26

169 16 0
                                    

"Pokoknya, Haruka. Kami kesal karena kau tidak mengajak kami ke  Oita."

"Ah...eh, bukan begitu. Aoi—"

"Padahal tentu menyenangkan bila kita berempat bisa berlibur bersama." Kini Aoi melipat tangannya lalu sedikit berputar-putar di atas kursi.

Haruka menyengir salah tingkah, "Kita liburan setelah aku dan Sora mendapat resep rotinya."

Takumi tertawa menyindir Sora yang sejak tadi hanya diam mendengar omelan Aoi. "Ya sudah. Sekarang jelaskan padaku bagaimana perkembangan hubungan kalian."

Wajah Haruka langsung memerah. Otaknya sedang memutar kenangan beberapa hari lalu di kereta. Mungkin Sora dan dirinya memang berusaha bersikap sewajarnya dan menganggap bahwa kejadian waktu itu tidak ada.

Tapi...tetap saja. Baginya, itu adalah kenangan indah yang sulit dilupakan.

"Apa yang kau harapkan, Takumi?" Suara Sora membuat kedua alis Haruka terangkat. Laki-laki itu menjawab seperti biasa. Nada datar, muka malas. Tidak adakah yang spesial bagi si pangeran es itu? Menyebalkan.

Takumi mengangkat kedua tangannya. "Mungkin saja kini kalian sudah menginjak di jenjang yang lebih tinggi."

"Hentikan, Takumi. Kau membuat Haruka hampir pingsan," kata Aoi mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Haruka.

Haruka semakin salah tingkah.

Bagaimana ini, bagaimana ini...

"Sebenarnya yang patut dipertanyakan adalah hubungan kalian," kata Sora tanpa ekspresi. Laki-laki itu hanya membalik buku bacaan barunya. Sastra klasik. Terlalu membosankan untuk gadis sepertinya.

"Ah! Benar sekali! Kurasa kalian memang saling mencintai," kata Haruka merasa lega karena terselamatkan dari suasana canggung yang hampir membunuhnya.

Aoi memukul meja cukup keras, "Hah! Mana mungkin aku jatuh cinta dengan pria tidak bisa diandalkan seperti dia?"

Haruka tertawa ketika Aoi bicara seperti itu dengan sikap yang berlebihan. Dasar. Temannya itu memang tidak peka dengan perasaan. "Hei, setidaknya Kuba-san lebih bisa diandalkan dibanding Sora."

"Ehm." Sora berdeham lalu menatapnya dengan pandangan kesal.

"Nah, kau dengar apa yang dikatakan Nakajima-san," kata Takumi dengan nada bangga. "Aku laki-laki yang bisa diandalkan, tahu."

"Huh, walaupun begitu aku tetap tidak sudi denganmu," kata Aoi sambil menjulurkan lidahnya ke arah Takumi.

Takumi hanya membalas dengan sedikit decakan lidah dan tawa mengejek. Menyenangkan sekali memiliki teman-teman yang selalu bisa membuat Haruka tertawa. Ya, ia bersyukur. Sora benar, ia tidak sendiri.

"Ngomong-ngomong, aku baru sadar..." kata Aoi menyudahi peperangannya dengan Takumi. Haruka memasang mata untuk memperhatikan apa yang akan temannya katakan itu. "Haruka masih memanggil Takumi dengan nama keluarganya, begitu pula sebaliknya. Padahal kalian sudah saling mengenal hampir satu tahun."

"Mm. Aku terbiasa," kata Takumi meletakkan kedua tangannya di belakang kepala.

"Aku juga," kata Haruka. "Rasanya aneh memanggil Kuba-san dengan nama kecilnya."

"Tapi kurasa aku lebih suka dipanggil Takumi."

"Baiklah, akan kuusahakan."

Sora membalik halaman lainnya lagi, "Kau memang jarang dipanggil dengan nama keluargamu, Takumi."

Takumi terkekeh, "Ya sudah, tolong ganti panggilanmu padaku Nakajima-san."

"Lalu aku?" kata Haruka bingung.

Reminiscent [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang