Kisahnya

407 42 5
                                    

Ada satu ruangan khusus di kediaman Rivaille. Isinya sebuah piano besar berwarna cokelat kayu di tengah-tengah. Instrumen yang sudah menjadi sahabat dekat—bahkan saudara Rivaille. Ia selalu mempersilakan sang pemilik untuk memainkannya. Mereka berbicara, berkomunikasi lewat tuts-tuts monokrom, mengalun bernada. 

Kali inipun Rivaille datang kembali. 

Punggung tegak duduk menghadap deretan tuts. 

Satu gores besar terukir di lengan. Menahan rasa sakit, jemari mulai menari. Nada sendu nan indah dari seorang pianis ternama Rivaille membaur dengan air hujan di luar. Deras dan berusaha mendominasi, tanpa mau dikalahkan oleh tumpahan emosi dalam melodi. 

Darah mengalir lebih deras ketika satu ukiran di kulit bertambah. Persetan dengan motif darah pada celana bahan, lantai, atau kain kemeja—seperti titik-titik hujan pada kaca jendela. Sungguh ia tak peduli. Jari-jari masih fokus menari-nari lincah. 

Tolong berakhirlah. Bibir pucat Rivaille berbisik demikian. 

Maafkan aku. Maafkan aku. Ini salahku. Maafkan aku. Tetes demi tetes air mengalir keluar. Lewat melodi piano saja ternyata tidak cukup. 

Eren Jaeger. Mikasa Ackerman. Erwin Smith. Hanji Zoe. Mike Zacharius. Petra Ral. Gunther Schultz. Eld Jinn. Kuchel. Kenny Ackerman. Isabel Magnolia. Farlan Church. Dan masih banyak lagi baris-baris nama yang ia ucapkan, mengiringi instrumen. 

Maaf. Aku melanggar janji. Maaf bila aku seyakin itu. Maaf.

Satu tangan menggenggam pecahan kaca. Ujung tajam diarahkan ke pergelangan tangan yang masih asyik menari di atas tuts. 

Ia harus membereskan ini. Perasaan ini harus hilang. Segera. 

Ujung tajam dari sisi kaca lain Rivaille arahkan ke leher. Satu garis terpahat di sana, darah meleleh keluar. Permainan berhenti. 

Kisah terakhir Rivaille untuk teman dekatnya, berakhir sampai di sini.

-end-

Drabble ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang