20

1.5K 107 1
                                    

Gelap

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gelap.

Tempat ini gelap. Tidak ada satu lampu atau cahaya pun di sini selain lampu kota yang berada di hadapanku dibarengi dengan suara desir angin dan deru kendaraan di bawah sana. Lantai rooftop dari bangunan 20 tingkat yang aku pijak ini basah, membuatku harus berjalan dengan hati-hati menuju bagian tengah rooftop saat mataku menemukan sosok tinggi yang berdiri membelakangiku di sana.

"Robby?"

Aku memanggil, membuat sosok yang mengenakan kemeja putih dan celana jeans berwarna biru itu lantas berbalik, hingga tak lama tempat ini berubah terang oleh lampu-lampu kecil yang sangat cantik. Langkahku terhenti, memandang sejenak lelaki tinggi yang berdiri beberapa meter dariku dengan senyum lebarnya.

Robby berdiri di bawah lampu-lampu kecil berwarna temaram, dengan tiang lampu yang dihiasi sedemikian rupa.

Robby berdiri di bawah lampu-lampu kecil berwarna temaram, dengan tiang lampu yang dihiasi sedemikian rupa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku memandang takjub, sampai tidak menyadari jika Robby saat ini sudah berada tepat di hadapanku.

"Lo suka?"

Aku mengangguk senang, membuat Robby semakin melebarkan senyumnya lalu mulai menggandeng tanganku untuk berjalan di bawah hiasan lampu-lampu kecil itu. Di sisi sebelah kanan, terdapat banyak gantungan photocard yang kebanyakan adalah fotoku yang diambil secara diam-diam.

Aku tersenyum geli, memandang fotoku sendiri yang tidak ada satupun ekspresi tersenyum yang membuatku bertanya-tanya; "apa wajahku memang selalu terlihat sejutek itu?", sangat berbeda dengan foto-foto Robby yang semuanya adalah ekspresi tertawa dan tersenyum ceria.

"Sori udah sering fotoin lo diem-diem, hehehee."

Aku menoleh, mengalihkan sejenak pandanganku pada Robby lalu menggeleng pelan sambil tersenyum kecil.

"Nggak apa-apa, gue suka." Balasku.

"Dari foto-foto ini kalo diliat-liat, kayaknya kita tuh bertolak belakang banget ya. Gue paling males senyum, sedangkan lo malah sebaliknya."

"Kan kita itu saling melengkapi, Val."

"Idih,"

"Nggak usah malu-malu gitu dong."

"Gue nggak malu!"

"Nggak malu tapi blushing."

Robby tertawa, membuatku lantas menggembungkan pipi sambil menahan hawa panas di kedua pipiku.

"Duduk, yuk."

Ajak Robby ketika sudah sampai di ujung dekat tembok pembatas yang tidak terlalu tinggi dengan tangannya yang semakin menggenggam erat tanganku.

Di sana, terdapat sofa panjang berwana putih lengkap dengan meja yang diatasnya terdapat vas bunga dan dua cangkir teh beserta teko kecil, menghadap ke arah lampu-lampu kota dan gedung-gedung tinggi yang terlihat indah di bawah naungan langit gelap tanpa bantuan cahaya bulan dan bintang. Kedua benda langit itu sepertinya tampak malas keluar malam ini karena mungkin, hujan terlalu lama turun sehingga awan gelap tidak memberikan celah untuk memperlihatkan mereka.

"Lo gabut banget ya sampe harus bikin beginian?"

Tanyaku setelah mendudukkan diri di samping Robby.

"Emang buat apa sih? Buang-buang duit."

"Gue cuma pengen bikin lo senang." Jawab Robby enteng.

"Lagian gue bikin semua ini juga atas saran dari temen lo."

"Seva?"

Robby mengangguk.

"Katanya kalau mau nembak cewek, harus bikin sesuatu yang romantis. Jangan malu-maluin lagi kayak waktu pertama gue nembak lo di depan banyak orang."

Aku mengerjap, agak cukup kaget karena Robby mengatakan itu dengan terang-terangan.

"Gue tau lo butuh privasi, makanya gue ngerencanain ini. Yah walaupun nggak bagus-bagus amat, soalnya ini bikinnya buru-buru. Kan lo tau sendiri daritadi ujannya susah banget buat berhenti."

Kata Robby lagi sambil terkekeh pelan,  membuatku hanya bisa melongo sambil berusaha mencerna semua perkataanya.

"Tunggu sebentar, Val."

Aku kembali mengerjap, memandang punggung Robby yang perlahan menjauh melewati lampu-lampu kecil itu. cukup lama aku menunggu Robby kembali sambil memikirkan ucapan cowok itu dengan jantung berdebar.

Jangan-jangan Robby benar-benar akan---,

"Val,"

Aku mendongak, memandang Robby yang kini sudah kembali berdiri di hadapanku dengan uluran tangan lelaki itu, menunggu aku menyambutnya. Cukup lama aku terdiam hingga Robby berinisiatif meraih tanganku hingga membuatku berdiri berhadapan dengannya.

"Valena,"

Robby kembali memanggil, sambil mengarahkan wajahku untuk menatap manik sehitam kopi miliknya yang hangat.

"Gue sayang lo."

"Robby,"

"Gue serius sayang sama lo, Val. Tolong jangan meragukan lagi perasaan gue seperti yang udah-udah." Potong Robby sambil meraih tangan kiriku untuk dia genggam.

"Jatuh bangun gue ngejar lo, sampai gue pernah jadi cowok paling brengsek juga karena terlalu patah hati akibat semua penolakan dari lo."

"Lo itu sangat berpengaruh buat gue, Val. Cuma lo yang bisa bikin gue lebih baik, atau bahkan jadi lebih buruk."

"Robby, gue---,"

"Gue udah berubah, kalau lo mempertanyakan kelakuan gue sekarang."

"Bukan itu,"

"Terus apa?"

"Gue..."

"Lo takut gue melakukan hal seperti Papa lo?"

Aku terdiam, menatap lekat manik sehitam kopi milik Robby yang kini sedang menghujam manik mataku begitu dalam.

"Seva udah cerita masalah itu ke gue, Val, dan gue bisa ngerti kalau lo emang setakut itu. Tapi, sampai kapan lo akan takut dan benci sama yang namanya cinta disaat ada seseorang yang tulus dengan perasaannya ke lo?" Ucap Robby dengan nada yang begitu lirih.

"Lo harus mencobanya, Valena. Lo harus mencoba percaya sama gue."

"Gue butuh waktu, Robby."

Kataku setelah terdiam cukup lama, membuat Robby lantas melepas genggamannya pada tanganku tanpa mengalihkan tatapannya sedikit pun.

"Gue udah ngejar dan nunggu lo selama hampir satu tahun, dan lo masih butuh waktu?" Tanya Robby dengan suara bassnya.

"Oke, gue akan kasih lo waktu. Tapi batasnya hanya malam ini, Val. Gue akan menunggu lo hanya malam ini, untuk terakhir kalinya."

Aku menengguk ludah, memandang Robby yang perlahan mundur beberapa langkah di depanku sambil mengeluarlan sebucket mawar putih yang sebelumnya ia sembunyikan di belakang punggung.

"Kalo lo terima gue, cukup ambil bunga ini dari tangan gue, Val."

Ucap Robby dengan nada suara yang terdengar serius, begitu pun dengan tatapannya padaku.

"Kalo lo tolak gue, ambil bunga ini dan buang tepat di hadapan gue, seperti yang sudah biasa lo lakukan."

***

Almost Late [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang