His Hugs

1K 172 40
                                    

"Apa kau mau mencoba menjadi yang pertama untukku?"

Seketika tawaku lenyap ketika mendengar tawaran dan melihat seringaian itu. "Tidak!"

Yang benar saja?!

Giliran Harry tertawa ketika aku berniat melangkah ke kamar mandi.

"Aku hanya bercanda, mengapa kau mudah sekali percaya pada orang lain?"

Aku mengernyit, Dia menipuku? Jadi benar dia seorang pemerkosa?

"Kau percaya jika aku belum pernah melakukannya?"

Gadis batinku memutar matanya.

"Kurasa itu bukan urusanku, mengapa jadi membicarakan hal seperti ini?"

"Kau yang memulainya bukan?"

Aku menggeleng pasrah, memang awalnya aku yang memulai.

"Tunggu, tapi aku serius aku tidak pernah memperkosa."

Aku kembali melihat Harry ia sedang berusaha memakai kaosnya, aku memutuskan untuk tidak percaya padanya kemudian berlalu ke kamar mandi untuk mencuci muka, aku baru bekerja sore nanti.

Harry sudah berada di dapur ketika aku selesai dengan kegiatanku, entahlah dia membuat apa, dia tengah sibuk memotong bacon. Aku segera ke halaman belakang untuk mengangkat jemuran yang sudah kering dan akan menyetrikanya nanti saja. Aku berniat membereskan pakaian Niall dan membawanya ke panti asuhan, kupikir barang peninggalannya akan lebih berguna daripada tertumpuk di sini.

Aku meletakkan keranjang berisi pakaian di ruang laundry lalu kembali ke dapur dan berdiri di samping Harry untuk melihat apa yang dia lakukan dengan penggorengan dan bacon itu.

"Aku membuat bacon dengan telur," kata Harry yang mulai menuang minyak di atas pan dan aku memilih untuk bergeming.

"Sudah lama aku tidak memasak, semenjak rumahku terjual." Harry menumis bacon dengan lincahnya. Aroma harum mulai menguar dari sana dan sedikit membuat air liurku mengalir.

"Sepertinya tanganmu sudah sembuh." Aku melihat tangan Harry yang terlihat tidak kesakitan ketika mengaduk masakannya.

Harry menghentikan kegiatannya. "Aw ... God tanganku terasa seperti patah," Harry tiba-tiba berteriak secara dramatis dan sedikit membuatku terkejut dan kebingungan. "kau yang lanjutkan," suruhnya dan aku memutar mataku malas ketika tahu dia hanya berakting.

"Kau layak mendapatkan piala oscar," sarkasku ketika Harry duduk di kursi dan aku dapat mendengarnya terkekeh.

"Aku serius."

Aku berdecak lidah dan menggelengkan kepalaku.

Aku memecahkan dua buah telur di atas pan kemudian memberi garam dan sedikit merica. Setelah selesai aku meletakkannya ke atas dua buah piring dan memberikan satu untuk Harry.

Hanya terdengar dentingan suara piring yang beradu dengan sendok dan garpu ketika kami makan.

"Jadi, kau tinggal di mana jika kau tidak punya rumah?" Aku memulai pembicaraan, sedikit canggung karena biasanya Harry yang memulai percakapan terlebih dahulu dan aku tahu dia hanya akan mempermalukanku pada akhirnya. Ugh....

Harry menghentikan makannya kemudian menatapku, ia mengunyah makanan di mulutnya perlahan terlihat berpikir dan aku menunggunya menjawab pertanyaanku.

"Di jalanan, emperan toko, kursi tunggu rumah sakit," Harry menggedikkan bahunya santai "ya ... tempat-tempat semacam itu." Sejenak hatiku melunak ketika menatapnya. Pria malang, ketika pemuda seusianya hanya menghabiskan waktu untuk hang out dan berfoya-foya, dia harus mencari uang serta mengurus ibu dan adiknya.

Harry terkekeh. "Hentikan tatapanmu itu. Kau membuatku terlihat menyedihkan."

Aku mengerjapkan mataku. "Maaf."

"Kau tidak punya keluarga?" tanyaku lagi.

"Tidak, aku sendiri," Harry menyelesaikan sarapannya kemudian melangkah ke washtafle lalu mencuci piringnya, "lalu kau? Sejak kapan kau tinggal sendiri?"

Haruskah aku membahasnya?

"Dua tahun terakhir." Aku kembali memakan sarapanku.

"Lalu keluargamu?"

"Aku tidak tahu, aku tidak pernah melihat mereka. Mereka membuangku sejak aku masih bayi." Aku menghabiskan makananku dengan cepat.

"Lalu bagaimana kau bisa bertahan sampai sekarang?"

Batinku memutar matanya. "Kurasa kau cukup pintar untuk mengetahui tempat bernama panti asuhan."

"Oh.. oke, jadi kita sama-sama sebatang kara sekarang?" tanya Harry kembali duduk di kursinya.

Aku mengangguk menyetujuinya.

"Lalu ... Niall?" tanya Harry hati-hati.

Aku meliriknya sebentar. "Kami sama."

"Kau sudah bersamanya sejak kecil?" tanya Harry lagi dan aku mengangguk.

"Kupikir kami akan selalu bersama." Aku melangkah menuju washtafle dan menunduk di sana, kurasakan wajahku memanas. Tidak jangan menangis lagi batinku mengingatkan diriku sendiri namun nyatanya air mataku mulai menggenang. Aku segera menggeleng dan mengusapnya sebelum Harry tahu dan kembali mempermalukanku. Namun kurasakan ia sudah berdiri di belakangku dan menepuk bahuku perlahan membuatku menoleh ke arahnya. Tanpa diduga aku sudah berada di dalam pelukannya.

Harry memelukku sangat erat, aku sama sekali tidak tahu harus berbuat apa. Kurasakan dadaku sangat sesak seperti sesuatu menekanku, aku kembali menangis di pelukan pria yang sama sekali tidak ku kenal. Kedua tanganku meremas kaos putih yang dikenakan Harry dan tangisku semakin menjadi-jadi.

Cukup lama kami berada dalam posisi ini dan Harry sama sekali tidak berbicara ia juga tida bertanya mengapa aku seperti ini. Setelah cukup tenang aku melepaskan diri darinya dan tatapanku langsung jatuh pada baju bagian depannya yang basah karena air mataku.

"Maafkan aku, ini benar-benar sangat memalukan." Aku mengusap air mataku dan merasa sangat canggung.

"Lebih baik?"

Aku mengangguk kaku tanpa berani menatapnya.

"Sudah ku duga pelukanku itu sangat nyaman dan hangat," ucapnya santai dan penuh percaya diri seperti biasanya.

Dan aku mau tidak mau harus mengakuinya, yang dia katakan benar. Ia menyalakan kran air dan mencuci piring milikku aku memilih pergi dari sana. Kuharap dia tidak salah paham dengan apa yang kami lakukan.

Ini benar-benar memalukan.

Mudah2an pada ga lumutan nungguin ini update. Maaf kalo lama trus flat ya, otak gw lagi males diajak mikir wkwkkw..

Iris [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang