.
.
.
Seokjin sedang memperhatikan Jimin yang kini telah tertidur dengan lebih tenang setelah berusaha menyelamatkannya tadi. Kondisinya tidak akan separah sekarang jika saja ia tidak terluka. Tetapi, sebuah kantung darah yang akhirnya mengalir menuju tubuhnya dengan menggunakan selang, menjelaskan semuanya. Kondisi Jimin buruk karena kehilangan banyak darah.
Seharusnya Seokjin khawatir. Seharusnya ia sangat panik saat itu, mengingat Jimin adalah pasiennya. Tetapi kedua kakinya enggan bergerak, sampai beberapa perawat tak sengaja menabrak dan membuatnya berlari menghampiri Jimin yang sudah memejamkan mata.
Seokjin hanya tak bisa menghilangkan pikiran negatif tentang Jimin di kepalanya. Ia sangat tau bahwa sang ayah begitu mencintai mendiang ibunya. Tetapi bertahun-tahun ditinggalkan tidak menutup kemungkinan jika sang ayah bersama wanita lain. Mungkin ia salah telah berpikir seperti itu tanpa ada bukti dan melimpahkan semuanya pada Jimin. Hanya saja... ia tak bisa menolong dirinya untuk mengenyahkan pikiran tersebut.
Setelah memastikan Jimin baik-baik saja, Seokjin pun memutuskan untuk meninggalkannya untuk beristirahat. Ini adalah hari yang panjang untuk Seokjin. Dia melakukan dua operasi hari ini, dan pasiennya yang terakhir membuat dirinya menguras tenaga, pikiran, serta perasaannya. Belum lagi, ia teringat bahwa besok adalah salah satu hari yang terpenting dalam hidupnya.
.
.
.Tangan tua itu mengelus punggung tangan yang ditancapi oleh jarum yang menghubungkannya ke tabung cairan. Ia berusaha membangunkan sang anak yang masih saja menutup matanya dari kemarin sore. Hatinya sakit ketika mengetahui apa yang terjadi kemarin. Ia sungguh merasa bersalah pada sang anak. Terlebih lagi melihat perban yang menghiasi tangan kurus itu.
Tak lama, usahanya membuahkan hasil. Kedua mata sayu itu mengerjap pelan berusaha menyesuaikan cahaya yang berada di ruangan yang serba putih.
"Ayah ..." panggilnya pelan ketika mengetahui sang ayah telah ada di sampingnya.
"Hai, jagoan. Bagaimana perasaanmu? Apa ada yang sakit?"
Jimin menggeleng pelan, walaupun kepalanya masih sedikit berdenyut nyeri. Tapi ia tak ingin lagi membuat khawatir sang ayah.
"Biar ayah panggilkan dokter sebentar," ujar sang ayah seraya beranjak dari tempat duduknya.
Sepeninggalan sang ayah, Jimin kembali menutup kedua matanya. Tubuhnya terasa sangat lemas, dan rasa pening di kepala membuatnya lebih tidak berdaya.
"Apa maksudmu? Di mana Seokjin?" suara sang ayah yang terdengar kesal menarik perhatian Jimin yang kini kembali membuka matanya.
"Saya yang menggantikannya untuk merawat pasien Jimin, Tuan," jawab dokter wanita yang menangani Jimin sejak kemarin.
"Bagaimana bisa? Seokjin yang harusnya bertanggung jawab terhadap Jimin!"
"Sebaiknya saya memeriksa pasien terlebih dahulu. Hal ini agar kita bicarakan di luar saja."
"Baiklah," sang ayah setelah menghela napas berat, berusaha merendam emosi.
"Hai Jimin, bagaimana perasaanmu?"
Jimin mengenal dokter wanita itu. Ia yang mendekatinya kemarin sebelum kegelapan merenggutnya. Ia pun tersenyum menyambut sang dokter yang kini tengah memeriksa denyut nadinya.
"Apa kau merasa pusing?"
Jimin menggeleng, tetap berusaha membohongi orang di sekitarnya dan juga dirinya. Sang dokter hanya tersenyum menanggapinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Family
Fanfiction"I will stay, for you." ~Repost from FFN Republished Start: 03062020 End: -