Harapan

152 21 2
                                    

Semilir angin bertiup pelan membelai rambut surai cokelat Eren, mengusap lembut permukaan kulit. Membawa aroma kesegaran rumput hijau yang mengalasi tubuh seratus tujuh puluh sentinya. 

Kicau burung menyelingi bisikan angin. Begitu iris hijau zamrud membuka, nampak kerumunan hewan tersebut mengepakkan sayap meniti langit biru. Tidak ada tempat persinggahan sedikit pun di sekitarnya. Sejauh mata memandang hanya terhampar padang rumput tak berujung. Kini Eren merasa telah berbaring di tengah-tengahnya. 

Ia bangkit sambil mengerjap. Eren sama sekali tidak mengingat penyebab dia bisa berada di tempat tersebut. Memori terakhir yang bisa diputarnya kembali adalah peristiwa berdarah yang menimpa teman-temannya. 

Kemudian Eren mengaku seluruh dunia menggelap secara tiba-tiba. 

Eren mendongak. Syukurlah. Tak ada lingkaran halo di atas kepalanya. Pertanda ia belum mati—lebih tepatnya belum siap. 

"Kau sudah bangun ternyata."

Suara bariton menggema, lalu membaur bersama embusan udara. Spontan kepala Eren menoleh. Pria bersurai hitam dengan potongan undercut berdiri beberapa meter menghadapnya. Jubah hijau tua berlambangkan sepasang sayap kebebasan bermandikan bercak darah. 

Diam-diam Eren mencubit tangannya sendiri. Binar kekaguman menyinari manik hijau itu. "Ko-Korporal Levi! A-anda Korporal Levi sungguhan?!"

"Aku di sini, Nak."

Eren menjerit kecil. "Tidak mungkin! Ah, apa Anda tahu tempat apa ini? Kenapa kita bisa terjebak di sini?"

Serbuan pertanyaan tidak mendapat jawabannya. Levi hanya mematung di seberang, memandang Eren dengan tatap yang sulit dijabarkan. Ada berbagai macam emosi berkecamuk di sana. Getar bibir mengakibatkan suara yang keluar ikut goyah. 

"Maaf, Eren. Maaf. Aku gagal."

Kilap-kilap di mata Eren menghilang. Tanda tanya besar tersurat lewat wajahnya. "Korporal?"

Pria tersebut tertunduk sendu. 

"Korporal, kenapa Anda meminta maaf? Anda tak salah apa-apa kok," ucap Eren—mulai menyadari ada yang janggal dari sini. 

Bukan perasaan Eren rupanya, angin bertiup semakin kuat. Mengantarkan hawa dingin yang berubah mencekam. Firasat buruk bertambah dalam benak pemuda tersebut, ketika sang korporal muda berbalik memunggunginya. Jarak antara mereka semakin merenggang kala kaki melangkah. 

"Ah tolong tunggu sebentar, Korporal!" 

Eren berusaha bangkit, tetapi gagal. Salah satu kaki menghilang. Namun, dengan keadaan seperti itu pun ia bersikeras untuk mengejar sang pimpinan. Badan berbalurkan kekental merah amis diseretnya susah payah.

"Kenapa?! Apa salah saya? Saya hanya penggemar berat Anda! Saya tidak akan melakukan apa-apa! Tolong kembalilah!"

Tangan si pemuda semakin berusaha menggapai. Mulutnya mengucap nama sang idola tanpa henti. Sedangkan Korporal Levi bersikap seolah tak mendengar, meski hatinya terasa diiris-iris oleh panggilan bersuara serak Eren. 

"Jangan tinggalkan saya! Kumohon!" Derai air mata tumpah ruah, membuat manik hijau berkaca dan hilang cerahnya. 

Perlahan, suara tangis seorang bocah tak didengarnya lagi. Tepat saat Levi menoleh, sosok pemuda tersebut berdenyar menjadi bulatan cahaya kuning seperti kunang-kunang. 

Pada akhirnya, Eren Jaeger masih belum bisa menggapai seorang Levi Ackerman.

.

"... poral sudah bangun!"

"Syukurlah! Lalu bagaimana dengan dia?!"

"Coba periksa denyut nadinya!"

"... Eren... Eren...."

"Tidak bisa. Ia sudah tak berdenyut lagi."

-end-

Drabble ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang