12

1.3K 95 1
                                        

Lorong tempat deretan loker kelas XI sudah begitu sepi saat aku menapakkan kaki di sana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lorong tempat deretan loker kelas XI sudah begitu sepi saat aku menapakkan kaki di sana. Seperti biasa sebelum aku pulang, aku akan menyimpan beberapa buku paket di loker agar tasku tidak terlalu berat. Dengan dua buku paket tebal yang aku tenteng, aku berjalan santai menuju lokerku yang berada pada deretan kedua paling ujung. Setelah sampai, aku membuka loker untuk memasukkan buku paket milikku. Tetapi pergerakan tanganku otomatis terhenti saat aku melihat sebucket bunga tulip kuning dan dua batang cokelat tersimpan di dalam lokerku.

Nggak salah lagi, pasti dari Robby.

Aku mengernyit, menatap heran sekaligus berpikir keras kenapa Robby kembali menyimpan bunga dan cokelat di lokerku setelah bertingkah seolah tidak mengenalku selama beberapa bulan ini. Tetapi akhirnya, tanpa ragu aku mengambil bucket bunga dan cokelat itu lalu menyimpan buku paket ke dalam loker kemudian menutupnya. Perlahan aku melirik ke sekitar lorong untuk memastikan sudah tidak ada siapa pun di sini dan ternyata memang hanya ada aku. Setelah itu, aku menyenderkan tubuhku pada deretan loker dengan senyum kecil yang sudah berusaha aku tahan sejak tadi.

Dengan senyum yang masih menghiasi bibirku, aku menghirup aroma tulip kuning yang sepertinya sedikit aku rindukan. Meskipun wanginya tidak seharum dan semanis mawar, tetapi sebenarnya aku sedikit menyukai bunga ini semenjak Robby pertama kali memberikannya kepadaku. Yah walaupun bunga ini selalu berakhir di tong sampah, tetapi jika Robby tahu aku selalu menggenggam erat dan mencium aromanya sebelum melempar bunga itu sembarangan, pasti cowok itu akan tersenyum lebar dengan tatapan jenakanya yang menghujam manik cokelatku, lalu mengacak rambutku dengan gemas sambil berkata;

"Nggak usah pura-pura nggak suka dengan sesuatu yang emang lo suka hanya karena itu pemberian dari gue, Val."

Ya ampun, kenapa suaranya tiba-tiba bisa terdengar manis seperti ini? padahal itu hanya suara dari khayalanku saja.

Aku menghela napas panjang, lalu semakin merapatkan punggungku pada deretan loker yang dingin dengan tatapan mengarah pada langit-langit lorong. Suara bass, tatapan jenaka, senyuman manis, dan tingkah konyol Robby yang selalu terlihat menyebalkan tiba-tiba saja melintas di kepalaku dengan cepat. Secara sadar, otakku memutar ulang saat dimana Robby yang selalu berada di sekitarku dengan tingkah konyol dan perhatian-perhatian kecil yang seharusnya tidak berefek apa-apa untukku saat ini. Semakin diingat, rasanya semakin sesak. Apalagi jika mengingat balasan perlakuanku kepadanya. Sekali pun, aku tidak pernah berterima kasih dan malah selalu memaki semua yang telah dia lakukan untukku.

Apakah aku memang selalu setidak-tahu-diri itu?

Aku menunduk, memandang kosong pada bucket bunga tulip dan dua batang cokelat yang masih berada dalam dekapanku dengan ingatan-ingatan tentang Robby yang semakin memenuhi kepalaku. Bunga ini, seharusnya tidak akan ada lagi bunga tulip kuning dari Robby mengingat cowok itu berkata tidak akan pernah memberiku bunga lagi saat pertemuan terakhirku dengannya beberapa bulan lalu. Pertemuan terakhir yang berujung dengan makian dan permintaanku yang meminta Robby untuk menjauh dari hidupku hanya karena aku sudah muak dengan segala pemberian serta perlakuannya lelaki itu untukku.

Bukan tanpa alasan, tetapi aku melakukan itu karena takut tidak bisa membalas semua yang telah Robby berikan untukku. Bunga, cokelat, sarapan dan susu setiap pagi, hadiah, perhatian, dan perasaan Robby, aku takut tidak bisa membalasnya. Robby terlalu baik untukku. Yah meskipun, Robby tidak sebaik itu mengingat kelakuan brengseknya yang selalu berciumam dengan setiap perempuan yang menggodanya di sekolah.

Jika Robby memang benar menyukaiku, bukankah aneh jika ia melakukan hal menjijikkan seperti itu dengan perempuan lain?

Aku mendengus keras sambil berusaha menendang sosok Robby yang dengan brengseknya memonopoli pikiranku. Mengingat kembali kelakuan brengseknya itu, semakin menyadarkanku jika tidak seharusnya aku merasa menyesal telah menolak perasaan Robby dan meminta lelaki itu untuk menjauh dari hidupku.

Oke, sudah cukup. Sesi flashback dan penyesalanku untuk Robby berakhir sampai di sini.

Tanpa buang-buang waktu, aku berjalan tergesa menuju tempat sampah yang berada di dekat tangga dengan perasaanku yang tiba-tiba semakin sesak. Ketika aku hendak membuang bunga dan cokelat yang masih aku genggam ke tempat sampah, sesuatu yang terselip di dalam bucket terjatuh ke lantai, tepat di depan ujung sepatuku.

Itu adalah sebuah kertas.

Karena penasaran, aku mengambil kertas tersebut dan membuka lipatannya dengan perlahan. Kemudian dahiku berlipat, memandang aneh pada kertas yang ternyata cukup panjang dan sudah penuh dengan kalimat-kalimat mengejutkan hingga membuat dadaku berdebar, tanganku bergetar, dan mataku seketika memanas saat satu persatu kalimat tersebut aku baca.

Ya Tuhan, ini nggak mungkin...

Tanpa sadar, aku sudah jatuh terduduk dengan air mata yang berderai.

***

Almost Late [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang