Sering terdengar istilah 'jatuh cinta pada pandangan pertama' di kalangan umum. Tidak sedikit orang yang kerap mengalami secara langsung. Dari indahnya kristal berwarna, perlahan turun mengamati keseluruhan tampang, berkomunikasi mengenal sifat dan suara lawan jenis berlandaskan rasa penasaran. Semakin akrab, meluncurlah turun ke hati.
Berbeda dengan Jean Kirschtein. Rambut adalah hal pertama yang membuatnya jatuh cinta pertama kali. Surai hitam seorang Mikasa Ackerman berkibar indah ketika wanita tersebut melintas di depannya. Ia ingat betul, kala itu Mikasa tengah menghampiri Eren. Dalam hidupnya, baru sekali ini saja rambut hitam menarik perhatiannya untuk mengenal perempuan itu lebih lanjut.
"Ra-rambutmu bagus...."
Kesan pertama meluncur tersendat dari bibir Jean. Mikasa mengambil jeda, menoleh pada pria itu dengan tatapan datar. Jean berharap bisa melihat senyum di sana, apresiasi atas pujiannya. Namun, Mikasa hanya mengangguk singkat, sebelum kemudian segera menyusul Eren dan menggandeng lengannya.
Saat itu juga, samar-samar terdengar retakan semu.
Awal yang buruk. Berniat pendekatan dengan sekali pujian, berharap hati si perempuan meleleh, kemudian menjalin hubungan. Sepertinya bukan keputusan yang tepat jika itu menyangkut Mikasa Ackerman. Mau bagaimana pun cara yang ditempuh, kalau bukan menjadi Eren, Jean tak bisa meraih Mikasa.
Dan ia benar-benar tidak sudi menjadi pemuda Jaeger.
Jean sudah bersumpah seperti itu sejak bertemu dengan Eren.
Sebelum tidur, ia rutin berdoa di atas kasur. Tak peduli jika Marco memergokinya komat-kamit sendirian. Persetan jika Armin atau Eren menganggapnya tumben-tumbenan jadi orang religius. Orang yang dimabuk cinta pasti akan melakukan apapun agar hubungan dengan pasangannya terkabul. Jadi wajar saja. Itu pemikiran Jean saat ini.
.
Tengah malam, mata Jean terbuka. Tenggorokan kering. Melirik ke samping nakas, gelas absen. Dengan penglihatan semampunya di kamar yang gelap bersuara ngorok Eren, Jean bangkit dan melangkah keluar kamar.
Hal pertama yang dilihatnya adalah rambut hitam dan cahaya lampu minyak di meja kayu. Jantung pria itu berdebar. Tapi, ia tidak buru-buru menghampiri orang tersebut. Khusus untuk kali ini saja, Jean belajar dari pengalaman salah panggil dulu. Pasalnya, Kapten Levi dan Mikasa memiliki warna surai yang sama. Dan saat itu Jean langsung duduk di sebelah Kapten yang dikiranya Mikasa.
Alhasil Kapten menusukkan tatapan tajam berisi kalimat tersirat, "Jangan SKSD deh lu, Kirschtein."
Sampai ia melintas di sebelah sofa, Jean melengos lega.
"Mikasa? Kau belum tidur?" tanyanya, menghentikan langkah.
Mikasa mendongak, balas menatap Jean. "Aku tidak bisa tidur. Kau sendiri?"
"A-aku juga. Tenggorokanku kering."
"Mau kubuatkan teh?"
"Eh?" Jean tersenyum kikuk.
Mikasa berdiri, meninggalkan sejenak fabrik yang tengah dilipatnya di sofa. Tanpa ekspresi seperti biasa, ia berjalan mendahului Jean ke dapur.
Sesaat bengong, Jean tersadar. Bukan begini cara menjadi gentleman! Buru-buru ia mencegat tangan Mikasa, "Ti-tidak usah! Aku saja yang buat!"
Mikasa menggeleng. Lembut, ia melepas genggaman Jean. "Aku juga sedang ingin. Kau duduk saja di sofa."
Jean menurut. Pemuda itu duduk tegak di sofa. Pipinya memerah, malu sendiri. Kulit halus Mikasa masih sangat terasa.
Sepuluh menit menunggu. Mikasa datang dari arah dapur membawa dua buah cangkir. Jean beringsut, ketika wanita itu mengambil duduk di sebelahnya.
"Terima kasih, Mikasa," ucap Jean seraya meniup kepulan asap hangat dari cangkir.
Mikasa mengangguk tanpa sekalipun menatap Jean. Ia kembali fokus melipat-lipat tumpukan pakaian di sisi sebelahnya. Setelah mengambil beberapa tegukan kecil, Jean meletakkan cangkir dan mengamati gerak-gerik Mikasa.
"Baju Eren?"
Kepala bersurai hitam itu mengangguk singkat.
"Kenapa tidak dia saja yang melipatnya?"
"Aku tak mau membuat Eren kelelahan."
"Kau loyal sekali padanya. Tidak sebanding dengan keloyalanmu pada Kapten Levi."
Mikasa berhenti. Sejenak, Jean kira wanita itu akan mengomelinya. Ternyata hanya ingin menenggak teh. Kemudian lanjut melipat pakaian beraroma matahari.
"Bukan loyal. Aku cuma ingin selalu bersamanya, melindungi, menjaga Eren dari apapun yang berbahaya. Ini sebagai bentuk balasanku untuknya yang telah menyelamatkanku."
Cahaya lampu minyak remang-remang menerpa wajah Mikasa. Semburat tipis merah muda menghias rupa oriental si wanita dengan senyum tipis di sana.
Pertama kali Jean menangkap senyum dari seorang Mikasa Ackerman. Hanya berdua di ruang tengah, namun sangat disayangkan, senyum itu bukan ditujukan untuk Jean. Teruntuk pemuda Jaeger yang puas mengorok di ranjang atas Armin.
"Kau sangat mencintai Eren, ya...," Jean berbisik lirih.
"Um," Mikasa mengangguk. Jika diperhatikan agak lebih dekat, senyum kecil itu tertarik sedikit lebar.
Jean tak peduli dengan panas yang masih terpancar pada gelas teh. Sekali tegukan, cangkir sudah kosong. Kerongkongan serasa terbakar. Tapi, hal itu tidak sebanding dengan nyeri di dada dan keping-keping perasaan yang hancur.
"Sebaiknya kau tidur, Mikasa. Sudah sangat larut. Besok kita ada agenda bebersih dengan Kapten Levi kan," ucap Jean seraya berdiri.
"Aku bisa bolos mencari kayu bakar di hutan."
Jean terkekeh. Sebelum meninggalkan ruang tengah, dahi Mikasa ia kecup lembut.
Mikasa bengong—menatap pintu kamar yang telah menghilangkan sosok Jean setelah ucapan "Selamat malam" dari pria tersebut. Entah hanya perasaannya saja atau memang sungguhan, tangan Jean terasa gemetar di kepalanya barusan.
Sementara itu Jean meringkuk dalam selimut. Terisak pelan, menumpahkan semua bongkahan yang hancur dalam bentuk air mata.
Sudah lama ia memendam perasaan pada Mikasa Ackerman. Sayang, rasa itu harus pupus.
.
"Mikasa!"
Perempuan itu menoleh. Manik kehitamannya tak lepas dari sosok pria brunet yang berlari menghampiri.
"Kau tidak ikut bersih-bersih?" tanya Eren, terengah.
"Aku mau cari kayu bakar untuk persediaan."
"Kalau begitu aku ikut. Sebentar," Eren berbalik arah. Kapten Levi tengah mengelap kaca jendela, segera diinterupsi oleh si pemuda Jaeger.
Mikasa tak tahu apa yang dibicarakan oleh mereka berdua. Namun tak lama setelah itu, Eren kembali lagi. "Ayo! Aku sudah izin ke Kapten Levi."
Wanita itu tertunduk. "Eren, kau lebih baik kembali bersih-bersih bersama mereka. Aku bisa mengangkut kayunya sendiri."
"Bicara apa kau. Jangan mentang-mentang perutmu sudah bagus kau meremehkan bantuanku, ya," Eren merengut iri. "Kau tidak ingat, dulu kita sering mengangkut kayu bakar bersama ke rumah?"
Mikasa mendongak. Seulas senyum ia pasang di wajah berseri. "Iya...."
Eren membuang wajah. Mereka berdua pun bergegas memasuki wilayah hutan. Sedang di teras, Jean mengamati dari jauh. Sapu sempat terhenti menyaksikan lengkungan bibir si wanita Ackerman baru saja.
Sakit? Tentu. Bahkan menangis semalaman tak akan cukup mengobati rasa perih. Namun, untuk saat ini, hanya melihat Mikasa tersenyum bahagia, itu saja sudah cukup bagi Jean.
-end-
.
Keknya ini ga bisa disebut drabble, ya. Saya ga nyangka bakal lebih dari 200 kata :')
Btw di sini saya bukan bermaksud menjatuhkan pair Jeankasa kok:')
KAMU SEDANG MEMBACA
Drabble ✓
FanficKumpulan cerita pendek abstrak dari fandom Shingeki no Kyojin Disclaimer: Hajime Isayama Cover cr © Artist