15

1.4K 105 2
                                    

Aku mengerjap, berusaha memfokuskan mataku yang begitu buram karena air mata yang menghalangi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku mengerjap, berusaha memfokuskan mataku yang begitu buram karena air mata yang menghalangi. Semakin lama, sosok  itu semakin jelas. Wajahnya yang diliputi kekhawatiran saat menatapku membuat jantungku berdebar keras.

Aku sedang tidak berhalusinasi, kan?

"Robby?"

Sekali lagi aku memanggil, membuat lelaki yang sedang berjongkok di hadapanku mengernyit heran setelah sempat menghapus jejak air mata di kedua pipiku dan menarikku untuk berdiri.

"Lo ngapain nangis di sini?"

Mengacuhkan pertanyaannya, aku segera berhambur untuk memeluk Robby dan menenggelamkan kepalaku di dadanya dalam-dalam dengan tangis yang kembali pecah sambil berharap jika lelaki yang sedang aku peluk ini memang nyata, bukan sekedar halusinasiku saja.

Merasakan tepukan-tepukan lembut di punggungku, aku mengucapkan beribu syukur kepada Tuhan karena aku memang sedang tidak bermimpi. Robby masih hidup, suhu tubuhnya hangat, dan lelaki yang mengenakan hodie berwana hitam serta celana jeans pendek selutut ini masih bernapas dengan detak jantung berdebar keras seperti jantungku. Aku bisa merasakan itu dengan sangat jelas karena aku masih menempelkan wajahku di dadanya tanpa berniat melonggarkan pelukanku darinya.

"Lo sebenernya kenapa, Val?"

"Kasih gue waktu satu menit buat ngeyakinin diri gue sendiri kalau ini bukan mimpi, Rob."

"Iya, tapi jangan sambil nangis. Gue sakit liatnya."

Aku berusaha menghentikan tangisku, sambil merasakan balasan pelukan Robby yang tak kalah erat pada tubuhku. Setelah menarik napas dan mengembuskannya dengan pelan, aku melepas pelukanku dan mulai mendongak untuk menatap wajah Robby yang entah kenapa, begitu sangat aku rindukan. Mulai dari rambut hitam dengan sejumput rambut yang jatuh di keningnya, alis tebalnya, sorot mata hangat dengan manik sehitam kopi miliknya, hidung mancungnya, bibir tipisnya yang menawan, dan bentuk rahangnya yang tegas.

Apa Robby memang setampan ini?

Oh aku lupa. Robby memang selalu terlihat tampan apalagi dengan model rambut barunya yang seperti sengaja dibuat berantakan. Yah meskipun sekarang dia terlihat sedikit kurus dengan kantung mata yang menghitam, tetapi tetap saja tidak membuat minus penampilan dirinya yang memang selalu terlihat keren.

"Val, lo nggak sakit, kan?"

Robby bertanya sambil memegang kedua bahuku masih dengan tatapan khawatirnya, membuatku langsung tersenyum kecil dan menggeleng pelan.

"Terus lo kenapa nangis di sini? Lo kenal sama tetangga gue yang meninggal kemarin?"

Aku mengerjap. Pertanyaan Robby membuatku menyadari beberapa hal.

"Jadi, ini bukan rumah lo?"

Robby menggeleng, "Bukan."

"Dan yang meninggal itu bukan lo, tapi tetangga lo?"

"What?!"

Robby tampak terkejut dengan mulut terbuka, membuatku langsung menunduk untuk mengamati kertas surat yang masih aku genggam dengan erat.

Jadi surat ini...

Dan bunga serta cokelat itu...

Jika bukan dari Robby, lalu dari siapa?

Menyadari itu, aku mendengus keras sambil meremas kertas yang berada di tanganku hingga menjadi bulatan kertas lecek sebelum akhirnya melemparkan kertas itu ke lantai.

Orang sakit jiwa mana yang dengan jahatnya mempermainkanku seperti ini?!

"Val, lo ngira gue meninggal?" Robby kembali bertanya dengan nada tidak percaya dan masih menatapku terkejut.

"Surat itu," Aku menunjuk kertas berisi surat yang saat ini tergeletak di dekat sepatu yang Robby kenakan.

"Gue tau dari surat itu. Dan kayaknya ada yang ngerjain gue dengan membuat surat atas nama lo." Lanjutku sambil menatap Robby yang saat ini sedang mengambil bulatan kertas itu.

"Gila..."

Robby bergumam sambil terus membaca kata demi kata pada kertas tersebut. Kemudian setelah selesai, dia menatapku dengan tatapan jenakanya yang sialnya sangat aku rindukan. Sudah lama sekali aku tidak melihat tatapan itu.

"Jadi, lo nangis kejer kayak tadi gara-gara ngira gue meninggal?"

"Bukan cuma nangis kejer, tapi tadi gue juga marah-marah ke Seva buat minta alamat lo dan langsung pergi kesini sambil nangis-nangis kayak orang gila! Gue takut, Rob. Gue takut lo beneran---,"

"Val,"

Robby menangkupkan telapak tangannya di kedua pipiku dengan senyum kecil tersungging di bibirnya, membuatku tak kuasa menahan air mataku untuk tidak kembali turun. Sungguh, aku benar-benar merindukan lelaki menyebalkan yang dulu sangat aku benci ini.

"Gue masih di sini, gue masih bernapas, dan jantung gue masih berdetak dengan baik."

Kata Robby dengan tatapannya yang berubah lembut sambil membawa tanganku untuk menyentuh dadanya, membuatku bisa merasakan detak jantung milik Robby.

"Gue nggak bakal ninggalin lo, Valena, meskipun lo udah minta gue menjauh. Selama beberapa bulan ini gue emang nurutin kemauan lo buat menjauh, nggak gangguin lo lagi, dan bertingkah seolah nggak kenal sama lo di sekolah. Tapi gue selalu merhatiin lo, gue tau sebahagia apa kehidupan lo setelah nggak ada gue lagi, dan seperti apa yang tertulis di surat itu, gue juga bahagia dan sakit hati di waktu yang bersamaan."

"Robby,"

"Isi surat itu nggak sepenuhnya bohong, Val. Itu curhatan gue tentang lo yang gue ceritain ke satu orang, dan begonya orang itu malah memanfaatkannya buat ngerjain lo dengan membuat surat yang seolah-olah gue yang nulis sendiri disaat gue lagi sekarat. Sampe akhirnya lo mengira gue meninggal."

"Tapi lo beneran nggak sakit, kan?"

"Gue sehat, Val." Kata Robby sambil memandangku geli.

"Beneran?"

"Iya."

Robby tertawa pelan sambil mengacak rambutku, membuatku langsung menghembuskan napas lega dan balas tersenyum.

"Eh by the way, rumah gue yang itu, Val. Lo salah alamat."

kata Robby lagi sambil menunjuk rumah besar berpagar putih yang menjulang tinggi di sebelah rumah yang aku kira adalah rumah Robby.

Wajahku memerah malu, membuat tawa Robby berubah kencang sampai wajahnya ikut memerah karena puas melihat kekacauanku hari ini hanya karena aku sangat mengkhawatirkan dirinya.

Ya ampun, seharusnya aku tidak sepanik dan sebodoh itu.

***

Almost Late [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang