.
.
.Jungkook bukannya tidak senang dengan kehadiran Jimin di rumah, sebagai anak bungsu dirinya hanya merasa tersaingi. Sang ayah dan semua kakaknya begitu memanjakannya, jadi ketika ada orang baru yang tiba-tiba saja masuk ke dalam lingkaran kehidupannya, membuat ia takut akan diabaikan. Jimin dianggapnya musuh sejak pertama kali melihat 'kakak' baru yang lebih pendek darinya itu menginjakkan kaki di rumah.
Namun nyatanya kebaikan Jimin sangat sulit untuk tidak dihiraukan. Kakak barunya itu selalu perhatian pada Jungkook, walaupun berakhir dengan menelan pahitnya kecewa ketika sang adik bersikap tak acuh. Berkali-kali melakukan hal yang sama, membuat Jungkook akhirnya sedikit melirikkan matanya pada Jimin.
Jungkook mulai melirik dan acuh dengan keberadaan sang kakak setelah kejadian mereka dirawat bersama. Akhirnya ia merasakan bahwa Jimin benar-benar tulus menyayanginya. Ia dapat melihat dari kedua mata yang melengkung sempurna layaknya bulan sabit ketika tersenyum. Jungkook benar-benar menyadarinya saat itu.
Namun, ketika ia mulai menerima keberadaan Jimin, kebahagiaan yang baru saja ia dapat itu harus kembali ditarik ke kesedihan yang sangat mendalam. Jimin sakit, dan selama ini ia tidak mampu memperlakukan kakaknya yang sangat tulus itu dengan baik. Sejak saat itu, Jungkook berjanji dalam hati untuk menjaga Jimin dengan baik.
Melihat jarum-jarum panjang yang menusuk kulit sang kakak, membuatnya meringis ngilu. Ditambah lagi cengkraman Jimin pada tangannya yang semakin kuat kala suntikan besar itu menyedot darah dari tulang belakangnya. Tak usah ditanya ringisan tertahan Jimin yang pelan tetapi terdengar seperti siksaan di telinga Jungkook. Ia jadi ikut meringis karena tidak tega melihat sang kakak.
Ketika Seokjin akhirnya menghela napas lega, saat itulah Jungkook menatap kakak tertuanya. "Sudah selesai, hyung?" tanyanya pelan.
Seokjin mengangguk pada sang adik sebelum mengalihkan perhatiannya pada Jimin yang kini menangis pelan dengan wajah yang ditutup. Jungkook dapat melihat bagaimana Seokjin memeluk dan mengusap Jimin perlahan.
"Maaf ... maaf, sudah selesai, Jim. Maafkan aku," ujarnya lembut yang mengundang air mata Jungkook. Sang kakak pastinya sangat merasa bersalah karena harus melakukan prosedur yang selalu menyakiti Jimin itu hampir setiap minggunya, walau itu semua untuk kebaikan Jimin juga.
"Hyung, jangan menangis lagi. Nanti aku minta Namjoon hyung untuk membelikanmu ice cream," Jungkook mencoba menghibur sebisanya, walaupun terdengar sangat bodoh bahkan di telinganya sendiri.
Tapi Jimin masih terisak di sana. Meringkuk menyamping karena tak kuat dengan rasa sakit di punggungnya. Kepalanya bahkan berdenyut nyeri, sehingga apa pun yang dikatakan Seokjin atau Jungkook tak hinggap di telinganya. Sampai si kecil ikut terisak pelan. Telinga Jimin tiba-tiba saja menjadi sensitif mendengar isakan si kecil. Ia menurunkan kedua tangannya agar dapat melihat Jungkook yang masih setia di sampingnya. Tangannya pun ia bawa untuk mengusap kepala sang adik yang tertelungkup di atas ranjangnya, untuk kemudian mengusap surai coklat itu lembut.
"Jangan menangis, Kook. Aku tak apa." ujarnya lirih, tak ingin Jungkook terus menangis.
"Hyung bohong. Hyung pasti kesakitan." Jungkook masih menyembunyikan wajahnya dengan isakan tangis yang masih terdengar.
"Hey, sekarang sudah tidak apa-apa. Ayo bilang pada Namjoon hyung untuk membelikanku ice cream!"
"Benarkah?" perlahan Jungkook mengangkat kepalanya dan menatap kedua mata Jimin yang sayu.
"Eung! Sekarang hubungi Namjoon hyung dan minta ice cream yang banyak!" ujar Jimin berusaha sekuatnya untuk menahan nyeri yang masih terasa setiap kali bibirnya berujar atau sekedar menarik napas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Family
Fanfiction"I will stay, for you." ~Repost from FFN Republished Start: 03062020 End: -