Dream?

938 162 71
                                    

Aku pernah membaca sebuah buku tentang kematian. Tentang apa yang akan kita alami 7 menit pertama setelah jantung kita berhenti berdetak. Otak kita tetap bekerja selama 7 menit, untuk mengulang kembali 7 peristiwa terpenting yang telah kita alami semasa hidup.

Aku pernah takut mati, saat masih bersama Niall. Meskipun setelahnya, aku begitu menantang kematian agar segera menghampiriku. Aku pernah membayangkan jika hal itu akan begitu mengerikan, mengetahui bahwa kita sudah mati, tapi masih mengingat beberapa hal yang pernah kita lalui. Bagaimana pertamakali kita melihat dunia, berteman, jatuh cinta, masalah, hingga akhirnya mati.

Tapi ... mengapa aku tidak mengalami itu? Atau 7 last minute after death tidak berlaku untuk korban tabrak lari? Atau aku mengalaminya tapi aku tidak mengingatnya? Atau ... apakah aku belum mati? Tapi di mana aku? Terasa sangat sejuk dan damai meskipun aku belum membuka mataku.

Apakah seperti ini rasanya surga?

"Iris, wake up."

Suara itu....

Aku membuka mataku perlahan, "Niall."

Aku sudah mati bukan? Aku bertemu Niall, tapi mengapa Niall terlihat begitu muda? Seperti saat ia masih 17 tahun.

"Bangunlah, ikut denganku." Aku segera bangkit dari tidurku dengan kebingungan, tapi terasa sangat bersemangat seperti baru saja terbangun dari tidur panjang, tunggu aku tidur di atas rumput?

Niall menggandeng tanganku dan mengajakku berlari.

"Niall, kita di mana?" Niall tidak mengatakan apapun dan terus berlari di depanku seraya menarikku hingga kami berada di suatu tempat.

"Ini seperti bukit di panti asuhan tapi sejak kapan ada danau di sini?" batinku kebingungan.

"Duduklah," ucap Niall yang ternyata sudah duduk, ia menepuk rumput di sampingnya mengisyaratkan agar aku duduk di sana.

"Apa yang terjadi? Apakah ini yang disebut surga?"

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Niall dengan tersenyum.

"Aku tidak tahu, apa aku sudah mati?"

Niall menggedikkan bahunya membuatku semakin bertanya-tanya.

"Pria itu sangat mencintaimu."

Aku mengernyitkan alisku bingung.

"Harry." Niall menoleh ke arahku tetap dengan senyumnya.

"Bagaimana kau bisa tahu tentang Harry?"

Niall hanya menjawabnya dengan senyum.

"Dia yang membunuhmu!" pekikku tidak terima karena Niall tersenyum ketika menyebut pria pembunuhnya.

"Kau percaya takdir Iris?"

"Ya."

"Takdirku mati di saat itu dan melalui tangannya, semua sudah di atur."

"Tapi..."

"Sekalipun aku tidak mati di tangan pria itu, aku pasti akan mati di hari itu bisa jadi kecelakaan atau yang lain. Takdir selalu menemukan jalan agar kehidupan berjalan seperti yang seharusnya," jelas Niall tenang.

"Lalu kau memintaku agar aku memaafkannya?"

"Lagipula dia tidak sengaja bukan?"

Aku tergelak cukup keras merasa heran dengannya, "Semudah itu Niall? Dia membuatku kehilanganmu, dia membuatku hancur."

Niall kembali tersenyum, "Sudah ku katakan jika takdir selalu menemukan jalan agar kehidupan berjalan seperti seharusnya, semua orang bisa mati kapan saja dan hari itu adalah hariku. Kita tidak bisa menghindar dari kematian Iris."

"Aku tidak akan memaafkannya," ucapku rendah.

"Itu keputusanmu, tapi ketahuilah dia  benar-benar mencintaimu."

"Lalu apa kau tidak lagi mencintaiku?!" Aku menaikkan nada suaraku.

"Aku mencintaimu Iris, aku selalu mencintaimu. Kau adalah takdirku hingga maut menjemputku. Aku selalu mencintaimu," lirihnya.

"Then?"

"Tapi aku bukan takdirmu." Niall menatapku dan kembali tersenyum.

"Dia menunggumu," lanjutnya membuatku sadar jika aku belum mati.

Niall berdiri dan aku mengikutinya namun kurasakan seperti ada pembatas ketika aku ingin menyentuhnya, wajahnya berubah menjadi ketika dia berumur 22 tahun ketika Niall berbalik ke arahku. Mengangkat tanganku mencoba menyentuhnya lagi, namun lagi lagi pembatas seperti air itu menghadangku kemudian dalam sekejap sekitarku berubah menjadi tanah kering dan tandus, tidak ada pepohonan dan gersang sementara sisi di mana Niall berdiri masih sama.
Kepanikan menyerangku.

"Niall, apa yang terjadi?" Niall hanya tersenyum di sana.

"Iris, kembalilah." Suara itu, bukan suara Niall. Aku membalik tubuhku mencari sosoknya dan mendapati Harry berdiri jauh dari tempatku berada. Dia berdiri di satu sisi yang sama seperti Niall sejuk dan hijau, jadi mengapa hanya aku yang berdiri di tempat gersang dan panas seperti ini?

"Dia menunggumu Iris," ucapan Niall menggema di telingaku aku kembali berbalik menatapnya.

"Tapi aku ingin bersamamu Niall, kita sudah bersama lagi bukan?" rintihku pelan.

Niall menggeleng dan tersenyum. "Pergilah, dia akan menyelamatkanmu." Secara perlahan Niall menghilang aku mendekat kepadanya secepat mungkin berusaha menembus pembatas dan berhasil namun aku mendapati semua yang ada di sekitarku menjadi gersang dan Niall sudah tidak ada. Memutar tubuhku perlahan aku masih melihat Harry di sana di tempat yang sejuk itu, perlahan aku mendekatinya dan dia tersenyum kepadaku.

"Kembalilah, aku mencintaimu," gumamnya namun aku bisa mendengar suara itu sangat keras dan menggema. Harry mengulurkan tangannya ketika aku sudah dekat, ia berhasil menembus pembatas air itu namun tangannya tidak basah. Dengan ragu aku mengulurkan tanganku dan Harry menarikku, aku seperti melewati dimensi lain yang tak terbatas dan hanya sendiri. Di mana Harry?
Cahaya yang menyilaukan berada di ujung sana hingga akhirnya aku sampai di sana.

Aku mengedipkan mataku, aku sudah berada di suatu ruangan.

Rumah sakit? Indra pendengaranku langsung bekerja menangkap suara di sekitarku, monitor khas rumah sakit berbunyi teratur. Menggerakkan mataku aku melihat jam di dinding yang menunjukkan pukul 3.

Ini jam 3 pagi atau sore? Aku tidak melihat cahaya dari jendela yang tertutup korden membuatku yakin jika sekarang adalah dini hari.

Mimpi yang aneh, kupikir aku benar-benar mati. Sudah berapa lama aku tertidur?

Aku mencoba menggerakkan kakiku kananku yang terakhir ku ingat dia patah, namun rasa sakit kembali mendera, aku memutuskan untuk diam dan kembali melihat sekitar hingga mataku tertuju pada seseorang yang duduk -tertidur di sampingku, kepalanya berada di ranjang di mana aku berbaring dan dia menggenggam tanganku.

Harry... terasa sangat sesak ketika nama itu terucap. Mengapa dia di sini? Apa dia selalu di sini?

Aku tidak akan menggerakkan tanganku karena aku tidak ingin dia melihatku sudah terbangun. Aku tidak ingin melihatnya.

Aku tidak akan memaafkannya dan itu keputusanku.

Mendengar pintu terbuka dan memutuskan untuk memejamkan mataku lagi.

Part ini agak aneh ya 😂😂 Irisnya ga mati kok.

Iris [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang