Harry
"Apa yang akan kau lakukan?" Iris mengambil beberapa kardus berwarna cokelat dan mengeluarkan isinya.
"Membuat barang-barang peninggalan Niall menjadi lebih berguna, aku akan menyumbangkannya ke panti asuhan."
Aku mengangguk mengerti, kudengar ponselku bergetar di nakas, aku melihatnya dan kurasa Iris juga melihatku namun kemudian ia kembali menyibukkan dirinya.
Sial ... Dia terus saja menghubungiku ini ke dua puluh kalinya sejak semalam. Melihat Iris yang tengah sibuk melipat dan memilih pakaian aku beranjak dari ranjang dan melangkah ke halaman belakang.
"Berhentilah bermain-main dengan kami Dude, kapan kau akan menggantinya?" Suara keparat itu langsung terdengar ketika aku mengangkat teleponku, sangat santai namun aku bisa membayangkan seringaian yang sangat memuakkan itu.
"Berengsek!! Sudah ku katakan aku akan menggantinya! Kau tahu aku belum memilikinya!" Sial, keparat Liam benar-benar tidak mengerti kondisiku.
"Atau kau ingin menggantinya dengan wanita semalam huh?" Apa?! Tidak! Itu tidak akan terjadi. Apa mereka melihat Iris semalam?
Aku tergelak ringan mencoba menaruh nada humor dalam suaraku. "Dia tidak ada hubungannya denganku!"
"Ayolah dude, kau juga berhutang satu video pada kami mereka merindukan permainanmu, kau tahu mereka sangat menyukaimu, video milikmu selalu laku keras, lagipula sudah lama kau tidak melakukannya kurasa gadis semalam cukup manis dan terlihat polos. Itu akan sangat menarik, kau tertarik melakukan threesome?"
"Tutup mulutmu berengsek aku tidak akan membuat sex tape lagi!"
"Kau hanya punya dua pilihan membuat video atau lunasi hutangmu secepatnya. Jika tidak, kau tahu akibatnya," ujar Liam dengan nada mengancam.
Aku memutar tubuhku karena mendengar langkah kaki di belakangku dan aku melihat Iris sudah berdiri meletakkan beberapa kardus di tempat sampah.
Apa dia mendengarku?
"Sial!!" Aku segera menutup teleponku dan mendekatinya.
"Apa yang sedang kau lakukan?" tanyaku padanya.
"Membuang barang yang tidak terpakai." Ia memberiku tatapan bertanya namun kemudian ia terlihat biasa saja dan kembali masuk ke dalam rumah.
Kuharap dia tidak mendengarku.
Aku mengikutinya dan dia sudah kembali di tempatnya.
"Kau butuh bantuan?" tawarku menyusulnya duduk di lantai.
"Tidak, istirahatlah aku takut membuat tanganmu patah." Aku tergelak karena sindirannya dan ia terlihat tengah menahan senyumnya.
Ya aku memang berpura-pura tadi, tanganku sudah lebih baik namun tentu saja belum sembuh. Lalu bolehkan aku berharap ini tidak sembuh? Hanya agar aku bisa bersamanya.
Konyol!
"Kau sedang dalam kesulitan?" tanya Iris kemudian. Sial dia benar-benar mendengarku. Aku menatapnya penuh tanda tanya.
"Aku tidak sengaja mendengarmu," ucapnya mengetahui reaksiku, "jadi kau membuat ... sex tape?"
"Bukan urusanmu!"
Iris mengangguk pelan dan itu berhasil membuatku merasa bersalah. Tapi atas dasar apa? Sial!! Mengapa aku tidak bisa berbohong di hadapannya?
"Itu sudah sangat lama, aku tidak melakukannya lagi. Aku lebih memilih mencopet dan merampok meskipun terkadang aku tidak mendapatkan hasil."
"Itu sama buruknya," ucapnya datar.
"Ya, tapi setidaknya itu lebih beradab." Iris terkekeh karena jawaban yang ku berikan.
"Bukankah itu benar? Membiarkan video seks-mu tersebar di manapun dan orang lain melihatnya itu menjijikkan."
Iris memilih menggelengkan kepala dan berdecak lidah.
"Kau tahu aku terpaksa melakukan semua itu!" ujarku sedikit menaikkan nada suaraku entah mengapa aku harus merasa kesal karena sikapnya.
"Hei calm down, aku tidak menyalahkanmu. Itu urusanmu dan tidak ada hubungannya denganku, tapi jika ada pekerjaan yang lebih baik mengapa kau tidak melakukannya?" ucapnya seraya mengedikkan bahu.
Aku mendengus remeh. "Jadi pekerjaan macam apa yang mampu menghasilkan uang banyak dalam waktu singkat? Kau tahu berapa biaya yang harus ku keluarkan untuk melakukan kemoterapi? Biaya obat-obatan, biaya sewa kamar? Dan aku membiayai dua orang sekaligus secara berturut-turut."
Iris melihatku dengan tatapan kasihan. "Hentikan tatapanmu itu!"
"Maaf, aku tahu hidupmu sangat berat."
Ya, hanya itu yang bisa ia katakan dan aku memutuskan untuk diam.
Kulihat Iris mengambil kotak berwarna putih berukuran sedang dari dalam lemari kemudian kembali duduk dan membukanya.
"Gaun pengantin?" tanyaku tanpa sadar.
"Ya, Niall memilihnya untukku saat itu." Iris mengusap baju itu perlahan, apa mereka sudah menikah?
"Dia meninggal dua minggu sebelum pernikahan kami, miris bukan?" Iris menggeleng kemudian melipat gaun itu lagi dan memasukkannya ke dalam kotak.
Aku bergeming mencoba memahami kesedihannya, dan ya ... itu sangatlah miris. Kami diam dalam waktu yang cukup lama, ia mulai me-lakban kardus di hadapannya.
"Apa yang kau rasakan ketika kehilangan orang yang kau cintai?" tanya Iris tiba-tiba membuatku mengerutkan kening.
"Aku ... kehilangan hidupku," ucapku pelan dan itu benar adanya, "aku ingin mengakhiri hidupku mengingat tidak ada lagi alasan untukku menjalani hidup."
"Lalu ... mengapa kau tidak melakukannya?"
"Aku mempunyai alasan sekarang."
Pendek banget.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iris [COMPLETE]
FanfictionDi dalam hidupnya, Iris Winter hanya ingin hidup bahagia bersama kekasihnya Niall Horan. Membangun rumah tangga di rumah kecil sederhana yang mereka beli bersama. Namun, takdir berkata lain, dua minggu sebelum pernikahan mereka, Iris harus menghada...