Bel yang terpasang tepat di atas kasa pintu berdentang. Sambut selamat datang diucap oleh para pegawai kafe secara kompak. Ia membalas hanya dengan anggukan. Pandangan mengedar luas dan berhenti pada sosokku.
Langkah wanita itu begitu tergesa. Tatapannya tajam menusuk seolah tak mau kalah dengan pandangan mataku yang sudah buruk sejak lahir. Surai hitam sebahunya berayun kanan-kiri dan sedikit terhempas oleh angin kecil yang bertiup melawan arah.
Kursi kosong di hadapanku segera diisi oleh wanita tersebut. Saat itu pula aku berhenti menyesap kopi pesananku.
Sejenak kami tak berbicara apapun. Sampai akhirnya aku mengambil inisiatif untuk menyodorkan menu kafe yang masih belum kukembalikan pada pelayan.
"Pesanlah sesuatu."
"Aku ke sini bukan untuk bersantai, kuntet," ia membalas ketus.
"Kutraktir."
Lama-lama, ia luluh akan tawaranku. Buku menu ia tarik, membolak-balik, dan memanggil pelayan. Aku hanya bertopang dagu—mengamati setiap gerakannya.
"Bagaimana kuliahmu, Mikasa?" tanyaku.
Balasan yang kuterima justru decih sebal. "Jangan memaksakan untuk basa-basi. Aku tahu kau tak suka itu."
Diam-diam aku setuju. "Lalu? Untuk apa kau meminta ketemuan di sini?"
"Aku ingin kita putus."
Spontan aku membeliak. Aku berusaha menanggapi hal itu sebagai canda belaka. Tapi sorot mata yang memiliki warna sama denganku nampak serius. Tubuh melakukan respirasi panjang—mengupayakan agar tetap tenang.
"Alasanmu?"
Pesanan datang tiga menit kemudian. Hanya secangkir teh susu. Mikasa mengambil beberapa tenggakan—sembari berpikir kurasa.
"Sejujurnya, sejak awal aku tak memiliki perasaan apapun. Aku hanya menurut karena kupikir, aku bisa mengatasi masalah ekonomiku jika bersama denganmu. Karena itu aku langsung menerima pernyataanmu di tempat."
Napasku tertahan. Kenyataan bahwa selama ini justru aku yang dimanfaatkan membuat sesuatu di balik dada teremas kuat. Perasaan kami tak berbalas tanpa kuketahui.
Semua yang kami jalankan palsu.
Kemudian dia terus menghunjam dengan kata-kata yang menyelekit. Hina dan cela meluncur dengan penuh emosi. Aku sudah biasa menerima semua itu, apalagi dengan sebutan bantet, pendek, cebol, atau sebangsanya. Menyuarakan seluruh keburukanku, hingga tanpa ia sadari beberapa pengunjung memerhatikan kami.
Kerlingan menuduh—itu yang kutangkap. Diam-diam mereka menyimak perbincangan kami dan menghakimiku sebagai tahanan yang bersalah karena dianggap memaksakan perasaanku pada Mikasa.
Aku semakin tak tahan. Sisa kopi kuteguk sampai habis. Kemudian menyodorkan selembar uang.
"Baiklah. Aku mengerti," ucapku seraya berdiri. "Setelah ini aku masih akan mencintaimu dan menerima semua kata-katamu. Jadi aku sangat senang bila sekarang kau merasa lebih baikan."
Aku tak yakin apa yang kuperbuat sampai Mikasa membelalak. Rupa khas Asia-nya merona panas, semburat merah menjalar hingga telinga. Tangannya menarik ujung kemejaku ketika langkah hendak membawaku pergi dari kafe.
Butuh beberapa detik untuknya bisa membuka mulut. Iris kehitaman melirikku malu-malu.
Ia meminta untuk memperlihatkan lagi senyumku padanya.
-end-
KAMU SEDANG MEMBACA
Drabble ✓
FanficKumpulan cerita pendek abstrak dari fandom Shingeki no Kyojin Disclaimer: Hajime Isayama Cover cr © Artist