serpihan keduapuluh empat: perih

258 7 0
                                    

Aku masih terduduk di depan kelas hingga bermenit-menit kemudian.
Mataku kosong.
Badanku ada disitu namun pikiranku terbang kemana-mana.
Sesekali mencoreti baju kawanku yang menghampiri.
Dan menyalami guru-guru yang lewat di depanku untuk terakhir kali.
Dengan tersenyum riang.
Tapi tak ada yang tahu, aku sedang menangis tersedu-sedu di balik topeng tawa lebar yang kupakai siang itu.
Memunguti kembali kepingan-kepingan kecil hatiku yang telah terpecah entah berapa bagian
dan kembali mencoba membangunnya menjadi satu keutuhan yang baru

namun ternyata aku tak mampu.

Ada satu kepingan besar yang hilang disana.
Hatiku mungkin takkan pernah utuh lagi.

Aku tak percaya lagi/dengan apa yang kau beri/aku terdampar disini/tersudut menunggu mati/aku tak percaya lagi/akan guna matahari/yang dulu mampu terangi/sudut gelap hati ini
Aku berhenti berharap/dan menunggu datang gelap/sampai nanti suatu saat/tak ada cinta kudapat/kenapa ada derita/bila bahagia tercipta/kenapa ada sang hitam/bila putih menyenangkan
Kau ajarkan aku bahagia/Kau ajarkan aku derita
Kau tunjukan aku bahagia/Kau tunjukan aku derita
Kau berikan aku bahagia/Kau berikan aku derita

lagu itu bagai diputar berkali-kali dengan volume maksimum di telingaku.
Memenuhi isi kepala, lalu turun menghujam ke hati.

Perih.

Aku masih belum bisa percaya pada penglihatanku tadi
berkali-kali aku menghibur hati kalau yang kulihat tadi adalah halusinasi.
Ataupun yang tadi lewat hanyalah orang lain yang mirip dengan rira, yang sedang membonceng orang yang mirip dengan rian, dengan motor yang mirip dengan motor milik rian.

Ah, aku tak bisa membohongi hatiku.

Hari ini, di hari terakhir aku bisa berdiri di sekolah ini dengan seragam putih abu-abu kebanggaanku,
aku harus menerima kenyataan bahwa rira melupakan janjinya untuk menuliskan sebait coretan setelah sebelumnya membuatku terbang ke awang-awang dengan bolpen jelly warna birunya.
Dan seperti belum cukup untuk membuat luka di hatiku, aku melihat rira yang sebelumnya tak pernah mau membonceng satupun cowok selama dua tahun ini, diboncengkan seorang cowok untuk pertamakalinya.
Dialah Rian, teman smp, sma, sekaligus tetangga sebelah rumah rira.

Sakit.

Drrrrtt. . Drrrt. . . Drrrt. . .
hapeku bergetar.
Tanda telepon masuk.
Namun aku tak bergeming.
Aku masih duduk disini memeluk lutut.

Mengapa terasa pedih sekali ya?

Drrrt.
Hapeku bergetar lagi.
Namun kali ini hanya sekali.
Tanda sms baru.
Aku tak peduli.
Paling-paling hanya orang yang mengucapkan ucapan selamat kelulusan dan sebagainya.
Persetan dengan kelulusan!
Kukeluarkan hape dari saku.
Kubuka casing belakang dengan kasar.
Kulepas batreinya, lalu dengan asal-asalan kumasukkan dalam tas.

Rasanya aku sudah tidak kuat lama-lama disini.
Perasaanku semakin hancur saja melihat teman-teman berseliweran di depanku dengan seragam yang penuh coretan.
Akupun segera menuju tempat parkir untuk mengambil motor.
Lalu ngebut menuju tempat pelarianku tiap aku memiliki masalah dulu.
tempat yang slalu terbuka lebar ketika pintu-pintu lain terkunci untukku
Sebuah ruangan berwarna kelabu, sedikit kumuh dengan tempelan poster dimana-mana. penuh kepulan asap rokok -walau aku belum pernah merokok, hingga sekarang-, berisi puluhan LCD komputer dengan ceceran puntung rokok, asbak dan botol minuman ringan di sekelilingnya.

speedarea gamecenter.

Aku mencoba melarikan diri dari perasaan itu dengan bermain game.
Ternyata, tenggelam dalam game mampu mengobati perasaan sedih itu.

Walau hanya sebentar.

serpihan cerita tentang dia [true story] [ Kaskus-SFTH ] ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang