16

1.4K 100 1
                                    

"Robby itu sepupu gue, Val

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Robby itu sepupu gue, Val. Gue nggak tega liat dia terus-terusan galau, nyakitin dirinya sendiri dengan jarang makan dan sering begadang cuma karena galauin lo!"

Aku memejamkan mata, berusaha keras untuk menurunkan emosiku agar tidak balas membentak Seva yang saat ini sedang menatapku berapi-api. Selain fakta jika ternyata Seva adalah dalang dibalik surat itu, ternyata ada fakta baru lagi yang sialnya baru aku ketahui hari ini. Seva itu sepupuan sama Robby.

Ya ampun.

Pantas saja dari awal Robby mendekatiku, Seva selalu memintaku untuk mencoba membuka hati untuk Robby.

"Bukan cuma itu, gue juga udah muak dan capek ditanyain mulu sama Robby tentang kabar lo, apa yang lo lakuin, apa yang lo makan, siapa aja yang berusaha deketin lo, dan dengerin semua cerita dia tentang sebesar apa rasa sayangnya buat lo. Sedangkan lo? Sekali aja lo nggak pernah nanyain tentang Robby padahal udah jelas-jelas lo sering merhatiin kelas Robby dan kayak ngarep disapa setiap kalian papasan di koridor."

"Seva---,"

"Gue sayang sepupu gue, dan gue juga sayang sama lo karena lo sahabat gue. Gue nggak mau kalian saling nyakitin dengan lo pura-pura nggak peduli, dan Robby yang sosoan menjauh. Jadi gue sengaja bikin surat itu dan naro bunga serta cokelat di loker lo biar lo nyadar sama perasaan lo sendiri, Val. Gue tau sebenernya lo punya perasaan ke Robby, cuman karena lo takut jatuh cinta, lo jadi menekan perasaan lo sendiri dengan menyakiti Robby."

"Robby itu brengsek, Sev. Dan kebrengsekannya itu bikin gue inget Papa."

Kataku lirih sambil menyandarkan tubuhku pada sofa ruang tengah apartemenku, membuat Seva yang semula berdiri ikut mendudukkan dirinya di sebelahku.

"Dia brengsek juga gara-gara lo, Val. Karena lo udah nolak dia."

"Tapi kan caranya nggak harus kayak gitu!"

Seva mendengus keras, lalu meraih wajahku agar balas menatap gadis dengan rambut sebahu itu.

"Robby udah berubah. Makanya minggu kemarin dia ngundurin diri dari jabatannya sebagai ketua osis. Dan lo juga udah nggak pernah mergokin dia mesum sama cewek lagi, kan?"

"Iya sih, tapi kan---,"

"Jujur sama gue, lo juga punya perasaan kan sama Robby?"

"Nggak!" Jawabku cepat sambil mengalihkan pandanganku dari Seva.

"Kalau nggak, ngapain lo kemarin nangis kejer, marah-marah ke gue cuma buat minta alamat Robby, dan pergi ke rumah dia sambil nangis-nangis kayak orang gila?!"

"Itu..."

"Jawab sambil liat mata gue, Val."

Pinta Seva sambil mengarahkan wajahku untuk kembali menatap mata sipitnya.

"Lo peduli, khawatir, dan takut kehilangan Robby, makanya kemarin lo ngelakuin itu tanpa mikir panjang, tanpa mikir lo itu sebenernya lagi dikerjain doang apa nggak."

Aku mendengus kecil, membuat Seva menghela napas panjang dan mulai berdiri tanpa mengalihkan tatapannya dariku.

"Tanpa lo jawab, gue udah tau kalau apa yang gue bilang itu emang benar."

Kata Seva lagi sambil mengambil sling bag miliknya yang tergeletak di atas meja, lalu kembali berkata;

"Tapi inget, Val, perasaan orang bisa berubah. Mungkin sekarang Robby emang sesayang itu sama lo, tapi kedepannya nggak ada yang tau, kan?"

***

Almost Late [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang