DELAPAN BELAS

3.3K 109 1
                                    

Kayaknya banyak typo deh...

Saat akhirnya Silvia tertidur, Philip melangkah keluar kamar untuk menghubungi seseorang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Saat akhirnya Silvia tertidur, Philip melangkah keluar kamar untuk menghubungi seseorang.
''Kau sudah mendapatkan kabar soal gadis itu?''
''...''
''Apa iya berada di panti asuhan yang sama dengan Silvia?''
''Apa dia tahu keadaan Silvia? Ahh maksudku, apa dia tahu jika dia memiliki saudara perempuan?''
''...''
''Jangan sampai siapapun tahu keberadaannya.''
Segera setelah memutuskan sambungan telepon, Philip bergegas turun ke bawah dan meminta pelayan agar menyiapkan makan siang untuk Silvia.
''Bawa saja ke atas jika sudah selesai.''
Philip kembali teringat dengan Lawrence, dan dia sudah meminta pada James agar segera mencari keberadaan wanita itu. meski Silvia sudah mengatakan jika Lawrence yang membuatnya jadi lumpu Philip harus mendengar Lawrence dulu. Bukan karena ia tidak percaya melainkan karena ia paham jika Silvia bisa saja asal menuduh Lawrence, ia sangat tahu bahwa Lawrence tak mungkin bisa sekeji itu pada Silvia.
''Tuan Philip.'' Salah seorang Pelayan menghampirinya dengan langkah cepat.
''Ada apa?'' Philip mengernyitkan dahinya.
''Nona Silvia sudah bangun, dan sekarang sedang mencari Tuan.''
+++++
Saat Silvia terbangun dan tidak mendapati Philip di dekatnya, Silvia berubah cemas, berbagai pemikiran buruk melintas dalam benaknya.
Apa Philip sudah tak mengingkan dirinya yang lumpuh?
Apa ia akan dibuang juga?
''Philip!'' Jeritannya hanya mendatangkan seorang Pelayan yang kebetulan sedang membersihkan lantai di dekat kamar Silvia.
''Ada apa Nona?''
Melihat jika bukan Philip yang datang konan Silvia menjadi emosi.
''Kenapa kau masuk kemari bodoh? Yang kupanggil adalah Philip! Bukan Pelayan seperti dirimu.''
Pelayan itu hanya menunduk sembari mengutarakan kata maaf berulag kali.
''Maafkan saya Nona, saya hanya khawatir dengan keadaan Nona.''
''Pergi sana.'' Ketus Silvia sambil membuang wajahnya ke arah samping.
''Panggilkan Philip, cepat.''
Tak lama kemudian pria itu kembali datang dengan raut wajah yang hampir sama dengan Pelayan tadi, sama-sama menatap Silvia dengan khawatir. Padahal jelas-jelas saat ini Silvia merasa jika dirinyalah yang paling khawatir saat ini.
Bagaimana tidak?
Dulu saat kedua kakinya masih berfungsi dengan baik, ia tak akan pernah gelisah jika Philip tida menemuinya sampai tiga hari. Namun sekarang lihatlah wanita malang itu. baru beberapa menit saja dia sudah kelabakan.
Wajar saja. Sekarang Silvia memilki cela yang membuat Philip dengan mudah bisa berpaling dari wanita itu.
''Silvia.'' Ucap Philip sambil duduk di sisi ranjang. Dibawanya tangan Silvia ke dalam genggamannya.
''Dari mana saja kau?'' Silvia mengumpat dalam hati saat dirasanya matanya mulai mengeluaran cairan.
''Shhhh tenanglah.'' Philip membawa wanita itu ke dalam dekapannya yang menenangkan dan mengelus rambut panjang Silvia dengan lembut. ''Aku dari bawah, kau perlu makan dan yahh kau tau sendiri.''
Silvia menumpahkan air matanya, isakannya yang begitu memilukan membuat Philip memejamkan matanya. Sungguh, melihat Silvia serapuh ini adalah hal yang tak pernah ia bayangkan, sekalipun wanita itu telah menyakiti Anne. Dia tak bisa memungkiri jika ia sangat takut kehilangan Silvia. Saat James mengatakan jika Silvia berada di rumah sakit, Philip nyaris tida bisa berjalan dengan lurus.
''Aku takut Philip.'' Isakan Silvia makin menjadi-jadi. Begitu kontras dengan keadaan kamar mewah yang senyap itu, yang terdengar hanyalah suara tangisan Silvia, tangisan yang tak akan pernah Silvia tunjukkan pada orang lain. Silvia lebih suka dibenci daripada dikasihani seperti sekarang ini, namun Silvia sungguh tak sanggup berpura-pura kuat saat ia dipastikan tak akan bertahan tanpa belas kasihan orang seperti saat ini. dia lumpuh. Jelas sekali jika begitu Silvia harus menggantung hidupnya pada orang lain.
''Tak ada yang perlu kau takutkan.''
''Kau tak akan membuangku, kan?''
Pertanyaan itu membuat Philip membeku, bagaimana mungkin Silvia bisa berpikiran seperti itu. disaat Philip bahkan rela mengabdikan dirinya untuk merawat Silvia.
''Itu tak akan terjadi, kau akan tetap di sisiku.'' Ucap Philip penuh tekad
Silvia  mendorong bahu Philip dan menatap wajah pria itu dengan tak yakin.
''Tapi kenapa Philip? Kau tak perlu merasa terpaksa. Aku cukup sadar diri, sekalipun aku sudah menyakiti Anne. Sekarang tak ada yang bisa kulakukan untukmu. Aku...''
''Kau pikir nilaimu hanya sebatas memuaskanku?''
Silvia mengangguk, kemudian tertawa hambar.
''Memang itukan? Jika aku tak menggodamu, kau tak akan bersama denganku sekarang.''
Apakah benar jka saat ini yang berbicara kepadanya adalah Silvia? Sebab pria itu sangat hapal bagaimana tabiat buruk Silvia.
''Berhentilah memikirkan hal lainnya, kau sungguh tidak cocok melakukan itu.'' Suara Philip terdengar marah, pria itu berdiri dan menatap silvia sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celana hitamnya.
''Tidurlah.''
+++++
Seven year ago –When she was 13
''Nahh Silvia ayo sapa orang tua barumu.'' Seorang biarawati memegang kedua bahu Silvia, membawa Silvia yang kecil itu ke hadapan sepasang suami istri yang masih muda itu.
Sang suster itu sedikit heran mengapa pasangan itu mau mengangkat seorang anak yang sudah remaja, padahal masih banyak anak kecil di panti itu.
Saat Suster itu bertanya alasan mereka apa maka alasan seperti inilah yang ia dengar. "Kami sudah memiliki bayi dan kami ingin anak kami memilki saudara.'' Jawab si pria dengan senyum yang mengembang. Meski tidak begitu percaya, suster itu tetap membiarkan mereka untuk membawa Silvia.
Lagipula Silvia sudah terlalu sering membuat masalah dengan anak perempuan seusianya di panti. Suster itu berpikir jika Silvia pun pasti ingn segera keluar dari panti itu.
Silvia sangat kecewa saat suster pengasuh di panti itu dengan mudah membiarkan orang lain membawa Silvia, gadis itu kecewa. Dan yang terburuk, tak ada yang bisa memahaminya. Silvia hanya punya teman untuk menghinanya. Apa itu bisa disebut sebagai teman? Meski tak bisa, Silvia hanya bisa menyebut mereka sebagai teman. Ia masih polos, maka saat beberapa gadis yang lebih tua dari memandangnya dengan kesal saat Silvia tidak merasa pernah membuat masalah dengan mereka---Silvia terang melakukan pembelaan. Ya, meski ia lemah, hanya itulah yang bisa ia lakukan.
Rupanya yang cantik, rambutnya yang pirang dan indah, kakinya yang panjang, bentuk tubuh yang sempurna, kulit putih bersih dan matanya yang biru membuat Silvia selalu menjadi sasaran kecemburuan para anak panti, bahkan ada yang pernah mengatakan dirinya adalah pelacur. Silvia tentu tak tahu apa itu pelacur, maka ia pun bertanya pada suster pengasuh.
''Suster, pelacur itu apa?'' Gerakan tangan yang sedang mengepang rambut halus Silvia itu terhenti. Suster itu syok. Darimana Silvia mendengar kata kotor itu.
''Mengapa kau bertanya seperti itu?''
''Mengapa wajah Suster seperti habis melihat hantu begitu?'' Silvia balik bertanya yang membuat Suster itu menjadi emosi, dengan kasar dicengkramnya lengan kurus Silvia.
''Awhh sakit suster.'' Rintih Silvia, gadis kecil itu tak tahu, sungguh ia bingung dan sedih. Ia selalu mendapatkan kemarahan seperti ini. ia hanya bertanya pada Suster itu namun Silvia mendapatkan hukuman yang berat.
Dikurung dalam gudang tua yang pengap dan gelap. Sendiri. Meski saat di luar gudangpun tak ada bedanya. Ia selalu merasa sendiri. Tidak ada yang mau menemaninya main. Silvia memeluk kedua lututnya dan menangis sesegukan sampai tenggorokannya sakit.
Silvia tak tahu sejak kapan ia berada di panti itu, yang bisa ia ingat dengan bai adalah tak ada kenangan baik yang bisa ia ingat, karena memang tak ada yang manis. Bagi Silvia, tempat itu tak ubahnya seperti neraka yang sering Suster ceritakan jika mereka berbuat nakal. Tapi Sivia tidak nakal, ia hanya berusaha membela dirinya, dan Suster itu jahat.
+++++
Philip membuka pintu kamar Silvia dengan pelan. Ia sudah memutuskan untuk tidur bersama Silvia. Jaga-jaga jika seandainya Silvia membutuhkan sesuatu.
Dilihatnya Silvia sudah terlelap. Dahi wanita itu berkeringat. Apa Silvia kepanasan? Tapi suhu AC sudah begitu dingin. Philip mendekati ranjang dan berdir di sisi samping tempat Silvia tertidur.
Matanya yang tajam menangkap pergerakan kecil Silvia yang mengeleng. Philip tidak bisa menahan diri untuk tidak mendekat dirinya pada wanita itu. Silvia nampak gelisah dan perlahan dari sudut matanya mengalir cairan bening.
Ada apa ini? Philip menjadi cemas. Apa Silvia merasakan kesakitan? Ia tak tahan dengan melihat Silvia menangis dalam mimpi. Namun ia juga tak tega membangunkan Silvia. Saat Philip bingung harus bagaimana, suara igauan Silvia yang menyayat hati terdengar.
''Philip.''
Philip segera menaiki ranjang itu, memposisikan di samping Silvia, lalu memeluk wanita itu dari belakang. Berulang kali ia mengecup puncak kepala Silvia dengan lembut, sambil membisikan kalimat-kalimat penenang dalam tidur wanita itu.
''Semua akan baik-baik saja.'' Ucap Philip penuh tekad
+
+
+
+
Bersambung
Selamat datang di sisi terkelam Silvia........

Wrong Princess ---END---Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang