kiamat pun aku tidak sudi dipanggil dengan sebutan menggelikan seperti itu.
"Sori. Tapi gue lagi ada urusan sebentar sama adek kelas cakep yang dari kemaren godain gue." Lanjutnya lagi dengan santai yang langsung membuat kedua bola mataku memutar.
"Gue nggak nanya dan lo nggak usah geer! Gue ke sini cuma buat balikin sampah yang lo simpen di loker gue." Balasku pedas sambil menunjuk bunga dan cokelat di meja dengan daguku.
"Itu tulip kuning dan dua batang cokelat yang masih utuh, Valena sayang. Bukan sampah."
"Tapi buat gue, itu sampah."
Aku menatap Robby jengah sedangkan cowok itu balas menatapku dengan jenaka. Seolah aku baru saja mengatakan lelucon padanya.
"Dan stop manggil gue dengan sebutan babe atau sayang, Robby. Itu bikin gue geli dan mau muntah!"
"Nggak bisa, Valena sayangku. Soalnya lo kan emang kesayangan gue."
"Najis."
Aku berdecih geli sedangkan Robby hanya tertawa, sebelum akhirnya cowok itu menoleh ke belakang dan memberikan kode kepada adik kelas korban kemesumannya itu untuk keluar dari ruang rapat. Dan sekarang hanya tinggal ada aku dan Robby saja di ruangan ini.
Tetapi tenang saja, meskipun sekarang aku hanya berdua dengan Robby seperti ini, cowok itu tidak akan berani macam-macam mengingat aku pernah mematahkan tulang hidungnya karena sudah berani mencium pipiku beberapa bulan lalu.
Walaupun sebenarnya sampai sekarang, aku masih agak aneh karena Robby tidak marah dan tidak kapok mengejarku setelah aku memukul hidung mancungnya itu sampai patah dan berdarah. Bahkan ia tidak membenciku sama sekali meskipun harus menahan sakit dengan hidung yang diperban selama tiga minggu. Yah sebenarnya, aku memukulnya karena refleks saja dan kebetulan saat itu aku sedang memegang kotak pensil dan mengenai hidungnya. Lagipula, salah dia sendiri yang melakukan hal menjijikkan itu padaku secara tiba-tiba.
Belum lagi setiap cowok itu muncul di hadapanku, aku selalu memakinya karena ada saja kelakuan Robby yang membuat emosiku naik. Setiap Robby mendapatkan makian dariku, cowok itu pasti selalu membalasnya dengan tawa riang yang terkesan menyebalkan untukku.
Saat aku menolak dan mempermalukan Robby di depan umum juga ia hanya tersenyum, cengengesan sendiri dan mengatakan tidak apa-apa sambil mengacak rambutku. Padahal seharusnya ia menjauh dan membenciku, bukan malah semakin mendekat dengan modal muka tebal serta bunga dan cokelat seperti ini.
Sepertinya Robby memang sudah gila. Dan itu membuat daftar kebencianku tentangnya semakin bertambah panjang.
"Jadi, lo nyari gue cuma buat balikin itu?"
Robby bertanya dengan tangannya yang dimasukin kedalam saku celana, menatapku dengan pandangan aneh yang baru saat ini aku lihat dari sorot matanya.
Jika aku tidak salah, manik sehitam kopi milik Robby menatapku dengan tatapan terluka.
Oh, benarkah? Bahkan aku tidak peduli sekali pun itu memang benar.
Dengan tegas aku mengangguk dan melipat kedua tanganku dengan angkuh.
"Dan buat nyuruh lo untuk nggak usah nyimpen sampah itu di loker gue lagi. Karena percuma, gue nggak akan mau nerima apapun dari cowok brengsek kayak lo, Robby."
Tatapan Robby sudah berubah kembali jenaka dan saat ini cowok itu sedang terkekeh.
"Gue nggak bisa berhenti ngelakuin itu, Valena sayang. Buat gue, ngasih lo bunga tulip kuning sama cokelat itu udah kayak ritual wajib. Sebagai tanda cinta gue buat lo." Kata Robby santai sambil membenarkan tatanan rambutnya dengan jari.
"Yaaaa walaupun lo nggak pernah mau terima hahahahahaha!" Lanjutnya sambil tertawa menyebalkan.
Aku memutar kedua bola mataku malas. Rasanya ingin sekali aku menyumpal mulut Robby agar berhenti tertawa menyebalkan seperti itu.
"Daripada dikasih ke gue dan berakhir di tong sampah, mendingan lo kasih ke cewek-cewek korban kemesuman lo aja sana!"
"Aduh, Valena sayang. Lo nggak usah cemburu gitu dong. Seluruh dunia juga pasti udah tau kalo gue cintanya cuma sama lo!"
"Najis, cemburu pala lo!"
Robby tertawa terbahak sedangkan aku sedang menahan diri agar tidak menyumpal mulutnya dengan batu.
"Lo bisa waras dikit nggak sih." Kataku lelah.
"Gue masih waras, sayang."
Robby menatapku serius sampai sedetik kemudian ia kembali berkata.
"Cuma itu dulu, sebelum gue jatuh cinta sama cewek jutek kayak lo. Hehehehehehe."
"Bodo amat!"
Seruku kesal, lalu berbalik dan pergi begitu saja dengan langkah lebar meninggalkan Robby yang sedang kembali tertawa terbahak.
"Gue anter lo pulang!"
Katanya seraya mencekal lenganku.
"Nggak mau!"
"Pulang sama gue apa gue cium?"
Aku melotot, hendak melayangkan pukulan ke bahunya tetapi tanganku segera ditahan oleh cowok itu.
"Kemarin lo udah pulang sendiri, jadi hari ini harus pulang sama gue."
"Rob---,"
"Gue nggak menerima penolakan setiap hari, Valena."
Aku mendengus, sudah lelah berdebat dan lebih memilih untuk tidak mengatakan apapun lagi.
"Good girl."
Robby tersenyum kecil, lalu mulai menarik tanganku menuju parkiran.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Almost Late [Completed]
FanfictionMembenci Robby adalah suatu keharusan. Tetapi saat lelaki itu tiba-tiba menghilang, rasanya kewarasan Valena juga ikut hilang. ∆∆∆ Almost Late ∆∆∆ Haechan x Ryujin Cover dari pinterest