Chapter 2

9.4K 993 40
                                    

.

.

.

"Ayah tidak pernah melihatmu pergi bersama Jungkook atau Taehyung. Apa mereka memperlakukanmu dengan buruk di sekolah, Jim?" tanya sang ayah saat sarapan. Hanya ada mereka berdua, seperti biasa.

"Tidak!" Jimin sedikit terkejut akan pertanyaan tiba-tiba yang dilontarkan sang ayah. "Mereka baik padaku. Kami terkadang mengobrol ketika bertemu di sekolah. Ayah tahu sendiri kesibukan kami berbeda, dan kelas kami terpisah jauh."

Sang ayah hanya menghela napas mendengar jawaban Jimin. Ia rasa sebuah kebohongan tengah dilontarkan sang anak. Dirinya sebenarnya tahu jika hubungan Jimin tidak begitu baik dengan anak-anaknya yang lain, kecuali Hoseok dan mungkin sekarang ditambah Yoongi. Walaupun sering bepergian jauh, ia masih terus mengontrol semua anak-anaknya.

Seokmin kembali mengingat sang istri yang telah meninggalkannya. Mereka berdua sangat menginginkan anak yang banyak, agar rumah terasa ramai. Itulah mengapa Seokmin bekerja begitu keras memajukan perusahaan sampai akhirnya ia bisa membangun istana megah untuk keluarga tercinta. Namun, setelah memiliki tiga anak ternyata keinginan mereka harus dikubur dalam-dalam. Keadaan Yuri ternyata memburuk. Penyakit kanker paru-parunya sudah parah. Dokter pun menyarankannya untuk tidak lagi mengandung karena terlalu beresiko.

Di tengah kemelut kesedihan, kedatangan Hoseok di keluarga mereka ternyata membawa perubahan. Orang tuanya yang merupakan sahabat dari pasangan itu meninggal dan membuatnya tinggal bersama pasangan Kim dan ketiga anaknya. Walaupun penuh duka, mereka sangat bahagia saat itu karena Tuhan seperti memberikan jalan untuk mereka kembali memilki anak.

Tak lama Taehyung dan Jungkook datang di kehidupan mereka berenam. Semuanya berjalan lancar, tak ada pertengkaran satu sama lain. Sampai akhirnya kepergian sang istri membuat keluarga mereka sedikit terpecah. Tak ada pertengkaran, tetapi karena kesedihan yang teramat dalam membuat mereka menjalani hidup masing-masing.

Seokmin hanya berharap dengan keberadaan Jimin, mereka semua dapat akur seperti dulu lagi. Seperti sebelum sang istri pergi. Sebelum hatinya berubah menjadi sangat kosong seperti sekarang.

.
.
.

Sore itu, hanya ada Jimin sendiri di rumah. Para pelayan termasuk Bibi Lee tak terlihat di setiap sudut. Ia memang pulang lebih cepat hari ini, merasa lelah karena terlalu memaksakan diri untuk menyelesaikan tugasnya tadi malam hingga dini hari.

Jimin memutuskan untuk berbaring di sofa yang berada di ruang tengah. Kamarnya terlalu sepi dan ia tidak suka itu. Awan di luar nampak mendung, membuatnya sedikit merasa takut karena gelap akan segera menghalau cahaya matahari masuk ke dalam rumah.

Tak lama ia terdiam, suara telepon menggema dan memecahkan sepi di ruang tersebut. Jimin sedikit heran dengan bunyi telepon yang mengganggunya sore itu. Dengan perlahan, ia berjalan ke arah telepon yang tak begitu jauh dari sofa yang ditidurinya.

"Ha-" ujarnya hendak menjawab, tapi segera dipotong oleh suara di seberang sana.

"Syukurlah ada yang mengangkat. Paman Jung, Bibi Lee, atau siapa pun itu... kumohon bantu aku!" terdengar kepanikan dari suara tersebut.

"Namjoon hyung?" ujar Jimin menebak dari suaranya.

"Eng ... dan kau?"  wajar jika Namjoon tidak ingat, mereka memang tidak pernah berbicara langsung satu sama lain.

"Ini aku Jimin, hyung. Ada yang bisa kubantu?" mendengar sang kakak berseru panik sebelumnya, ia yakin Namjoon butuh bantuan.

Namjoon sedikit terdiam sebentar di ujung sana sebelum mengatakan maksudnya.

FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang