35

163 16 3
                                    

"Satu, dua, ti...ga."

Haruka meringis melihat Kai dan Sasuke yang kini sedang memindahkan kue pernikahan Aoi dari mobil menuju tempat resepsi, "Hati-hati, astaga."

"Ini...berat...sekali...Haruka," kata Sasuke susah payah. Kedua tangan laki-laki itu sudah bergetar karena hampir tidak sanggup mengangkat kuenya.

"Sebaiknya kau mengurus hal lain. Kami baik-baik...saja," kata Kai sambil menunjuk deretan kotak kue yang masih banyak di dalam truk milik toko roti Haruka tersebut dengan ujung dagunya.

Haruka ragu-ragu, namun akhirnya gadis itu mengangguk dan mulai mengangkat kotak-kotak kue tersebut.

Ia menoleh ke arah seseorang yang sedang melakukan hal sama sepertinya, "Terima kasih karena disini, Shouta."

Shouta mengangguk, "Aku sudah menjadi bagian dari toko rotimu selama enam tahun, Haruka. Tidak perlu berterima kasih seperti itu."

Haruka menghela napas panjang ketika mengeluarkan roti-rotinya di atas stand tempat pesta pernikahan Aoi. Ia menyusun roti-roti kecil tersebut dengan hati-hati dibantu oleh Keiko. Temannya itu masih tidak berubah. Sepertinya kepangan di rambutnya tidak akan pernah hilang.

"Bagaimana dengan Kai?"

Keiko mengangkat bahu lalu memaksakan segaris senyum, "Masih sama. Laki-laki itu terlalu keras kepala."

"Tapi aku yakin suatu saat ia akan melihatmu," kata Haruka dengan nada meyakinkan. Membuat Keiko memandangnya dengan tatapan terkejut. "Kenapa?"

Keiko menggeleng lalu tertawa kecil, "Tidak. Aku hanya heran. Setiap kau bicara begitu, entah mengapa aku jadi ikut yakin."

"Kau harus," kata Haruka sambil tersenyum.

Setiap gadis manapun selalu memimpikan pernikahan yang sempurna. Satu hari di mana semuanya harus berjalan dengan baik. Tidak ada yang salah.

Aoi mewujudkan hal itu.

Haruka tidak bisa berhenti tersenyum melihat dua sahabatnya—Aoi dan Takumi berdansa penuh bahagia di tengah-tengah semua tamu undangan. Ternyata, dua manusia yang paling berpengaruh dalam hidupnya kini sudah bisa menapaki sebuah pijakan bahagia di mana tidak ada kesendirian yang menjalari hati keduanya.

Tawa dan senyum Aoi benar-benar membuat harinya menyenangkan. Gadis itu tumbuh cantik sekali. Dengan tinggi khas atlet, dan wajah yang cantik. Ia lebih memperhatikan penampilannya semenjak bersama Takumi.

Sedangkan Takumi—tetap menjadi laki-laki manis penuh wibawa. Seperti saat SMA dulu. Laki-laki itu masih menjadi pribadi yang suka menggoda, semuanya tidak berubah. Hanya mungkin kumis tipis yang menghiasi wajahnya yang manis itu membuatnya lebih terlihat dewasa.

Haruka mengalihkan pandangannya ke arah stand rotinya sendiri. Ia masih melihat Shouta yang sibuk memanggang dan melayani tamu-tamu yang mengantre untuk mengambil rotinya.

Akhirnya gadis itu juga ikut berjalan menghampiri standnya untuk membantu Shouta. "Istirahatlah, kau bisa mengajak gadis-gadis disini menari."

Shouta menoleh ke arahnya lalu tertawa, "Tidak, roti-roti ini adalah gadis-gadisku."

Haruka menggelengkan kepalanya sambil tertawa geli. Gadis itu memasukkan adonan cupcake ke dalam oven lalu terkejut ketika berbalik melihat standnya.

"Shouta, kau memanggang ini?" katanya ketika melihat cupcake-cupcake yang bertuliskan 'Zutto issho ni itai'.

Shouta mengerutkan kening lalu menggeleng, "Tidak."

Haruka merengut menatap cupcake-cupcake di depannya. Seingatnya Aoi maupun Takumi tidak memintanya membuat yang seperti ini.

"Mungkin milik salah satu tamu," kata Shouta tidak ambil pusing.

"Yah. Akan aku letakkan—"
"Itu milikmu."

Haruka tersentak mendengar seseorang yang bicara tepat di depan standnya.

Jantungnya berdetak keras, ia kenal...ia kenal suara ini.

Perlahan, gadis itu membalikkan tubuhnya. Sambil memejamkan mata karena takut
harapannya sirna lagi. Ia sudah terlalu lama menunggu sehingga mungkin indranya sudah terlalu peka dan menganggap semuanya tertuju pada orang itu.

Ia tidak mau berharap lebih lagi.

Haruka membuka matanya dengan gerakan lambat. Hal pertama yang dilihatnya adalah tuksedo abu-abu dan dasi berwarna senada. Takut-takut gadis itu mengangkat kepalanya.

Sungguh, jika ini hari terakhirku di dunia...

"...Sora?"

tidak apa-apa karena aku sudah bertemu dengannya.

Laki-laki di depannya tersenyum hangat, "Aku pulang."

Bibir Haruka bergetar, tidak terasa air mata meleleh jatuh mengenai tangannya. Berulang kali gadis itu memejamkan mata kemudian mengerjap-ngerjapkannya. Takut
bayangan Sora tadi hanyalah khayalannya saja. Tapi...

"Aku pulang, Haruka."

Sora masih di sana. Bertahan dengan senyumannya. Wajah tirusnya. Hidung mancungnya. Dan kumis tipis yang tumbuh karena kedewasaannya.

"Kenapa...lama sekali?" kata Haruka pelan dan terbata-bata. Kakinya masih tidak mau bergerak. Ia masih tidak bisa mempercayai bahwa Sora benar-benar ada di depannya.

Senyuman Sora semakin lembut, ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. "Sudah lama menungguku?"

Haruka langsung keluar dari standnya lalu berlari memeluk laki-laki itu. Air matanya hanya semakin deras saja begitu ia dapat menghirup kembali aroma yang ia rindukan, semuanya. Semuanya tentang Sora. "Kau masih hidup. Kau masih hidup!"

Sora membalas pelukan Haruka sama eratnya dengan yang dilakukan gadis itu.

Laki-laki itu menyelipkan jari-jarinya di rambut Haruka yang diikat dengan tusukan rambut khas Jepang, lalu mengusapnya lembut. "Haruka—"

"Dakishimetai. Daisuki dayo, Sora." seru Haruka di dalam dekapan Sora. Ia langsung mengucapkan hal itu karena takut tidak bisa mengatakannya lagi.

Takut ia harus bangun dari mimpi indahnya tanpa bisa melepaskan beban yang ia pikul selama ini. "Jangan pergi lagi."

Sora tersenyum sambil membenamkan wajahnya pada rambut gadis itu, "Hai. Aku janji."

"Wah, ucapkan selamat untuk kedua teman kami. Sora dan Haruka!" tiba-tiba suara Takumi memenuhi seluruh halaman tempat pesta tersebut. Disusul dengan suara tepuk tangan dan siulan hampir dari seluruh tamu undangan.

Haruka menahan geli ketika menengadahkan wajahnya melihat wajah Sora. Masih tidak berubah. Laki-laki itu masih tidak suka menjadi pusat perhatian. Ya, ini memang Sora.

Sora mendengus kesal memandang Takumi dan Aoi yang tengah tersenyum lebar padanya. Pada akhirnya, laki-laki itu memegang sebelah tangan Haruka lalu memandang gadis itu dengan serius. "Bisa bantu aku kabur dari sini?"

"Mm." gumam Haruka lalu menarik tangan Sora untuk ikut dengannya. "Ayo."

Pada akhirnya, langit dan matahari memang tidak bisa dipisahkan. Sejauh apapun matahari pergi, ia akan selalu kembali ke tempatnya. Seperti dirinya dan Sora.

Sejauh apapun mereka menjauhi satu sama lain,
mereka selalu menemukan jalan untuk kembali bersama.

* * *

Reminiscent [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang