10

1.4K 101 0
                                        

"Jauhin gue

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jauhin gue."

Kataku setenang mungkin.

Robby mengerjap, sebelum akhirnya bahu cowok itu tampak sedikit meluruh bersamaan dengan hembusan napas panjang dan perubahan ekspresi wajahnya menjadi sedingin es.

Apa aku menyakitinya? Lagi?

Jika iya, aku sama sekali tidak peduli.

"Apa lo sebegitu bencinya dengan kehadiran gue?" Tanya Robby setelah beberapa menit hanya menatapku.

"Ya."

"Kenapa?"

"Apa harus gue jelasin?"

"Tentu."

Aku menatap lekat manik sehitam kopi milik Robby yang kini balas menatapku dengan jenis tatapan yang baru pertama kali aku lihat. Tatapan itu datar tetapi terlihat tajam hingga mampu menusuk sesuatu dalam dadaku. Tetapi meskipun begitu, aku tidak akan menunda-nunda lagi untuk mengatakan semua kebencianku padanya.

"Lo itu sumber kesialan gue, Robby. Semenjak lo ngedeketin gue, ketenangan dan ketentraman gue di sekolah lenyap karena nyinyiran dan tatapan nggak suka orang-orang yang ngeliat lo ada di sekitar gue. Gue dimusuhin, dijauhin, dan judge hanya karena gue nolak cowok kayak lo. Cowok yang dimata mereka sangat sempurna, padahal aslinya, lo itu cuma cowok brengsek yang cuma bisa melakukan hal mesum sekaligus cowok murahan yang mau nyium siapa aja kalau ada yang minta."

"Cuma itu?"

"Oh ya, gue juga benci semua tingkah konyol dan perhatian-perhatian nggak jelas yang lo kasih ke gue. Harusnya dari awal lo nyadar kalo semua yang lo lakuin buat gue itu cuma sia-sia, dan apa yang lo kasih itu cuma sampah di mata gue."

"Termasuk ini."

Aku melempar kado dan bunga tulip kuning yang aku pegang ke lantai tepat dihadapan Robby, lalu kembali melanjutkan.

"Jadi mulai sekarang, lebih baik lo jauhin gue yang jelas-jelas nggak bakal nerima perasaan lo. Dan lo juga boleh balas benci sama gue sebesar gue benci lo, atau bahkan jauh lebih besar. Karena menurut gue, membenci seseorang nggak ada salahnya jika itu bisa membuat rasa sakit di hati lo hilang."

Robby bergeming dengan raut wajah dan tatapan datarnya. Meskipun sebenarnya agak aneh melihat Robby yang biasanya jenaka, penuh senyum, dan hangat menjadi sosok dingin dan tidak berekspresi seperti ini. Tetapi jika itu membuatnya akan menjauhiku, tentu saja aku tidak akan masalah ditatap seperti itu bahkan menjadi orang yang mungkin saat ini akan dia benci.

"Oke kalo itu mau lo."

Ucap Robby santai setelah terdiam cukup lama dengan tatapan yang kini sudah berubah jenaka seperti biasanya. Bahkan raut wajahnya sudah kembali seperti saat di mana aku belum mengatakan sesuatu yang seharusnya menyakitinya.

Oh, apakah semudah itu? Dan apakah Robby adalah manusia yang kebal dengan ucapan kebencian serta kata-kata menyakitkan dariku? Atau dia memang berniat menjauh meskipun aku tidak mengutarakan kebencianku padanya?

Ya ampun, yang benar saja.

Kemudian aku cukup tersentak saat tiba-tiba Robby berjongkok di depanku, memungut kembali kado dan bunga yang sempat aku lempar lalu menyerahkan benda itu kepadaku dengan senyum lebarnya.

"Tapi sesuai perjanjian, lo harus terima ini. Hadiah pertama dan bunga terakhir dari gue."

Aku menatapnya sebentar, memikirkan apakah aku sudah terlalu jahat kepada Robby atau tidak. Masalahnya, sebesar apapun aku menolak dan menyakitinya, bahkan sampai menginjak-nginjak harga diri cowok itu dengan mengatakan jika dia murahan, Robby masih bisa tersenyum seperti ini dan bertingkah seolah aku tidak pernah mengatakan semua itu.

Apa Robby memang sebodoh itu hanya karena menyukai perempuan biasa sepertiku?

Aku berdehem sejenak untuk mengusir rasa bersalah yang tiba-tiba menyerangku, lalu dengan cepat aku mengangguk mengiyakan.

"Oke, nggak masalah. Gue bakal terima ini." Kataku sambil mengangkat kado dan bunga tepat di depan wajah Robby.

"Tapi gue harap, lo anggap serius semua omongan gue."

Selesai mengatakan itu, aku berbalik lalu melangkah meninggalkan Robby yang masih berdiri di tempatnya.

"Valena."

Aku menghembuskan napas kasar saat mendengar Robby memanggilku. Dan tanpa harus repot berbalik, aku menyahut datar.

"Apa lagi?"

"Sebelum gue menjauh dan benci sama lo, apa boleh gue minta satu hal?"

Aku berbalik dengan alis terangkat, balas menatap Robby yang masih menatapku dengan tatapan yang sama. Setelah memperhatikan cowok itu cukup lama dan menduga jika Robby tidak akan meminta hal aneh dariku, aku akhirnya mengangguk setuju.

"Serius?" Robby menatapku tak percaya.

"Tapi lo harus janji kalo lo nggak bakal matahin hidung gue lagi."

Mendengar itu mataku otomatis membulat, memandang horror pada Robby yang kini sudah berjalan mendekat ke arahku. Jangan-jangan dia memanfaatkan kesempatan ini untuk menciumku lagi.

Hah, jangan harap!

Belum sempat aku mengeluarkan suaraku untuk menolak, Robby sudah menerjangku dengan pelukannya. Mendekapku erat sampai aku sedikit tersentak dan membuatku kesulitan bernapas karena ini adalah pertama kalinya aku dipeluk seorang lelaki selain Papa. Tetapi meskipun begitu, harus aku akui jika pelukan Robby adalah pelukan terhangat yang pernah aku rasakan melebihi hangatnya pelukan orangtuaku sendiri.

"Robby,"

"Please, Val. Tolong biarin gue meluk lo kali ini, untuk pertama dan terakhir."

Robby berucap lirih tepat di sisi telingaku dengan disertai hembusan napas hangat yang mengenai leherku. Sungguh, merasakan ini perasaanku seperti dibuat ikut menghangat karena merasa ada seseorang yang membutuhkanku dalam hidupnya. Tetapi tidak dapat dipungkiri jika aku bahagia karena mungkin ini adalah terakhir kalinya aku mendapati Robby ada di sekitarku dengan tingkah menyebalkan cowok itu.

Tanpa sadar, aku tersenyum senang dan balas menepuk-nepuk punggung Robby dengan lembut.

"Ya ya ya, pertama dan terakhir. Lagian gue juga nggak mau dipeluk lo lagi. Jadi selagi ada kesempatan, peluk gue selama apapun yang lo mau sekarang."

***

Almost Late [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang