"Bye, cantik."
Aku mendengus kecil saat melihat Robby melambaikan tangan kepada seorang perempuan sambil senyum manis di depan lokerku, lalu ia juga membalas sapaan beberapa siswi yang melewati dirinya setelah sempat menyisir rambut ke belakang kepalanya dengan senyum tak kalah manis. Melihat itu, aku sangat sulit membedakan jika Robby itu ramah atau hanya orang yang hobi tebar pesona.
"Minggir."
Kataku ketus sambil mendorong tubuh cowok itu agar menjauh dari lokerku. Kemudian membukanya untuk memasukan beberapa buku sebelum akhirnya aku mendengus keras karena sudah mendapati setangkai tulip kuning dan sebuah kotak kado berukuran sedang yang juga berwarna kuning dengan pita biru di dalam sana.
Ya ampun...
"Heheheee."
Robby yang kini sedang bersandar pada deretan loker di samping lokerku tertawa pelan.
"Itu hadiah buat lo karena beberapa hari ini udah mau ngabisin sandwich bikinan gue."
"Itu karena lo maksa."
Balasku sambil menutup lokerku cukup kencang hingga bunyi brakkk terdengar nyaring di lorong yang kini sudah mulai sepi karena jam pulang sudah berbunyi sekitar setengah jam yang lalu. Kemudian dengan kasar, aku menyerahkan kado dan bunga itu kepada Robby.
"Nih, gue nggak butuh!"
"Gue udah tau pasti lo bakal nolak. Tapi kayaknya lo terpaksa harus terima karena mungkin, ini barang terakhir yang bisa gue kasih ke lo."
"Maksudnya?"
"Gue mau pindah ke Surabaya."
"Ha?"
Apa aku salah dengar?
"Gue mau pindah ke Surabaya, Valena sayang."
Untuk pertama kalinya, aku tidak bisa menahan senyum karena ternyata aku tidak salah dengar.
"Kenapa lo senyum-senyum?"
Robby bertanya dengan wajah menatap bingung ke arahku.
"Gue nggak senyum."
Bohongku, tetapi tidak menutupi guratan senang dari wajahku.
Robby menyipitkan kedua matanya, "Lo seneng ya kalo gue pindah?"
Haruskah aku menjawabnya?
Karena jawabannya tentu saja iya.
"Gue tau lo pasti bakal sedih karena untuk sementara, kita bakal LDRan." Sahutnya dengan nada sedih yang langsung aku balas dengan memutar bola mata.
"Gue nggak sedih! Lagian ya, sejak kapan kita punya hubungan?"
"Sejak gue nembak lo tujuh bulan yang lalu, heheheee"
"Oh, whatever." Kataku jengah.
"Jadi, lo mau kan nerima bunga dan kado dari gue?"
Aku berpikir sejenak, kemudian mengangguk sekenanya. Berhubung Robby akan pindah ke kota yang cukup jauh dan mungkin aku tidak akan pernah melihat wajah serta tingkah konyol cowok itu lagi, jadi sepertinya tidak apa-apa jika menerima sesuatu darinya kali ini.
"Akhirnya," Robby tersenyum lebar setelah menyerahkan kado dan bunga itu kepadaku.
"Nggak sia-sia juga gue bohongin lo."
"Bohong?"
Robby mengangguk dengan senyum lebarnya.
"Gue nggak mungkin pindah, Valena sayang. Lagian mana bisa gue jauh-jauh dari lo. Nggak ngeliat lo sehari aja rasanya gue kayak mau gila, anjir!"
Wtf!
"Eits, barang yang udah diterima nggak boleh dibalikin lagi. Pamali!"
Katanya lagi ketika aku akan melempar kado dan bunga ini tepat di wajah sok gantengnya itu.
"Nggak lucu!" Seruku kesal.
"Dan lo pasti udah tau kan, kalo gue---, "
"Nggak bakal mau nerima apapun dari cowok brengsek kayak gue."
Potong Robby cepat sambil melipat tangannya di depan dada.
"Gue udah sangat hapal sama omongan lo yang satu itu, Valena sayang. Tapi itu nggak berlaku buat sesuatu yang udah terlanjur lo terima."
"Kata siapa?"
"Gue." Robby menunjuk wajahnya sendiri.
Aku mendengus keras, sepertinya kepercayaan diri Robby semakin bertambah semenjak aku mau memakan sandwich buatannya beberapa hari belakangan ini. Bukan tanpa alasan, tetapi aku melakukan itu karena Robby mengancam tidak akan keluar dari kelasku sebelum aku menghabiskannya.
Dan aku menyesalinya sekarang.
"Oke, gue bakal terima."
Kataku akhirnya dan membuat Robby kembali tersenyum, kali ini senyum itu terlihat semakin lebar dan lebih manis dari biasanya.
"Serius?!"
"Iya. Tapi dengan satu syarat."
"Apapun itu, pasti bakal gue lakuin."
"Apapun?"
Robby mengangguk semangat dan otomatis membuatku tersenyum. Oke, mungkin setelah ini ketenangan dan kenyamananku di sekolah akan kembali.
"Oke kalo gitu."
"Jadi, syaratnya apa?" Tanya Robby masih dengan senyum senangnya.
Aku terdiam sebentar, menatap pantulan wajahku pada manik hitam milik Robby yang sedang menatapku dengan tatapan cerianya.
"Jauhin gue."
Kataku setenang mungkin.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Almost Late [Completed]
FanfictionMembenci Robby adalah suatu keharusan. Tetapi saat lelaki itu tiba-tiba menghilang, rasanya kewarasan Valena juga ikut hilang. ∆∆∆ Almost Late ∆∆∆ Haechan x Ryujin Cover dari pinterest