"Selamat datang."
Sambutan dengan suara dobel mengangkat kelopak mata Armin Arlert. Seorang anak lelaki berambut brunet berpakaian putih berjas dan celana hitam. Satu lagi anak perempuan berambut hitam bergaun hitam dengan renda-renda putih. Mereka yang tersenyum hangat menjadi bayangan pertama yang memantul.
Masih diam. Pandangan mengedar ke lingkungan sekitar. Banyak pepohonan berbatang tebal menaungi mereka dengan tudung daun yang lebat hingga cahaya matahari yang masuk hanya berupa garis-garis tipis. Di belakang kedua anak tersebut, sebuah rumah mewah dibangun tegak pondasinya.
"Kamu tersesat. Maka kami memutuskan untuk membawamu ke sini," si anak lelaki menjawab sebelum Armin benar-benar bertanya.
"Ayo kita masuk. Kamu pasti lelah kan, seharian ini terus berputar-putar di dalam hutan," si gadis menarik tangan Armin. Mereka membimbingnya melangkah masuk.
Armin masih terbengong. Iris biru langitnya tak henti-henti mengamati keadaan rumah tersebut. Di daerah terpencil, apa benar-benar ada rumah dengan nuansa glamor seperti ini?
Tapi ia tak boleh menaruh curiga. Kedua anak itu telah berbaik hati menolongnya.
Maka Armin ditempati di sebuah kamar. Dalam selimut ia bergelung, sedangkan dua bocah—yang diyakini pemilik rumah—duduk menemani di samping ranjang.
"Jika butuh sesuatu, jangan segan untuk bilang. Kami selalu menunggu di sini," ucap si bocah brunet.
Armin mengangguk. Sesuai kata-kata anak perempuan tersebut, tubuhnya lelah. Dan begitu mencium bau bantal dan merasakan hangat cahaya lilin yang meremang dalam ruangan, remaja pirang itu terlelap.
.
Tapi... sejak kapan aku bisa melihat?
Semua ini adalah kejanggalan.
Armin lekas terbangun begitu menyadarinya. Dua anak yang mengantarnya masih di tempat yang sama. Mereka berbincang ditemani dua cangkir perunggu dengan motif menonjol bergelombang berisi teh hangat. Terlihat sangat menikmati.
Bulu-bulu halus berdiri. Bayangan yang terbentuk di belakang mereka berbeda dengan posisi sekarang. Justru semakin menyerupai sepasang sosok yang sangat Armin kenal.
"Oh, sudah bangun rupanya. Mau minum teh dulu?" Si bocah perempuan menyodorkan gelas bagian Armin.
Armin menerima dengan melongo. Ia tatap sepasang pemilik rumah bergantian.
"Kenapa tatapanmu begitu? Dulu kita sering melakukan acara minum teh bareng kan?" Anak laki-laki itu mengerutkan dahi.
"Iya. Sebelum keparat itu datang. Dan kau melupakan kami secepat itu setelah menjalani operasi?" timpal anak satu lagi.
"Kau tahu, Armin," mereka berdua menaiki tempat tidur. Duduk di sisi kanan-kiri pemuda bersurai pirang. "Acara minum teh kali ini adalah yang terakhir kali."
"A-apa maksud kalian, Eren, Mikasa?" tanya Armin dengan suara gemetar.
"Artinya," tangan-tangan mungil terangkat. Benda mengilat tepat di atas kepala Armin. "Kau akan kembali bersama kami lagi."
.
Bagian barat hutan berkabut. Armin Arlert, bekas pemuda tunanetra dari keluarga konglomerat, bersandar di salah satu pohon.
Kedua mata terpejam karena sayat. Pita suara terbakar oleh panas cairan. Sedangkan tangannya masing-masing memegang boneka laki-laki berambut kecokelatan dan perempuan berambut hitam. Dan di sampingnya berdiri miniatur rumah yang telah hancur.
-end-
KAMU SEDANG MEMBACA
Drabble ✓
FanficKumpulan cerita pendek abstrak dari fandom Shingeki no Kyojin Disclaimer: Hajime Isayama Cover cr © Artist