Pendekatan

143 22 0
                                    

Levi Ackerman. Berjabatan sebagai seorang kapten muda membuat kesehariannya disibukkan oleh berbagai tugas. Berkali-kali mondar-mandir dari satu tempat ke tempat lain—mengurusi berkas dan berbagai urusan kepemerintahan bersama Erwin, Hange, dan beberapa pemimpin tiap regu Pasukan Pengintai lainnya.

Walau sesibuk itu setiap hari, ia menyempatkan diri untuk menghabiskan waktu bersama Petra, Auruo, Gunther, dan Eld. Seringkali mereka melaksanakan agenda bebersih yang seenak udel diadakan oleh Levi. Untunglah empat bawahannya itu menurut dengan senang hati.

Di sela rapat bersama para petinggi pemerintahan, Levi mendadak teringat sesuatu.

Satu setengah bulan lalu, ia mengajukan diri sebagai pengawas seorang bocah titan—Eren Jaeger. Kegiatan itu selalu terlaksana kala ada sesuatu yang menyerang anak itu. Bagaimana pun keberadaan Eren untuk Pasukan Pengintai sangatlah penting.

Tapi, kapan terakhir kali ia berbincang bersamanya?

Levi tak bisa mengingatnya. Memori itu berlangsung dalam jangka sangat singkat hingga tertimbun di paling dasar ingatan.

Sampai akhir, fokus terbagi dua. Rapat pemerintah dan rapat dengan diri sendiri—mencari kesempatan bersama Eren, barang sejenak.

.

"Eren," Petra memanggil. "Kapten memanggilmu di depan."

Pemuda limabelas tahun itu lekas menuju halaman depan markas. Dadanya berdebar penuh tanya—kesalahan apa yang ia lakukan baru-baru ini sampai sang kapten memanggil?

Levi baru memasang pelana, ketika Eren telah berdiri semeter di belakang. Dengan berpostur memberi hormat, dia bertanya, "A-Anda memanggil saya?!"

Iris hitam mengamat dari ujung atas sampai bawah. Ah. Getar kecil di tangan anak itu tertangkap oleh penglihatan Levi.

"Iya," jawabnya seraya menaiki punggung kuda. "Ambil kudamu. Ikut aku."

"Baik!"

Eren buru-buru mengeluarkan kuda dan memasang pelananya. Kemudian menyusul Levi yang sudah melangkah lebih dulu.

Perjalanan dilalui dengan keheningan antara keduanya. Kepala Eren terus memikirkan kemungkinan hukuman terburuk. Peluh dingin membasuh epidermis kulit. Tangannya tak berhenti tremor sejak tadi. Punggung yang kerap memperlihatkan sayap kebebasan terasa menguarkan aura mengancam, membuat Eren komat-kamit merapalkan doa.

Di sisi terpencil dekat pintu masuk pasar, Levi turun dan mengikat kudanya. Eren mengikuti, memberi jarak jauh antar kedua hewan.

Pria itu menoleh. Jemari Eren digamitnya. Ia tak peduli bila rupa anak itu menyerupai ikan—melotot dan mangap. "Ayo."

Mereka berdua berjalan beriringan, menyusuri pasar. Kios-kios berupa tenda berderet di sisi kanan dan kiri. Masing-masing pemilik berlomba menjajakan dagangan.

Eren hanya tolah-toleh mengamati sekitar. Ia khawatir kalau-kalau Levi menyerahkannya untuk dijual juga.

Sang kapten berhenti pada salah satu kios.

"Tolong empat apel dan tiga pir."

Si penjual melayani dengan semangat. Levi menyerahkan tiga lembar uang sebelum beranjak.

"Tidak biasa melihatku belanja, bocah?" Ia berceletuk, mengejutkan Eren yang ketahuan menatapnya diam-diam.

Eren mengangguk kaku. "I-ini pertama kalinya, Sir."

Tidak ada sahutan. Kini, sang manusia terkuat memandanginya. Eren jadi semakin gugup. 

"A-a-anu, ta-ta-tangan Anda... s-sampai kapan Anda mau m-me-memegangnya?"

"Mungkin sampai pulang," Levi menjawab datar. "Kenapa? Kau tak nyaman?"

"B-bukan... begitu.... Nngg... T-tolong lupakan saja."

Eren mengalihkan wajah ke samping, hanya menampakkan rona di pipi dan daun telinga. Mata Levi membola. Pertama kali ia melihat bagian ini dari pemuda tersebut. Pun perasaan Eren tak bisa ditebaknya—berbohong, malu, atau justru keduanya. 

"Karena aku tidak mau kau terus berjalan di belakangku," ucap Levi seraya menyodorkan kantung kertas berisi buah pada Eren. "Bawakan. Masih ada yang harus kubeli."

Dengan gugup, Eren menerimanya. Saat itu pula ia memikirkan maksud kalimat sang kapten. Apakah itu berarti beliau enggan memandang jabatan antara mereka? Ataukah agar Levi lebih mudah mengawasinya di tempat ramai seperti ini? Eren berharap ia tak salah mengartikan. 

Lima belas menit mereka memutari pasar. Cukup sedikit kebutuhan pangan yang Levi beli. Hanya dua kantung kertas besar dan apa-apa yang diperlukan sudah didapat semua. Namun sebelum kembali, Levi menawar,

"Ada yang mau kau beli?"

"Eh? T-tidak ada," jawab Eren gugup.

Levi terus menatap Eren, menunggu kepastian mutlak. Semakin lama terasa makin mengintimidasi.

Mata Eren langsung menjelajah ke sekitar pasar. Pandangannya tepat berhenti di salah satu kios.

"Ka-kalau begitu...," Eren menunjuk. "Bolehkah saya ke sana sebentar?"

Levi mengizinkan. Ia membiarkan bocah itu sedikit membawanya ke toko yang dituju. Dan dia tak pernah mengira akan keputusan Eren,

"Sa-saya mau beli sapu ini."

Jaeger belia mengambil benda yang dimaksud. Levi terperangah. Dari semua hal, mengapa malah sapu yang Eren inginkan?

Namun melihat wajah Eren yang sedikit memelas, akhirnya Levi setuju membelikan. Kemudian kembali ke tempat kuda diikat.

"Eren," ikatan tali melonggar. "Kenapa sapu? Tidakkah kau menginginkan makan atau minum?"

"Saya tiba-tiba ingat, sapu yang biasa dipakai sudah rusak. Jadi mumpung sekalian di sini, saya beli. Lagipula," Eren menunjuk kantung air yang tergantung di tali pelananya. "Untuk minum, saya ada simpanan di sini."

Levi masih memandangnya.

"A-ah maaf! Saya malah merepotkan Anda untuk membelikan sapu—"

"Pfft!"

Eren bengong melihat sosok manusia terkuat nampak menahan tawa di depannya. Badannya bergetar, pastilah ingin melepaskan gelak sebebasnya.

"Ka-Kapten?"

Tiga menit jeda. Levi membalas, "Ah iya, maaf."

Ia bergegas naik. Arah kuda berbalik, menghadap Eren yang telah siap berangkat.

"Ayo kita pulang," ucapnya tersenyum sambil mengusap rambut si bocah.

Levi memacu kudanya, tak menghiraukan Eren yang malah planga-plongo. Dalam perjalanan mereka berdua, senyum tipis itu telah memudar. Namun dapat dilihat raut bahagia yang menghangatkan dari rupa tampan sang kapten.

Tidak buruk. Lain waktu, aku akan sering-sering menghabiskan waktu dengannya.

Bagi keduanya, siapa sangka hari itu mereka bisa melihat sisi lain dari satu sama lain.

-end-

.

.

Ku tahu ini ndak bisa disebut drabble, dihitung dari jumlah kata yang melebihi 500. Tapi yha... entah kenapa saya pengen publis aja di sini:")

Drabble ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang