Chapter 17

8.6K 770 102
                                    

.

.

.

Pintu yang terbuka itu mengundang tatapan dari lima pasang mata yang tengah menunggu Jimin untuk membuka matanya. Di sana, Seokjin berdiri dengan wajah kusut yang membuat hati adik-adiknya khawatir, tak siap mendengar apa yang akan dilontarkan sang kakak. Namun rupanya Seokjin memilih untuk bungkam. Pria yang biasanya terlihat tampan dengan jas putihnya itu kini berjalan lunglai pada sosok sang adik yang masih setia memejamkan mata dengan tenang, terlihat terlalu damai dalam tidurnya.

Seokjin mengangkat tangannya untuk mengelus kepala yang kini terpasang beanie hitam pemberian Namjoon. Ia menatap Jimin penuh arti, berharap sang adik akan bangun karena usapannya. "Hey ... kau tidak bertemu ayah, kan?" tanyanya lirih dengan suara yang amat pelan, mencoba menahan emosi yang bergejolak di dalam hatinya.

"Hyung," panggil Namjoon dari belakangnya.

Seokjin tidak menghiraukan panggilan sang adik. Ia tetap mengelus kepala Jimin perlahan.

"Hyung, beri tahu kami keadaan Jimin," tuntut sang adik. Ia rasa tidak ada salahnya untuk tahu tentang keadaan sang adik yang sebenarnya. Mereka berlima juga berhak untuk mengetahuinya.

Seokjin mengepalkan kedua tangannya erat. Ia tidak ingin mengatakannya, merasa takut jika hal yang keluar dari mulutnya akan menjadi sebuah do'a. Tetapi para adiknya memang perlu tahu. Ia sudah berjanji untuk berbagi bersama keluarganya, bukan? 

"Tubuh Jimin menolak obat yang kuberikan. Kejadian kemarin merupakan salah satu respon yang tubuhnya berikan." Nyawa kelima pemuda itu seakan melayang mendengar penuturan Seokjin.

"Tapi ... bukankah chemoteraphy Jimin baik-baik saja selama ini?" Hoseok angkat bicara dan memilih untuk mendekat ke ranjang sang adik, menatapnya dengan kekhawatiran yang tidak pernah sirna sedikit pun.

"Reaksinya bisa saja terlambat. Sekarang aku harus berusaha untuk mencari obat lain yang bisa diterima oleh tubuh Jimin," jawab Seokjin terdengar lelah.

"Jika—ahh ... tidak. Jimin pasti akan berjuang."

"Jika ini tidak berhasil, aku akan mencari cara lain. Bagaimanapun juga aku harus menyelamatkannya."

Ke-enam pemuda itu kembali menundukkan kepalanya, berdo'a akan kesembuhan Jimin. Mereka berjanji untuk menjaga dan menyelamatkan satu sama lain, dan kini biarkan mereka menyalurkan kekuatan pada Jimin agar ia segera terbangun.

.
.
.

Di hari ketiga, mata yang terpejam itu akhirnya terbuka perlahan. Ia merasa tidak nyaman ketika rasa pening di kepala kembali menggerogoti dirinya. Jimin masih berusaha mencerna apa yang terjadi ketika kilasan kejadian sebelumnya kembali muncul di kepalanya. Matanya secara otomatis mengeluarkan air mata dan isakan tertahan kembali terdengar dari ruangan itu, Jimin panik.

Rupanya isakan Jimin dapat membangunkan Taehyung yang sedari tadi tertidur di sampingnya. Membuat pemuda bersurai cokelat gelap itu kemudian bangkit dan mendekat ke arah Jimin. "Jim, ada apa? Di mana yang sakit?"

Jimin tidak menjawab dan hanya menangis. Selain rasa pening, kini di kepalanya tengah berkecamuk segala kemungkinan buruk yang terjadi padanya. Terlalu banyak kata 'kenapa' di kepalanya saat ini. Taehyung yang takut dengan keadaan Jimin segera memanggil sang kakak yang tertidur di ujung sofa. Kepanikannya bahkan membangunkan saudaranya yang lain.

Seokjin yang mendengar teriakan Taehyung segera berlari ke arah ranjang Jimin hanya untuk menemukan sang adik yang kini tengah meringkuk dengan isak tangis yang tidak berhenti. Tangannya menyentuh sang adik perlahan, tak ingin membuatnya terkejut yang hanya akan melukai sang adik.

FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang