Blue Meets Green

2.3K 203 37
                                    

Iris

"Aku merindukanmu, apa kau bahagia di sana?" Aku duduk di lantai di pinggir ranjang dan memeluk bingkai foto kekasihku, suaraku tercekat seperti sebuah benjolan besar menyumbat kerongkonganku, rasanya sungguh sesak.

Aku menangis, untuk kesekian kalinya.

Kudengar ponselku bergetar di atas nakas dan aku segera mengambilnya.

"Hallo?" Aku segera menghapus air mataku dengan kasar dan berusaha terdengar baik-baik saja.

"Bisakah kau datang lebih awal? Aku ada urusan mendadak. Kumohon...."

"Ya, aku berangkat sekarang."

"Terimakasih Iris. Aku mencintaimu."

Aku Iris Winter 23 tahun, nama yang unik dan bermakna indah, Dewi Pelangi di musim dingin, setidaknya itu harapan seseorang yang memberiku nama itu, menjadi pelangi yang selalu disukai orang lain dan bisa membuat bahagia bagi yang melihatnya. Bukan orang tuaku yang memberi nama itu, melainkan salah seorang pengurus panti asuhan di mana aku dititipkan di sana, lebih tepatnya ... diterlantarkan di sana saat musim dingin.

Aku menatap diriku di kaca buram di depanku. "Kau curang, kau masih bisa melihatku, namun aku tidak bisa melihatmu." Menatap mata biruku yang sebenarnya bukan mataku, melainkan mata Niall yang didonorkan untukku.

Niall adalah kekasihku dan dia ... sudah meninggal.

Sebenarnya aku tidak buta dari lahir, aku mengalami kecelakaan saat berumur 21 tahun yang menyebabkanku harus kehilangan penglihatan.


Menghela napas lelah aku melangkah keluar dari rumah yang ku tinggali, rumah kecil sederhana yang ku beli bersama Niall ketika dia masih hidup.

Menjalani hari penuh kehampaan itu yang kurasakan dua tahun terakhir. Beberapa kali aku ingin menyerah namun pesan terakhir Niall membuatku tetap hidup.

Meskipun hanya ragaku....

Karena sesungguhnya aku telah mati, ya ... mati.


"Berjanjilah padaku kau akan
melanjutkan hidupmu dan hidup bahagia."


Aku sudah bersama dengan Niall saat kami masih bayi, Niall satu tahun lebih tua dariku dan ia lebih dulu tinggal di panti asuhan sebelum aku ditemukan.

"Berikan dompetmu!!!"

Aku melihat seseorang dipukuli, jaraknya beberapa meter di depanku. Namun tentu saja aku tidak peduli, itu bukan urusanku. Setidaknya pria itu masih selamat tidak seperti Niall.

"Hei ... hentikan pria itu!!" teriak pria yang dipukuli tadi ketika si perampas dompet itu melarikan diri darinya, aku sangat yakin jika teriakkan itu di tujukan kepadaku

Namun sekali lagi itu bukan urusanku.

Aku sedikit melirik pria yang merampas dompet itu ketika kami berpapasan. "Thank you," ujar pria dengan iris hijau itu sembari menyeringai padaku.

Gadis batinku hanya berdecih jijik.

Aku meneruskan langkahku di jalanan yang basah menuju tempatnya bekerja tanpa menghiraukan pria yang mengumpat tidak jelas ketika aku melewatinya.

Aku bekerja sebagai seorang kasir di sebuah minimarket satu setengah tahun terakhir.

"Terimakasih Iris, maaf merepotkanmu." Itu adalah Alicia teman kerjaku sekaligus sahabat terbaikku, kami berasal dari panti asuhan yang sama.

Aku hanya mengangguk menanggapinya.

"Hei.. tersenyumlah, kau tidak boleh seperti ini terus Iris," ucap Alice menangkup kedua pipiku.

Aku tersenyum singkat dan sedikit di paksakan hanya agar Alice tidak terlalu khawatir denganku.

"Niall memintamu bahagia bukan?"

"Kau tahu aku sedang berusaha."

Alice tersenyum singkat. "Kalau begitu aku pergi dulu, bye...." Dengan itu Alice melangkahkan kakinya keluar dari minimarket.

***


Harry

"Kalian harus melakukan kemoterapi itu hari ini juga!!" Aku menggertak dokter di depanku. Berusaha menahan emosiku namun aku benar-benar tidak bisa melakukannya.

"Tapi kau harus melunasi administrasinya jika tidak maka maaf, kami tidak bisa melakukan."

"Aku akan membawa uang sialan itu nanti malam. Lakukan saja berengsek!!" Aku menarik rambutku ke belakang karena frustrasi.

"Aku mengerti keadaanmu Harry, tapi itu merupakan prosedur rumah sakit. Maafkan aku."

"Siall..!!" Aku melangkah keluar dari ruangan Dr. Alan tanpa berniat berpamitan atau mengucapkan kata sejenisnya.

Aku harus mendapatkan uang banyak hari ini.

Melangkahkan kakiku memasuki ruangan yang sudah tidak asing lagi bagiku dan aku Elle tengah bermain dengan boneka kelincinya di atas ranjang.

"Hai Harry, mengapa kau baru datang?" sapa Elle ketika aku mendekatinya.

"Aku baru pulang bekerja Sayang, bagaimana keadaanmu?"

Elle hanya mengedikan bahunya. "Kapan aku sembuh Harry? Aku ingin pulang, aku rindu rumah."

"Jika kau rajin minum obat, maka kau akan cepat sembuh." Aku mengusap kepala adikku yang sudah tidak ada rambutnya. Karena kemo yang ia jalani menyebabkan Elle harus kehilangan rambutnya.

Elle mengidap kanker otak sejak 2,5 tahun yang lalu. Gadis 12 tahun itu satu-satunya keluargaku yang masih tersisa dan aku harus menjaganya. Ayahku pergi entah kemana sejak Elle masih kecil dan ibuku meninggal 5 tahun yang lalu mengidap penyakit yang sama seperti Elle.

"Aku sudah rajin minum obat, mengapa aku belum juga sembuh?" gerutu Elle dan aku hanya tersenyum tanpa bisa berkata apapun lagi.

Aku melihatnya yang kembali sibuk memainkan boneka kelincinya, aku harus mencari uang setelah ini. Seluruh hartaku habis untuk biaya pengobatan Elle, rumah satu-satunya yang ku miliki sudah ku jual untuk biaya rumah sakit.

---

Iris

Hari berganti malam, aku melangkah pulang. Seperti biasa berjalan melewati gang yang cukup sepi menuju tempat tinggalku.

Membuka pintu dan meraba saklar namun tiba-tiba seseorang mendorongku dengan kasar masuk ke dalam rumah lalu pria itu menutup pintunya.

Aku sedikit terkejut.

"Diam atau ku bunuh!!" ucap pria itu seraya menekan bahuku ke dinding di belakangku dan mengarahkan pisau lipat di leherku. Napasnya terlihat terengah-engah dan keringat mengalir dari pelipisnya.

Terasa seperti pernah melihatnya, ya ... tidak salah lagi dia adalah perampas dompet yang kulihat siang tadi. Aku mengingat matanya meskipun sekarang mata itu terlihat ketakutan. Pria itu semakin menekan pisaunya pada leherku.

"Bunuh aku...."

Tbc...

Iris [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang