Chapter 32

65.8K 4.1K 469
                                    

Michel masuk ke dalam apartemen Kris tanpa mengatakan apa-apa. Raut wajahnya sungguh tidak terbaca. Entah dia marah, sedih, atau kecewa. Alena tidak tahu. Michel memperlihatkan raut murka, tapi hanya beberapa detik, sebelum lenyap tak bersisa. Menurut Alena, sikapnya ini bahkan lebih menakutkan daripada kelakuan rubah-rubah yang sering mencelanya secara terang-terangan. Setidaknya pada mereka, ia tahu bagaimana harus bersikap. Tapi Michel? Entahlah... dia sulit diprediksi.

Rasanya ia pantas dimaki sekarang mengetahui dirinya tinggal satu atap bersama kekasihnya. Ia sangat pantas untuk itu, ia paham. Tetapi, Michel memilih bungkam dan mengajak Kris berdiskusi berdua di dalam.

Alena memberikan jalan padanya. Michel melewatinya dengan dingin tanpa menatap. Aura tegang di sini begitu kental terasa. Alena hanya bisa menunduk seraya menautkan kedua tangannya. Sedangkan Kris menghela napas panjang tanpa mengatakan apa-apa pada Alena dan berbalik mengikuti kekasihnya sesuai perintah.

Saat mengetahui Alena tetap termangu di depan pintu tak tahu harus berbuat apa, Kris berhenti sejenak, dan menggumam pelan. "Tunggu di sofa," katanya.

Alena menuruti dan duduk di sofa. Mereka masuk ke dalam kamar Kris dinaungi hening yang mencekam. Entah apa yang akan mereka lakukan di sana. Mungkin bertengkar hebat atau semacamnya. Alena tidak yakin.

Tiga puluh menit berlalu, mereka masih belum kunjung keluar. Berkali-kali mengubah posisi duduk dengan cemas, Alena menatap ke arah pintu yang tertutup rapat itu. Ia tidak bisa mendengar suara apa-apa di sini. Kamarnya benar-benar kedap suara. Ia harap tidak ada hal seperti saling cakar-mencakar atau semacamnya. Keduanya terdengar tenang, dan suasana teramat menyeramkan baginya sekarang.

Menit terlewati, hingga akhirnya pintu kamarnya terbuka. Pikiran Alena mengenai pertengkaran mereka hanya menjadi ilusi semata. Salah besar. Mereka terlihat baik-baik saja. Michel bergelayut manja di lengan Kris tanpa melihat ke arah Alena. Dingin dan tak bersahabat begitu kentara di setiap guratan wajahnya. Hal yang wajar jika Michel marah padanya. Namun, ada yang berbeda dengan Kris. Kenapa dia tampak enggan menatapnya juga? Sama sekali, mata Kris tidak sekali pun tertuju padanya. Dia lebih memilih mengalihkan pandangan atau berbicara dengan Michel.

Ada apa dengan Kris? Apa ia melakukan kesalahan padanya?

Mereka berjalan ke dapur mengabaikan Alena yang ternganga di sofa. Ia masih kebingungan, sulit mencerna situasi ini. Kekuatan cinta mereka ternyata begitu kuat hingga kehadirannya di sini tidak menjadikan kendala di tengah rajutan tali kasih mereka. Hubungan mereka baik-baik saja. Entah ia harus merasa lega atau merasa sedih.

Suara ponsel Kris di meja depan Alena berbunyi dan cukup mengagetkannya. Kris berjalan ke arah Alena untuk mengangkat ponselnya.

"Halo,"

"...."

"Oh, benarkah? Baiklah, tidak masalah. Saya batalkan saja pesanannya," suara Kris sedang berbicara dengan seseorang di seberang telepon.

Kris mematikan ponselnya dan menaruhnya lagi di meja.

"Al, pengantar pizzanya terkena musibah, jadi pesanannya aku baru saja batalkan. Tidak ada yang bisa mengantarkan ke sini." Jelasnya.

Alena merengut. "Kris, tapi aku lapar."

"Michel bilang dia akan memasak makan malam untuk kita. Memang kamu tidak bosan memakan pizza tiap malam?" Kris mendecak.

"Nggak sama sekali!" sahut Alena mengembangkan senyum berusaha mencairkan suasana.

Tangan Kris sudah terangkat dan terulur ke rambut Alena, namun tidak lama kemudian dihentikannya. Alena tahu, mungkin karena ada Michel. Tidak masalah. Bukankah sangat aneh jika dia memperlakukannya seperti biasanya di depan kekasihnya? Kris mungkin cuma tidak ingin membuat Michel marah. Alena bisa mengerti itu.

My Cute Office GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang