Silam

141 18 0
                                    

Iris Eren masih jernih. Dirinya beranggap demikian. Namun yang tertera di sana bukanlah pantulan ala bayangan retina—nyata, tegak, dan diperkecil. Semua tampak imaji. Dunia berputar-putar, bergelombang, penuh gradasi warna yang mencampur abstrak menjadi satu-kesatuan lukisan langka berharga selangit.

Suara berdebum. Seluruh partikel debu trotoar berhambur ke segala arah—bercampur menodai karya yang dihasilkan akibat oplosan antidepresan dan arak. Merasuki indera penciuman, menggelitik bulu hidung yang mengalami mati suri sarafnya. Kini dunia di mata Eren  membentuk garis vertikal. Cara berjalan orang-orang dan laju kendaraan berubah seratus delapan puluh derajat.

Beberapa pasang sepatu mendekati Eren. Penasaran diungkapkan secara verbal, menimbulkan kebisingan di telinga Eren seperti kikik kelelawar. Menjelma menjadi pita-pita kaset yang saling membelit satu sama lain.

"Siapa pun panggil ambulans! Dia harus cepat dibawa ke rumah sakit!"

Rantai-rantai kecil bertambah beberapa lagi memeluk otaknya semakin erat. Eren tahu pria bersepatu pantofel hitam yang mengacung tepat di depan hidungnya berniat baik. Tapi tolonglah kecilkan sedikit suaramu.

Sirene terdengar dari kejauhan. Nyala-redup, nyala-redup, sebagaimana kesadaran Eren yang mulai menghilang. Sebelum dirinya menapak menuju alam bawah sadar, sekujur tubuhnya mengambang. Sesaat mampu mengendus sedikit wangi obat-obatan—sama seperti tempat langganan Eren sejak menginjakkan kaki empat tahun lalu di ibukota.

Kelopak mata mengatup. Pandangan menggelap.

.

.

"Eren."

Sesuara menggema pelan. Membuka mata, sebuah rumah sederhana dengan cat yang sudah terkelupas menjulang kokoh di bawah langit biru berawan serabut tanpa batas. Berdiri di depannya adalah seorang wanita paruh baya. Dada Eren mencelus. Inilah rumah lamanya, tempat memori indah bersemayam. Embus napas lega tertahan di pangkal tenggorokan. Keterpanaan tak dapat dibendung lewat ekspresinya. Tiada seorang pun yang selalu memanggil namanya selembut alunan harpa nirwana selain sang ibunda.

Lengkung senyum menghantarkan kehangatan dan ketulusan, menembus relung hati terdalam Eren yang terkungkung oleh aneka toksik.

"Kamu pulang." Beliau mengucap penuh syukur. Irisnya nanar oleh bulir air di sudut mata, memanas karena perasaan yang tumpah. "Selamat datang, Nak."

Pun Eren tak sanggup menahan bila melihat Carla Jaeger tersedu. Bibirnya membuka dan mengatup. Pita suara tertahan akibat kerinduan luar biasa. Tulang-tulang rapuh didekap Eren. Daster dan kemeja cokelat tua masing-masing menampung bulir-bulir penuh kecamuk emosi.

"Seminggu lalu, kamu bilang tak punya uang untuk pulang. Kamu sudah mulai bekerja?"

Eren menelan ludah. Mengiyakan saja meski tak enak mengecap dusta. Berbagai obat penawar lebih menjadi fokus utama ketimbang lowongan kerja dan materi semester empat kuliah. Hanya kesenangan duniawi tanpa ilmu-ilmu jurusan yang ia kejar. Semakin hari, semakin menarik di pandangannya.

Lebih tepatnya dengan obat, ia meralat dalam batinnya.

Pelukan terlepas. "Sudah bertemu ayahmu?"

Kepala menggeleng, menggerakkan helai-helai cokelat seleher. "Hanya sekali, saat acara pernikahannya. Itu pun aku memutuskan untuk tidak bersalaman karena merasa tak nyaman. Terlebih saat selamatan atas kelahiran anak pertamanya kemarin, aku tidak datang."

Eren dapat menangkap permata hitam berabun senja itu membola, walau terhitung sepersekian detik. Gerak bibir pucatnya menggumamkan pelan 'anak pertama' berulang kali. Dalam hati, Eren menebak tentang isi kepala Carla Jaeger. Pasti menghitung sudah berapa lama ayah kandungnya menetap bersama wanita lain hingga telah membuahkan anak pertama.

"Dia masih mengunjungimu?" Carla bertanya lembut.

Angin bertiup dari arah barat, menyisakan keheningan. Pertanyaan Carla mengambang di angkasa—dibiarkan menggantung oleh Eren. Namun dari sorot mata berpelupuk keriput, wanita itu tahu jawabannya.

"Mau seberapapun kamu tak bisa terima keluarga barunya, sesekali bertamulah ke rumahnya."

"Aku—aku tidak suka. Cepat atau lambat, anak lamanya ini akan dilupakan." Eren menunduk. Kedua tangan mengepal kuat, menahan perasaan agar tidak lepas kendali.

"Tidak ada yang seperti itu. Semua anak sama. Baik kamu maupun anak dari wanita itu." Jejari berkerut menangkup sepasang pipi Eren. Membawa empat mata untuk bertemu. Eren tak kuasa balas menatap. Percuma saja. Telapak tangan penuh gurat kasar akibat kekeriputan menghantarkan rasa nyaman, menyentuh hati bekunya. Meluluhkan kebebalan pikirannya.

Kedua dahi dipertemukan, terantuk kecil. Eren mengamati Carla yang memejam. Wajah yang terlampau tenang untuk seorang yang baru saja mendapat berita perselingkuhan setelah dirinya berpulang.

Ah. Hanya dengan mengamati rupa beliau saja membuat ulu hati terasa nyeri. Ujung mata kembali memanas akibat perasaan yang ingin meletup-letup bebas.

Sedangkan kelopak Carla membuka. Berhasil bersitatap dengan milik Eren yang mulai tampak nanar. Hidung mendengus geli. Wajah putra tunggalnya sekarang mampu mengusir kegundahan akibat waktu yang buru-buru hendak merenggangkan mereka. Beliau sedikit terhibur karenanya.

Carla mengecup pipi dan dahi pemuda itu. Pertanda perpisahan. "Sekarang kembalilah. Terima kasih sudah mengunjungi Ibu."

Segalanya tertarik menjauh layaknya lilin yang diregangkan, baik Eren maupun rumah dan Carla. Salah satu tangan Eren berusaha menggapai beliau. Sedangkan sang ibu menyungging senyum di wajah sendu, melambai pelan sebelum sosok mereka menghilang.

Akhir dari perpisahan.

.

.

Hasil periksa dari dokter resmi keluar. Kandungan zat etanol, volatine, solvent, nikotin, tar, dan lainnya mendiami tubuh Eren Jaeger dalam jumlah begitu banyak. Mereka menyerang secara aktif organ-organ di dalam yang membuat beberapa saraf kehilangan fungsinya.

Diagnosa itu tidak mengejutkan Eren. Selama beberapa tahun terakhir setelah ibunya berkalang tanah, ia terdorong mencoba obat-obatan dan macam-macam merek arak. Semua hampir ditenggak lebih dari dua kali dalam sehari sebab stagnasi yang kerap muncul. Berkunjung ke kelab menjadi rutinitas baru sepulang dari kampus. Menetap hingga malam. Kehidupan gemerlap dinikmatinya bersama para pendosa lain, mengikis ingatan-ingatan pilu hingga lebur dalam tiap tenggakan gelas.

Dan begitu akibatnya. Tengah perjalanan menuju kampus, Eren tumbang.

Eren menghela napas pasrah. Tubuhnya sudah rusak—memang ia sengaja. Sebentar lagi juga akan menyusul ibunya. Berkeinginan untuk tidur saja, ia meraih tas ransel di kursi sebelah ranjang. Mengambil suntik dari kotak pensil, pintu menjeblak terbuka.

Mata pria yang melangkah masuk menyorot tajam. Pantofel hitam yang sama seperti Eren lihat di trotoar menapak tegas dan terburu-buru. Bulu tengkuk Eren meremang ketika figur sang ayah merengkuh tubuhnya tanpa permisi. Lengan yang melingkar semakin merapatkan jarak antar tubuh keduanya, meski Eren memberontak dengan segenap tenaga.

"Jangan .... Jangan!"

Bukan benar-benar enggan. Semata-mata karena sosok Grisha Jaeger mampu mengisap kembali seluruh kenangan masa lalu. Saat-saat mereka bertiga masih membentuk satu keluarga kecil yang utuh. Saat-saat di mana belum ada wanita lain yang menarik perhatian pria tersebut.

Dan Tria tidak suka itu. Terlebih ketika ingatan acara pernikahan kedua dan selamatan atas kelahiran anak kedua beliau menyembul seakan berusaha membaur dengan para reminisensi masa lalu.

Namun percuma. Grisha tetap bersikeras memeluknya.

"Nak." Perasaan familier menjalar. Menyusun kembali sel-sel rusak lewat suara bariton yang menggema.

Eren berhenti memberontak. Ia dapat merasakan bagian pundaknya basah oleh air mata. Ia sempat ingin membantah, mengutarakan seluruh tanda tanyanya sebelum disela oleh sang ayah.

"Kembalilah. Ayah mohon."

Jarum suntik heroin membentur lantai.

-end-

.

.

Akhirnya bisa up lagi:')

Drabble ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang