DUA PULUH

3.7K 108 0
                                    

Suasana kantin sekolah itu terasa begitu lenggang meski ada banyak manusia yang memenuhi tiap meja panjang ruangan itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suasana kantin sekolah itu terasa begitu lenggang meski ada banyak manusia yang memenuhi tiap meja panjang ruangan itu.

Salah satu diantaranya adalah sosok wanita muda berambut pirang panjang yang ragu memilih untuk duduk dimana. Beberapa orang yang tak sengaja menatapnya segera membuang muka. Seolah khawatir wajah cantik wanita itu merusak nafsu makan mereka.

Sosok tak lain adalah Silvia itu hanya mengedipkan bahunya tak peduli dan mencari meja yang barangkali tidak keberatan bila menampung Silvia untuk makan siang bersama.

Namun setelah berjalan memutar lima menit lamanya Silvia masih belum menemukan kursi. Ia hendak menyerah namun seorang wanita yang berambut hitam legam serta kulit kecoklatan segera menarik lengan Silvia agar duduk di kursi yang tak jauh dari mereka.

Silvia kaget bukan main. Berulang kali mata birunya mengerjap sebagai reaksi heran dari perlakuan seorang wanita yang kini sibuk melahap makanannya.

"Kenapa tak dimakan?"

"Ah ya aku makan." Jawab Silvia seperti orang bodoh. Wanita baik hati yang menariknya itu menatap menu Silvia dengan prihatin.

"Aku dengar kau adalah siswa yang bisa masuk karena beasiswa tapi kau harus tetap menjaga kesehatanmu dengan menu yang layak." Celetuk wanita yang tak lain adalah Anne itu.

Silvia gelagapan. Dari mana Anne tahu jika ia menerima beasiswa? Padahal Anne memaksa pria itu untuk menutupinya.

"Tapi katanya kau tak seberapa pintar. Kau bahkan sering bolos."

"Bukan urusanmu." Balas Silvia kemudian meninggalkan Anne yang ternganga.

Setelah hari dimana Anne dan Silvia berbincang untuk pertama kalinya. Mereka mendadak jadi dekat. Dekat bukan akrab. Karena Silvia masih sering bersikap dingin dengan Anne.

Anne adalah anak salah seorang pengusaha kaya di negeri ini dan berbeda dengan Silvia yang harus bersusah paya untuk bisa sekolah di tempat itu, Anne malah sebaliknya.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

"Ahh aku sudah pindah kelas." Ujar Anne dengan girang. Tanpa perlu menanyakan siapa pemilik kursi di samping Silvia. Anne segera menyingkirkan tas itu dan menaruh miliknya.

"Kita akan satu kelas." Kilatan mata Anne tidak membuat Silvia menjadi senang.

Anne sering mendengar betapa angkuhnya Silvia di sekolah. Anne juga terlalu bosan mendengar berbagai macam rumor yang beredar mengenai wanita itu. Hingga Anne dengan nekat mencoba untuk mencari tahunya sendiri. Oh salahkan jiwa detektif Anne yang berkembang dengan pesatnya. Mendadak ia ingin mematai-matai Silvia.

Untuk memudahkan niatnya. Maka ia harus berada di dekat wanita itu. Mengamatinya lebih dekat dan lebih sering.

Semakin lama Anne mengawasi Silvia. Semakin banyak pula hal yang membuat Anne merasa begitu miris.

Wanita itu tidak memiliki teman. Bahkan saat ia sakit pun tak ada yang mau mencari tahu dan menengoknya.

"Kalian tak mau menjenguk Silvia?" Tanya Anne berbasa-basi.

"Menengok jalang itu?" Lalu mereka semua tertawa.

"Untuk apa menengoknya? Dia bukan orang yang asyik dan sok paling cantik."

"Tapi bukankah dia memang yang paling cantik?" Pertanyaan polos Anne membuat beberapa murid itu menatap Anne buas. Jika mereka tidak mengingat betapa berkuasanya ayah Anne Adler maka sudah pasti mereka akan membuat Anne menyesal karena telah menanyakan hal itu.

+++++

Dengan menggunakan koneksi orang tuanya, akhirnya Anne bisa segera mendapatkan rumah sakit tempat Silvia di rawat.
Anne mengendap membuka pintu ruangan inap VVIP itu dengan pelan. Ia sempat berjengik kaget saat melihat sosok pria dalam balutan jas rapi tengah duduk di samping Silvia yang terbaring lemah.

"Hmm selamat siang."

Pria itu berbalik. Begitu pula Silvia yang tadinya memejamkan matanya.

"Paman Matheo?" Ucap Anne dengan syok.

Sedangkan pria yang disebutkan namanya itu tanpak begitu khawatir. Ia berdiri mendekati Anne sedangkan Silvia kembali memejamkan matanya. Seolah tak peduli dengan Matheo yang tertangkap basah oleh keponakannya itu.

"Dengar Anne, jangan salah sangka. Ini tidak seperti yang kau kira."

Wajah Anne menjadi bingung.

"Memang ada apa paman? Paman yang membawa Silvia ke rumah sakit?"

Anne tidak bersandiwara. Ia memang tidak berpikir yang macam-macam. Ia tahu jika Silvia tidak memiliki siapapun. Jadi bisa saja dalam perjalanan ke rumah sakit wanita itu terjatuh dan ditolong oleh pamannya yang baik hati.

Tawa gambar Silvia terdengar. Matheo maupun Anne menatapnya bersamaan.

"Kau tak apa?" Matheo bergegas mendekati Silvia dan menanyakan keadaan wanita itu. Bahkan ia kelihatan sangat khawatir.

Mata Silvia terbuka dan menatap Anne yang berdiri tak jauh dari pintu. Silvia hanya diam. Ia menatap Anne dengan pandangan yang begitu misterius.

++++++

"Bukankah kukatakan padamu untuk tidak menarik perhatian Anne?" Tanya Matheo setelah tadi berpura-pura pamit dan membiarkan anak sepupunya berbincang dengan wanita simpanannya itu.

"Aku tak menarik perhatiannya Matheo. Jika kau lupa aku masih suka dengan benda tumpul yang keras." Ucap Silvia dengan penuh sindiran.

"Sialan. Bukan itu maksudku."

"Ah lantas apa lagi? Kumohon kau keluar."

Wajah Matheo berubah. Ia nampak begitu menyesal telah membentak Silvia. Dengan ragu pria itu menghampiri Silvia.

"Maafkan aku sayang."

Silvia mendengus.

"Bukan salahmu. Aku juga belum sanggup merawat bayi."

"Tapi aku bisa menyewa baby sitter untuknya kelak. Kau tak perlu repot-repot."

"Lantas bagaimana dengan anak dan istrimu?" Tanya Anne dengan telak membuat pria itu bungkam.

+
+
+

Bersambung

Wrong Princess ---END---Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang