Extra Chapter - One of Those Days

4.6K 365 96
                                    

.
.
.

On one of those days, I felt tired

.

.

.

Sosok pemuda dengan selimut biru yang menutupi kedua bahu terlihat duduk di sisi ranjang pesakitannya. Ia biarkan kedua kakunya menggantung dan dengan sengaja mengayun-ayunkannya. Sedangkan kedua matanya, menatap keluar jendela yang tirainya ia buka lebar-lebar, menyuguhkan pemandangan langit biru dan juga gedung-gedung perkotaan.

Ini hari kesekian dirinya terkurung di ruangan yang cukup besar dengan dipenuhi oleh banyak barang untuk melepas penat. Dirinya tidak bisa keluar, sehingga sang kakak yang membawakan barang yang ia inginkan ke dalam, termasuk TV yang masih menyala tanpa ditonton sedikitpun.

Pintu masuk di belakangnya terbuka, merebut atensinya dari pemandangan di luar sana. Ia segera membalikan badan dengan semangat, merasa senang karena seseorang mengunjungi kamarnya yang sangat terbatas itu.

"Sarapanmu, Jim," ujar Anna, salah seorang perawat yang mendapat akses masuk ke ruangan Jimin.

"Terimakasih, Anna," ujar Jimin dengan tulus. Iapun membantu menarik meja makannya agar lebih dekat. "Emm, bisakah kau menyelundupkan ice cream nanti siang?" pintanya penuh harap kala Anna membantunya menata piring dan mangkuknya agar lebih nyaman.

"Tidak, Jim. Kau baru saja terbebas dari flu karena memakan ice cream minggu lalu. Aku tidak ingin mengambil resiko dan dipecat karenamu."

Jimin memajukan bibirnya, tanda merajuk. Ia pun menyentuh-nyentuh sarapan paginya dengan malas.

"Hey, jangan seperti itu! Makan yang benar! Satu jam lagi aku akan kembali untuk mengambilnya dan membawa obatmu."

"Kau tidak tinggal?" Jimin kembali terlihat murung. Anna biasanya menemaninya sarapan saat Seokjin sedang sibuk berkeliaran bersama dokter dan pasiennya. Tapi pagi itu, Anna nampaknya sangat terburu-buru.

"Maafkan aku. Aku harus melakukan banyak hal pagi ini. Aku akan kembali nanti, oke?"

Jimin kembali menunduk karena kesal. Ia mencoba mengerti, tetapi entah mengapa pagi itu ia merasa sangat kesal dengan hal-hal kecil. Emosinya memang kadang sulit ia tahan akhir-akhir ini.

"Jimin, jangan bersedih! Ingat 5 minggu lagi kau akan bebas."

Jimin hanya mengangguk tidak bersemangat. Ia pun mau tidak mau membiarkan Anna pergi dari kamarnya. Sarapan yang tadi ia sambut dengan semangat, tak lagi ia perdulikan. Jimin kembali bergelung di atas ranjangnya dengan perasaan kesal.

"Tapi, 5 minggu itu tidak sebentar."

.

.

.

"Hyung dari mana saja?" protesnya ketika Seokjin baru saja datang menjenguk sore itu.

"Maaf, Jim. Aku ada urusan, dan aku harus pulang ke apartment untuk mandi sebelum ini," jawab Seokjin seadanya, karena pemuda itu kini tengah membuka laptop di sudut ruangan lengkap dengan kacamata terpasang membingkai kedua matanya—tanda ia sedang serius.

Jimin yang masih kesal karena Seokjin meninggalkannya seharian, semakin marah dibuatnya. Ia menatap sang kakak yang tidak mempedulikannya itu dengan tatapan tajam. Seokjin bahkan tidak memeluknya terlebih dahulu saat sampai, atau hanya sekedar menanyakan kabarnya. Ia rasa kakaknya itu benar-benar keterlaluan. Sampai akhirnya, sebuah tabung obat paling dekat dari jangkauannya ia lemparkan ke arah dinding, membuat obat-obatan berceceran di lantai.

FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang