Engkau

593 61 5
                                    

Terdengar di mana-mana silet pedang merobek tengkuk titan. Jerit perintah ambisius dari Komandan Erwin menyerukan semangat pada para rekan. Menancapnya tali alat 3D Manuver Gear ke batang pohon bersamaan dengan suara bisikan gas yang menyembur keluar. Penuh dendam, menumpahkan seluruh amarah yang mewakili wafatnya rekan lain, dengan menebaskan ujung pedang ke kulit tebal sang raksasa.

Sedangkan bola mata kehijauan menerawang langit. Tidak seharusnya Eren Jaeger-harapan satu-satunya umat manusia-terbaring bersimbah darah di tengah hutan. Sesekali nampak jelas, sesekali kabur, bahkan hitam sesaat. Berapa kali ia berkedip untuk mengembalikan pandangannya seperti semula?

Eren tak lagi menggerutu dalam hati, kala seorang wanita bersurai kecokelatan menatap penuh lembut di atas sana. Langit berhujankan darah tak sedikitpun mengurangi cantiknya paras wanita tersebut.

"Ibu...," Eren mengangkat tangannya lemah, seakan meminta ditarik ke atas.

Carla tersenyum pilu, menggeleng pelan. "Kamu belum boleh ke sini, Eren."

"Bolehkan aku ke sana, Bu...."

Sekali lagi, Carla menggeleng. "Tidak. Masih ada yang harus kau lakukan, Nak. Bagaimana dengan ambisimu menghabiskan semua titan?"

"Aku sudah tak mampu.... Teman-temanku mati terbunuh. Hannes-san, bahkan ibu juga...," Tanpa sadar, air mata meleleh hangat di kedua pipi penuh luka Eren.

Siapa yang tak sedih bila melihat sang buah hati menangis? Begitulah yang dirasakan Carla saat ini. Nyeri seperti diremas hingga nyaris hancur. Sangat ingin ia menarik tangan Eren dan membawanya hidup bersama. Jika benar-benar ia lakukan, sungguh betapa egois dirinya.

"Tapi, masih ada yang butuh perlindunganmu, Eren," sahut Carla dengan suara bergetar.

Eren menggeleng lemah. Keinginan menyusul sang ibu membuat tangisan semakin deras. "Tak ada lagi yang membutuhkanku. Aku tak berguna. Badan yang sudah rusak begini lebih pantas menjadi santapan para titan...."

Tidak ada yang tahu kepada siapa Eren berbicara. Bahkan Kapten Levi yang kini tengah mengangkat tubuh ringkihnya. Terus berteriak memanggil nama bocah itu, namun percuma. Warna emerald kian menggelap dan seluruh jiwanya terfokus pada satu titik. Surga yang menanti.

-end-

Drabble ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang