DUA PULUH SATU (TAMAT)

7.9K 189 32
                                    

Silvia terbangun dengan peluh yang membasahi seluruh tubuhnya, ia mendesah lega saat melihat jika dirinya masih berada di kamar mewah milik Philip. Berulang kali ia menenangkan dirinya. Sudah sejak lama wanita itu tidak memimpikan masa lalunya itu.

Silvia menengok ke nakas dan berucap syukur saat dilihatnya terdapat gelas yang berisi air putih. Sedikit usaha keras bagi wanita itu untuk bisa mendapatkan air yang bisa sedikit membuatnya tenang. Ia juga baru menyadari jika ternyata Philip berbaring di sampingnya. Wajah pria itu tetap terlihat mengeras meski dalam keadaan lelap.

Wanitu itu bersandar pada ranjang dan memejamkan matanya sejenak. Sepertinya ia sudah mendapatkan karma atas sifat jahatnya. Wanita itu tersenyum miris, tak ada penyesalan dalam diri wanita cantik itu.

Semenjak diperkosa oleh tuan yang mengadopsinya, Silvia merasa tidak ada lagi alasan yang membuatnya harus mengenyahkan rasa egonya untuk orang lain. Ia bahkan sudah menggugurkan kandungannya. Entah bagaimana reaksi Philip jika mengetahui Silvia pernah hamil dan melakukan aborsi.

''Kau terbangun.'' Gumam Philip serak. Mata pria itu segera sadar dan terduduk menghadap ke Silvia.

''Apa kakimu terasa sakit'' Wajah Philip terlihat cemas.
Silvia tidak menjawab. Ia hanya menatap Philip datar dan menghela napas kasar.

''Ada yang ingin kukatakan padamu Philip.''

''Katakan saja.''

''Kau tidak takut  mendengarku?'' Tanya Silvia dengan nada menggoda.

''Katakan saja.'' Kata Philip tanpa gentar.

''Aku ingin pergi.''

''Maksudmu?'' Kini Philip menaikkan nada suaranya.
''Aku merasa seperti mainan rusak.''
''Tapi kau bukan mainan sayang.'' Tangan Philip terangkat untuk membelai pipi lembut Silvia.

''Tapi aku merasa seperti itu. Apa kau akan terus menutup mata atas semua hidup orang yang kuhancurkan Philip?'' Nada sinis dalam setiap kata Silvia seakan memukul dada Philip dengan keras. Pria itu tidak menyangka jika Silvia akan mengatakan hal yang membuat wanita itu jelas berada dalam posisi sulit.

''Aku akan berterima kasih andai kau melepaskanku dan tidak melaporkanku ke polisi. Dan tolong biarkan saja Lawrence.''

Silvia lelah mengejar materi dan kesenangan untuk memenuhi ambisinya, ia mungkin masih mengumpati pelayan itu sewaktu siuman, namun yang ingin dilakukan Silvia hanyalah melepaskan semua.

Bukan karena ia menyesal. Melainkan ia sudah sangat lelah.

''Tapi aku mencintaimu.'' Kata Philip dengan nada serius. Silvia hanya menatapnya heran dan tertawa hambar.

''Tidak Philip, kau tidak mencintaiku.'' Sangkal Silvia. Jujur dalam hidupnya, Silvia tidak bisa menerima kata itu. Baginya cinta adalah sesuatu hal bodoh yang mampu merusak orang lain.

Bagaimana ia bisa menerima cinta dengan masa lalunya yang kelam?

Philip sudah pasti mengatakan cinta hanya untuk membesarkan hati Silvia, dan wanita itu tidak membutuhkannya.

''Aku akan berterima kasih jika kau mau membiarkan James ikut denganku.''

Silvia memang jalang sejati. Dengan seenaknya ia meminta Philip melepaskannya dan meminta salah satu pengawal pria itu. Persetan! Silvia masih peduli dengan dirinya sendiri. Dan kondisinya yang lumpuh sudah pasti membutuhkan bantuan. James adalah pilihan yang paling baik baginya.

Sorot Philip nampak begitu marah namun Silvia tidak mengacuhkannya. Ia malah makin memprovokasi Philip agar melepasnya.

''Mainanmu ini sudah rusak Philip.'' Nada suara Silvia mengecil.
''Kau bisa mendapatkan yang lebih baik dariku dan yang pasti lebih bisa kau kendalikan. Kau juga merindukan Anne bukan?''

Sempurna. Philip tidak lagi memiliki alasan untuk menahan wanita itu.

+++++

Seolah tak mau berlama-lama Silvia akhirnya pindah keesokannya ditemani oleh James. Philip sudah menyediakan sebuah tempat di daerah London. Dan ia juga sudah menyediakan rekening untuk Silvia. Philip tidak begitu saja akan melepas Silvia, hanya untuk sementara ini, ia menuruti keinginan wanitanya itu. mungkin Silvia perlu memikirkan sesuatu.

Philip tak bisa menyembunyikan kekecewaanya pada keputusan Silvia itu. Mereka akan segera menikah. Sedikit lagi Philip akan memiliki Silvia sepenuhnya, namun wanitu itu memilih untuk pergi.

Seminggu kemudian Philip kedatangan seorang wanita muda yang menyerupai Silvia di kantornya. Hanya saja wanita itu jauh lebih nampak polos.

''Maaf apa anda tahu dimana kakakku?'' Tanya wanita itu dengan kikuk.

Philip menatap wanita itu dengan seksama. Sebenarnya Philip sudah mengetahui keberadaan adik kandung Silvia itu, namun ia terlalu kecewa pada Silvia hingga ia memutuskan untuk membatalkan niatnya mempertemukan mereka.

''Aku tidak tahu, dan silahkan keluar karena aku memiliki urusan yang jauh lebih penting.'' Kata Philip tanpa hati. Tidak memedulikan wajah wanita muda itu yang kini berkaca-kaca.

+++++

Sementara itu...

''Apa kau punya saudara Jamie?'' Tanya Silvia saat James sedang mendorong kursi rodanya ke arah ruang makan yang menyatu dengan dapur.

Silvia tidak mengikuti perintah Philip untuk terbang ke Inggris dan tinggal di tempat yang sudah diatur pria itu, Silvia menguras isi rekeningnya dan meminta James agar membawanya ke Paris.

Ia suka kota itu, dan di sinilah mereka berdua. Hidup sederhana di apartement sempit dan gaya hidup yang sangat sederhana.

''Maaf aku hanya bisa masak ini.'' Ujar James dengan malu.

Silvia tertawa dan menarik ujung kemeja pria itu. ''Hahaha tenanglah, aku tidak suka pilih-pilih makanan. Duduk dan suapi aku.'' Silvia memberi penekanan pada kalimat terakhirnya. James tersenyum dan duduk di samping wanita itu da mulai menyuapinya.

Sikap Silvia berubah hangat padanya semenjak meninggalkan New York, Silvia seakan menunjukkan pribadinya yang lain.

Mereka makan dari piring yang sama dan sendok yang sama.

''Kau belum menjawa pertanyaanku.'' Protes Silvia setelah James membantunya minum, sebenanya ia bisa minum sendiri namun Silvia hanya suka bila pria itu memanjakannya. Maklum selama ini semua pria hanya tetarik memanjakan Silvia di atas ranjang.

''Yang mana?''

"Apa kau punya saudara?''

''Tidak Silvia.'' Jawab James sambil tersenyum lembut.

Demi Tuhan, wanita itu sangat menyukai cara James tersenyum padanya, bukan senyuman yang penuh indikasi kurang ajar pada Silvia melainkan murni dari keinginan pria itu untuk membuat wanta itu merasa nyaman dan yahh Silvia memang merasa nyaman.
James William, pria itu seolah memiliki hal yang tidak dimiliki pria lainnya hingga membuat Silvia begitu tertarik.

Mungkin James adalah kebaikan yang sengaja dikirim Tuhan padanya.
Bersama Pria itu, entah akan jadi bagaimana hubungan mereka. Yang jelas Silvia tidak bisa berharap terlalu banyak. Karena pria itu gay.
.
.
.
.
--END

Wrong Princess ---END---Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang