14

1.3K 100 2
                                        

Aku menatap pagar tinggi berwarna hitam dengan bendera kuning yang terpasang pada sisi kanan dan kiri di hadapanku dengan sendu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku menatap pagar tinggi berwarna hitam dengan bendera kuning yang terpasang pada sisi kanan dan kiri di hadapanku dengan sendu. Pagar itu tertutup, membuat bangunan rumah besar itu tampak tersembunyi dan hanya terlihat dari sela-sela pagar. Jalanan perumahan yang baru beberapa menit aku lalui pun lengang, tidak ada satu kendaraan pun yang lewat selain hembusan angin yang perlahan menggoyangkan rambutku. Aku menahan napas, dengan pandangan masih menatap tidak percaya pada dua bendera berwarna kuning yang berkibar-kibar diterpa oleh angin. Melihat itu, sekuat tenaga aku berusaha menahan tangisku agar kembali tidak pecah sambil meremas ujung seragamku.

Jadi, surat itu...

Dan perihal Robby...

Semua itu benar...

Lidahku kelu, tidak sanggup untuk melanjutkan perkataan batinku sendiri. Tangisku akhirnya kembali pecah, membuat isakan menyedihkan mengalun dari bibirku dengan ditemani oleh angin sore dan sorot mentari yang mulai redup.

Aku berjongkok, lalu melipat tanganku di atas lutut untuk meredam suara tangisku yang begitu memilukan. Merasakan tetes demi tetes air mata yang jatuh di pelupuk mataku sambil meremas tertahan surat dari Robby yang masih aku genggam. Ini pasti mimpi, ini pasti khayalan, dan ini pasti hanya imajinasi burukku saja karena aku sedang merindukan lelaki itu.

Tidak mungkin Robby meninggal secepat ini, kan? Karena setahuku, Robby baik-baik saja, dia selalu terlihat sehat dan bugar meskipun sudah beberapa bulan ini aku tidak lagi berinteraksi dengannya.

Jika Robby meninggal, lalu siapa yang menyimpan bucket bunga tulip kuning dan dua batang cokelat itu di dalam lokerku? Sangat tidak mungkin jika orang yang sudah meninggal bisa melakukan hal itu.

Haha! Mungkin ini hanya trik jahil Robby saja untuk mengerjaiku, iya kan?

Aku tertawa lirih dalam tangisku, mencoba meyakinkan diriku sendiri jika ini hanya omong kosong dan hanya keusilan Robby semata.

Tapi, kenapa ini begitu terasa nyata?

Tangisku semakin pecah dan kencang, mengalirkan air deras yang berasal dari pelupuk mataku lalu turun mengalir melewati pipi kemudian jatuh di atas lenganku.

Aku, aku menyesal. Aku sangat menyesali semua perbuatanku kepada Robby selama ini. Pikiranku kini berputar, kembali mengingat setiap makian dan kekasaran yang selalu aku lakukan kepada Robby. Padahal lelaki itu selalu baik padaku. Selalu tersenyum dengan tatapan jenakanya setiap memandangku serta tingkah konyol menyebalkan dirinya yang saat ini sangat aku rindukan.

Aku merindukan Robby. Sangat merindukannya. Aku tidak mengira dia akan pergi secepat ini karena penyakit yang sama sekali tidak aku ketahui.

Robby meninggalkanku, dengan berjuta penyesalan tak berujung yang kini begitu mengguncang diriku.

Ya Tuhan, aku tidak percaya ini...

Jika waktu dapat diputar, aku berjanji akan merubah sikapku kepada Robby dan mungkin membalas perasaan tulusnya padaku meskipun aku sangat membenci yang namanya perasan 'cinta'. Tetapi sungguh, akan aku coba. Meskipun dia menyebalkan dan sering berbuat mesum di sekolah, aku akan belajar menerimanya dan juga mungkin belajar mencintainya.

Hati kecilku mengatakan jika Robby memang benar-benar tulus mencintaiku, menggeser perlahan prinsipku yang tidak ingin mengenal dan merasakan yang namanya 'cinta'.

Tetapi, kenapa ini terjadi padaku disaat Robby sudah tidak ada? Apa Tuhan sedang menghukumku sekarang?

Yah, aku memang pantas dihukum karena telah menyia-nyiakan Robby. Satu-satunya orang yang tulus mencintaiku meskipun sudah ribuan kali aku menolaknya.

Aku kembali menangis. Kembali menyesali kebodohanku yang begitu buta dengan perasaan lelaki konyol itu. Seharusnya, sejak pertama kali Robby menatapku dengan manik kopi miliknya, aku seharusnya sudah tahu perasaan itu. Perasaan tulus yang bukan hanya sekedar tertarik kemudian mengajakku berkenalan lalu mengungkapkan perasaan saat itu juga, mengingat setelah aku menolaknya dengan berbagai makian, lelaki itu tetap berada di sisiku tanpa mengenal lelah.

Ya ampun, kenapa selama ini aku begitu buta?

"Val?"

Dan sepertinya aku sudah mulai gila karena mendengar suara bass yang begitu mirip dengan suara Robby saat ini.

"Valena? Ini beneran lo, kan?"

Tunggu, suaranya begitu mirip dan aku sudah tidak tahan untuk mendongak ketika ada tangan yang menyibak rambutku ke belakang telinga.

"Robby?"

Aku mematung, balas menatap manik sehitam kopi milik lelaki tinggi yang kini sedang menatapku dengan bingung sekaligus khawatir.

Aku tidak salah lihat, kan?

***

Almost Late [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang