13

211 16 5
                                    

"Sora~" Haruka berjalan menghampiri Sora yang sedang membaca bukunya. Laki-laki itu menatapnya dengan pandangan aneh.

"Hm? Kau datang pagi."

"Maaf kemarin lusa aku tertidur," kata Haruka sambil tertawa kecil. "Kau yang memindahkanku ke ranjang?"

Sora kembali menunduk membaca bukunya. "Apa kau mendapat catatanku?"

Haruka mengangguk, "Ya, isinya sangat manis, Sora. 'Jangan lupa belajar, bodoh.' Manis sekali, terima kasih."

"Jadi kau sudah mempelajari bagian yang kutandai?"

"Yap!  Beberapa," kata Haruka tertawa mengingat caranya belajar hari Minggu kemarin. Tanpa Sora. Tanpa guru pengajar.

Sora bersikap aneh hari ini, laki-laki itu terus saja menutupi wajah bagian kirinya dengan tangan, "Teruslah belajar."

"Siap, tuan!" seru Haruka sambil memperlihatkan jempolnya. Ia berjalan kembali ke bangkunya untuk mengambil sesuatu lalu menyerahkan benda di tangannya itu pada Sora. "Ini, titipan roti dari ayahku. Rasanya pasti enak. Dan satunya roti buatanku, rasanya juga enak."

Sora tersenyum samar lalu mengambil kedua roti di tangan Haruka, "Sampaikan terima kasihku pada paman."

"Tentu," kata Haruka tersenyum sebelum ia melihat bekas lebam di pipi Sora, "Apa yang terjadi pada pipimu?"

Sora langsung menutupi pipi bagian kirinya, "Aku menabrak tiang."

"Mana? Coba kulihat," kata Haruka menyingkirkan tangan Sora dari pipinya, ia mengerutkan kening. "Kau menabrak tiang sampai seperti ini? Tidak mungkin!"

"Hentikan, Haruka. Aku tidak apa-apa," kata Sora mendorong pelan lengan Haruka agar menjauh.

Haruka mendengus, "Itu harus diobati. Sebentar," katanya lalu mengambil kotak p3k beserta tempat minumnya dari dalam tas.

"Sudah kubilang aku tidak apa-apa," kata Sora setengah berteriak.

Haruka tidak menanggapi ucapan Sora. Gadis itu sudah menarik kursinya ke sebelah meja Sora. "Diam dan hadapkan wajahmu kemari."

Mau tidak mau akhirnya Sora menuruti perkataannya. Laki-laki itu menggeser kursinya sedikit untuk memudahkan Haruka mengobati pipinya. "Cepat, sebentar lagi yang lain datang."

"Iya, Sora," kata Haruka mengambil es dari minumannya lalu ia bungkus ke dalam perban. Setelah itu ia menempelkan perban berisi es tersebut ke pipi Sora yang memar. Sora hanya diam sementara ia mengobati lebam-lebam di pipi laki-laki itu. Mungkin si pangeran es itu tenang karena suasana kelas yang masih sepi—yah, ia datang terlalu pagi dan Sora selalu datang sangat pagi.

Terkadang Sora meringis sesekali ketika Haruka menyentuh bagian yang masih sakit. Entah apa yang menimpa teman masa kecilnya itu, yang jelas ia tahu bahwa ini bukan lebam yang disebabkan karena menabrak tiang.

"Kau berkelahi?" tanya Haruka saat ia menempelkan es ke pipi Sora.

"Tentu saja tidak." jawab Sora ketus.

"Lalu?"

"Tiang."

Haruka menatap sepasang mata Sora lekat-lekat. "Aku tidak sebodoh itu untuk percaya bahwa kau lebam karena menabrak tiang."

Sora mendesah keras, "Sudahlah, yang penting kau sedang mengobatinya."

"Hemmm." Haruka bergumam panjang. Kemudian ia sengaja menekan pipi Sora lebih keras—membuat laki-laki itu mengerang cukup hebat.

"Apa yang kau lakukan?" seru Sora kesal. Tangannya secara otomatis memegang lengan Haruka. Menahan tekanan dari tangan gadis itu.

"Pelajaran karena mencoba membohongiku," kata Haruka sambil meletakkan perban esnya ke tangan Sora. "Kau kompres sendiri saja."

Reminiscent [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang