8 - Luka Jiwa

387 23 0
                                    

     Harapan dan kenyataan yang berbeda bukanlah alasan untuk menyerah...
**

   Terluka membawa rasa sakit yang mendalam. Bagi si capricorn, seberat apapun masalah atau luka yang mereka rasakan, mereka hanya menyimpan untuk mereka sendiri. Karena mereka tidak ingin merepotkan orang lain dengan masalahnya.

       Di dekat rumah Zara, ada sebuah gedung tua. Sejak kecil ia sering sekali naik ke atap sana bersama seorang temannya. Di sana tenang dan jauh dari keramaian. Saat ini dia sudah di atas sana memikirkan apa yang sebaiknya dilakukan.

      Di sisi lain, Acha mengkhawatirkan gadis berkaca mata itu. Sedari pagi hingga sudah sore dia terus saja menghubungi dan mencari-carinya ke manapun. Akhirnya Acha ingat gedung tua, ia langsung ke sana dan berharap Zara ada di sana.

      Memang benar Zara ada di sana sedang berdiri di ujung tembok, ia terdiam seakan tidak memiliki semangat hidup. Acha menyusul ke gedung tua, saat Ia melihat seorang gadis yang berada di tepi batas gedung dan hendak melangkah untuk menjatuhkan tubuhnya agar dia bisa berhenti bernafas. Acha dengan cepat menarik gadis itu mundur hingga keduanya terjatuh ke lantai.

"Zara ngapain sih? Kalo jatuh gimana?" Tanya Acha sangat panik. Namun gadis itu sama sekali tidak menjawab.

"Zara...!" Dengan nafas yang masih terengah-engah, ia memanggilnya dengan lembut.

"Gua seneng loe ada disini, gua udah cari loe kemana mana, lari sana sini...!" Masih dengan nafas terengah-engahnya itu ia duduk di samping Zara.

"Zara...! Gua tau ini berat buat loe. Tapi gua juga tau loe tu kuat. Berhenti berpikir loe yang salah, loe tu engga salah. Ayo kita buktikan kalo ini cuma salah paham".
Tanpa sepatah kata pun Zara hanya terdiam.

"Ra...! Zara! Loe tu kenapa sih? Sumpah gua ngga ngerti apa yang ada di pikiran loe" ucap Acha menghela berat nafasnya.
Masih dengan posisi yang sama Zara bahkan tidak bergerak sedikitpun.

"Ra! Ra! Raa...!" Acha semakin panik.
"Bela engga mau percaya itu masalahnya? Dan loe juga sendirian, om Zani belum pulang juga? Loe tenang aja ada gua di sini nemenin loe!"

Tiba-tiba saja tetesan yang telah membendung di ujung mata Zara terjatuh ke pangkuannya.

"Come on! Jangan sampe penyakit lama loe kambuh! Sadar Ra! Saadar!"

Sebenarnya itu bukan penyakit, lebih tepatnya trauma.

9 tahun yang lalu

Saat usia Zara 8 tahun ia punya seorang bibi yang merawatnya karena ibunya meninggal ketika melahirkannya. Gadis kecil itu sering dibuli di kelasnya karena tidak punya ibu. Ia sering melampiaskan kekesalannya kepada bibi. Zara sering membentaknya, memarahinya, bahkan memukul bibi dengan tasnya setiap pulang dan merasa kesal.

Hari itu ketika pulang sekolah, gadis kecil cantik itu benar-benar kesal.

"BIBI! BIBI! Bibi dimana sih... BIBiiiiiiiiii!" Teriaknya dengan kerasnya.

"Zara! ngga usah triak-triak gitu bibi juga denger. Bibi ada di dapur, ke sana aja kalo perlu bibik!" Sahut Zani yang sedang memainkan laptonya.

Zara menuju dapur, ternyata bibi sedang mencuci piring.

"Bik, bawain aku makanan! Cepetan bi, CEPAT!"

"Iya nak tunggu sebentar!" Ucap sang bibi pelan.

"CEPAT BIK, AKU LAPAR!" teriak Zara sembari merengek.

      Ketika hendak melangkah bibi terpijak air yang mengalir dari piring yang dicucinya hingga ia terpeleset. Tangannya menapis sebuah gelas.

"Aaaaaaaaaaaaaa...".

TRING ...TRING ...TRING...

     Kepalanya terantuk hingga dia tidak sadarkan diri. Zani dengan panik berlari ke dapur. Bibi terjatuh tepat di depan Zara. Hingga Zani menuduh gadis kecil itu yang mendorong bibi. Sebenarnya Zani merasa kesal tiap kali melihat Zara yang mengingatkan pada kematian istrinya dan juga karena beban yang harus dipikulnya merawat seorang putri sendirian membuatnya kehilangan akal sehatnya sesaat.

      Ternyata bibi tidak bisa diselamatkan lagi dan meninggal. Zani benar-benar marah pada Zara. Sebagai sebuah hukuman yang tegas untuk anaknya, Ia mengurung gadis kecil itu di sebuah kamar kosong yang gelap.

"Sebelum kamu ngaku kamu yang dorong bibi, jangan harap kamu bisa keluar dari sini!" Bentak Zani pada anaknya.

"Paah.. Zara engga..."

"Jangan keras kepala kamu Zara! Sebelum kamu minta maaf sama keluarga bibi, jangan harap kamu dapat makan!" Kemarahan Zani memuncak.

       Zara dikurung selama dua hari tanpa mendapat makanan sedikitpun. Di ruang gelap itu, ia kedinginan, ketakutan, kelaparan dan terus saja menangis.
"Zara ngga salah!" ucap gadis itu dalam isakan tangisnya.

      Hanya tiga kata itu yang keluar dari mulutnya. Ketika Zani membuka pintu kamar, ia melihat anaknya yang terbaring menyedihkan di lantai yang dingin.

      Bahkan dalam alam bawah sadar gadis kecil itu ia mengatakan "Zara ngga salah" yang terus saja terlafalkan dari mulutnya. Zara kecil dibawa ke rumah sakit dan ia bahkan harus ikut terapi jiwa selama seminggu. Sejak saat itu Zani sadar seharusnya ia mendengarkan cerita putrinya yang merasa kesepian tanpa seorang ibu.

     Sejak saat itu, Zara kecil menjadi temperamental, mudah ketakutan dan marah bahkan untuk hal yang kecil, hingga bisa mencelakakan teman-temannya dan dijauhkan dari keramaian. Makanya Zani memerintahkan Zara kecil untuk terus belajar agar ia punya kesibukan dan tidak membahayakan orang lain.
***

      Acha takut Zara kembali trauma seperti waktu itu. Karena kejadiannya hampir sama, gadis itu tertuduh untuk kesalahan yang bukan salahnya.

"Loe tenang aja, gua bakalan nemenin loe nyelesein masalah ini! Oke!" Hibur Acha sembari membelai rambutnya.

Namun, ketakutan Zara yang sangat menyelimutinya. Ia takut apa yang akan terjadi jika ia menceritakan semuanya.

Namun, ketakutan Zara yang sangat menyelimutinya tidak bisa dibendung.
Jiwa yang sakit, belum lama sembuh, tapi sudah kambuh lagi. Hati yang sakit, goresan belum memudar, namun telah tergores kembali.

      Aku butuh seberkas sinar harapan tuk mengembalikan semangat hidup ini. Jangan sampai semua sirna, hilang seperti buih di lautan.
.
.
.
...
Tbc

Baca terus ya part selanjutnya!

Dont forget vote, comment and follow ya ;-)

Capricorn Jatuh Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang