Aku baru saja mendudukkan diri di kursi panjang halte saat hujan mengguyur deras disertai angin cukup kencang hingga menerbangkan helaian rambut cokelat milikku menjadi sedikit berantakan. Mengabaikan rambutku, aku lebih tertarik memperhatikan cipratan air yang mengenai sepatuku. Cipratan kecil yang lama-kelamaan membuat sepatuku sedikit basah dan lembab sampai ada sepasang sepatu yang menghalangi cipratan air itu.
Aku mendongak, dan menemukan lelaki tinggi dengan sepasang manik sehitam kopinya sedang menatapku sebal. Belum lagi dengan wajah cemberutnya yang saat ini sedang ia perlihatkan, membuatku langsung menyentakkan kepalaku ke belakang.
Ya ampun. Bagaimana bisa Robby menemukanku di sini, di halte sepi yang cukup jauh dari sekolah dan berlawanan dengan arah jalan pulang cowok itu? Padahal aku sudah berusaha pergi secepat mungkin dari sekolah untuk menghindari Robby bahkan sebelum bel pulang berbunyi karena beruntung, guru yang mengajar di jam terakhir tidak masuk.
Jadi, aku gagal menghindar lagi, ya?
"Kenapa lo bisa---,"
"Lo bohong."
Robby memotong pertanyaanku dengan cepat.
"Bohong?"
"Katanya lo mau ngabisin sandwich bikinan gue. Tapi malah lo kasih ke Seva."
"Kata siapa?"
"Temen sekelas lo."
Kali ini ia berujar dengan posisi yang sudah duduk di sebelahku.
"Sadar atau nggak, lo udah bikin hati gue terluka." Lanjutnya dramatis sambil memegang dada kirinya.
"Harusnya kan lo udah tau, Robby."
Aku membalas santai tanpa ada rasa bersalah sedikit pun.
"Dari dulu gue udah sering bilang kalo gue nggak bakal mau menerima apapun dari cowok kayak lo."
Robby masih cemberut dengan pandangan menatap lurus ke arah jalanan sepi yang sedang dihujam oleh jutaan air yang tumpah dari langit.
"Tapi gue kira, itu nggak berlaku buat sesuatu yang udah gue bikin dengan usaha gue sendiri."
Jika sudah dihadapkan dengan Robby yang sedang merajuk seperti ini, aku hanya bisa menghela napas panjang dan berharap agar Robby bisa kesal sehingga membuatnya menyerah dengan apa yang dia inginkan dariku.
"Tapi jangan harap kalau gue bakal nyerah, Val. Sejauh apapun lo ngedorong gue menjauh dengan makian atau sikap lo yang terus menolak gue, gue akan terus nunjukin keseriusan gue meskipun selalu lo anggap main-main."
Robby kini menoleh, menatapku lekat seakan dia memang benar-benar serius dengan perkataannya. Dan meskipun harapanku kandas begitu saja, tetapi tentu aku tidak akan sebodoh itu untuk mempercayainya.
"Dari tatapan lo, kayaknya lo nggak percaya sama omongan gue."
Robby mendekatkan wajahnya padaku, membuatku langsung mengerjap dan mendorong wajah cowok itu menjauh.
"Nggak usah deket-deket!"
Robby tertawa pelan, mengabaikan tatapan tajamku dan lebih memilih membuka tas ranselnya lalu mengambil sesuatu dari sana.
"Nih, pake."
Kata Robby sambil menyodorkan jaket berwarna biru gelap padaku.
"Sekarang lagi ujan dan dingin banget. Lo bisa sakit kalo nggak pake jaket." Lanjutnya sambil menarik tanganku dan meletakkan jaket itu di sana.
Aku menatapnya sebentar, mengabaikan teriakan batinku yang menyuruhku menolak jaket itu. Tetapi dengan alasan yang tidak aku ketahui, tanganku diam saja dan tidak juga berniat melempar jaket itu kembali kepada Robby.
Sejenak aku melirik Robby yang sudah kembali menatap jalanan basah karena diguyur hujan. Cowok itu masih mengenakan seragamnya tanpa balutan jaket yang membungkus tubuhnya. Padahal udara dingin karena hujan bisa saja membuatnya flu.
Melihat itu membuatku berpikir, untuk apa Robby memberikan jaket padaku jika dirinya saja bisa sakit jika terlalu lama kedingingan seperti itu? Dan kenapa ia harus repot-repot memikirkan kesehatanku jika kesehatannya juga bisa saja terganggu karena udara dingin?
Akhirnya setelah memperhatikan Robby cukup lama, aku menggeser jaket yang sedari tadi masih tergeletak di kursi ke arah Robby untuk mengembalikannya kepada cowok itu.
Bukannya aku peduli, tetapi aku hanya tidak ingin seseorang sakit hanya karena berusaha peduli padaku.
"Kenapa nggak dipake?"
"Mending lo aja yang pake, gue nggak mau. Gerah."
Robby tertawa sejenak sebelum akhirnya memutar tubuhnya menghadap padaku sepenuhnya. Dari tatapannya, kurasa ini bukan sebuah tatapan jenaka milik Robby yang selalu terlihat menyebalkan di mataku. Kali ini berbeda, tatapan itu terasa hangat dan tulus di waktu yang bersamaan. Entah ini sisi lain dari Robby atau bukan, tetapi aku merasa takut saat menatapnya. Takut jika aku tenggelam ke dasar terdalam manik sehitam kopi miliknya dan terjebak di sana.
"Gue tau lo bohong."
Ucap Robby pelan setelah menatapku cukup lama.
"Lo cuma khawatir gue juga kedinginan kan?" Lanjutnya sambil tertawa kecil.
"Nggak usah kepedean deh. Ngapain juga gue peduli sama lo."
"Tuh, kan. Siapa yang bilang peduli coba. Orang gue tadi bilangnya khawatir."
"Emang apa bedanya."
Balasku sambil mengalihkan pandangan ke tepi jalan, enggan menatap Robby yang saat ini sedang tertawa meledek.
"Muka lo merah tuh, hahahahaha!"
Mendengar itu rasanya aku ingin menendang Robby sampai ke bulan.
"Muka gue nggak merah!" Kilahku.
Robby yang sudah meredakan tawanya kini kembali menatapku hangat. Seolah dengan tatapannya saja aku sudah tidak memerlukan jaket atau benda apapun yang dapat dipakai untuk menghangatkan tubuhku. Sampai saat dimana aku dibuat sedikit terkejut ketika Robby menyampirkan jaketnya pada tubuhku dengan senyum yang tak kalah hangat dari tatapannya, lalu mengatakan sesuatu yang sempat membuat darahku berdesir selama beberapa detik.
"Gue lebih suka diomelin dan dimaki-maki sama lo setiap hari daripada nanti harus liat lo sakit, Val. Jadi please, pakai jaket ini sekarang ya?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Almost Late [Completed]
FanficMembenci Robby adalah suatu keharusan. Tetapi saat lelaki itu tiba-tiba menghilang, rasanya kewarasan Valena juga ikut hilang. ∆∆∆ Almost Late ∆∆∆ Haechan x Ryujin Cover dari pinterest