BAGIAN 13

904 84 18
                                    

JEBAKAN

'Dia' POV

Griselda sudah gagal bahkan sebelum memulai apapun. Jason juga tak mungkin melanjutkan karena perasaannya terhadap Diandra. Jadi kini aku harus memikirkan langkah lain.

Aku memutuskan untuk memilihnya. Dia satu-satunya yang tak pernah punya hati. Dia satu-satunya yang tak pernah peduli jika harus membunuh.

Aku sedang menunggu kedatangannya!

* * *

Lizzy POV

Lizzyara Armetha

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lizzyara Armetha

Aku masuk ke ruangannya dengan santai. 'Dia' menyambutku dengan senyumannya yang sudah jelas membuatku muak. Senyum yang penuh kepalsuan.

'Dia' bangkit dari kursinya dan mendekat ke arahku.

"Aku sangat merindukan kehadiranmu di tempat ini. Tempat ini terasa hampa sejak kau memutuskan tinggal sendiri," ujarnya.

Aku hanya memutar kedua bola mataku karena merasa semakin muak.

"Katakan saja apa maumu? Kenapa menghubungiku?," kataku tajam.

"Oh..., Lizzy sayang. Kau sangat peka dari siapapun di dunia ini. Bagaimana kau bisa tahu kalau aku punya satu kemauan?."

Aku melepaskan rangkulan tangannya di pundakku dan duduk di sofa dalam ruangan itu. Aku pun membakar rokok di hadapannya tanpa peduli kalau 'dia' tak suka.

"Aku ingin kau menjebak tiga orang penting untukku. Yang pertama adalah Sammy Ananta, dia pelayan di Cafe Sparkle. Yang kedua adalah Kareenina Oktaviani, dia editor utama di sebuah majalah fashion. Yang terakhir, Diandra Bellezia Jackqueline, dia pemilik Bellezia Boutique."

Aku tercekat dan menatap 'dia' dengan tatapan tak percaya. Apa aku tak salah dengar?

"Kau yakin? Bahkan jika aku harus menyakitinya?," tanyaku.

"Ya..., bahkan jika kau harus menyakitinya," jawabnya dengan pasti.

* * *

Cafe Sparkle, pukul 12.32 WIB.

Sammy mengantarkan makanan untuk Kareen dan Diandra yang sudah menunggu sejak tadi. Kedua wanita itu adalah satu-satunya pelanggan yang tak pernah protes jika pesanan mereka terlambat disajikan.

Wajah mereka selalu menunjukkan kebahagiaan saat menghadapi makanan yang tersaji. Sammy duduk di antara mereka hari itu.

"Kalau boleh jujur, gue mau membicarakan sesuatu sama kalian berdua," ujar Sammy.

"Mau ngomong apa Mas? Ngomong aja," balas Diandra, bersemangat.

"Dua hari yang lalu, kalian berdua ke Rumah Sakit dan nggak sengaja lihat Syifa kan?," tanya Sammy.

Uhuuukkk!!!

Kareen tersedak seketika, Sammy pun langsung menyodorkan air minum dan menepuk-nepuk punggungnya.

"Lo kenapa? Kaget karena gue tahu?," Sammy terkekeh.

"Lo kok biasa aja sih Mas? Lo udah berusaha nutupin kenyataan itu dari kita dan kita nggak sengaja tahu. Kok lo nggak marah?," tanya Diandra.

Sammy mengacak rambutnya dengan frustasi. Ia mengeluarkan secarik kertas dari dalam sakunya. Kareen dan Diandra membaca isi kertas tersebut.

"Dokter udah nyerah Dhi, udah terlalu lama Syifa koma. Dokter bilang, kalau memang gue masih mau mempertahankan Syifa, maka gue harus menyetujui operasi lanjutan untuk memperbaiki syaraf yang rusak pada otaknya," jawab Sammy yang terlihat lelah.

"Kapan operasinya?," tanya Kareen.

"Harusnya dua hari lagi Rin, tapi..., gue nggak mampu lagi nyari biaya buat operasi itu. Selama sepuluh tahun ini yang gue bisa hanya mempertahankan kehidupannya melalui mesin-mesin itu. Itupun biayanya udah tinggi banget," jelas Sammy.

"Jadi..., maksud lo gimana?," tanya Diandra lagi.

"Gue nggak akan nyerah buat nyari siapa pelakunya Dhi..., tapi kaya'nya gue harus nyerah untuk mempertahankan hidup Syifa," Sammy berusaha sekali untuk tegar.

Kareen meremas kertas yang ada dalam genggaman tangannya kuat-kuat. Diandra meliriknya sesaat.

"Nggak bisa gitu Mas, lo nggak boleh nyerah atas hidupnya Syifa. Dia berhak dapat keadilan dan berhak melanjutkan hidupnya. Lo nggak adil kalau cuma nggak nyerah buat nyari pelakunya, tapi menyerah atas hidup Syifa!," tegas Kareen.

Diandra menggenggam tangan Kareen dan mencoba meredam emosinya. Sammy menatapnya.

"Lo nggak ngerti keadaan gue Rin, gue lelah...," jelas Sammy.

"Gue bakal bantu kalau cuma soal biaya," tawar Diandra.

"Nggak Dhi..., gue nggak mau nyusahin siapapun. Gue nggak mau berpangku tangan," tegas Sammy.

"Oh!!! Kenapa sih cowok di dunia ini cuma mikirin harga dirinya sendiri ketimbang orang lain? Ini masalah nyawa Mas..., dan Syifa itu bagian terpenting dalam hidup lo! Dia akan tetap jadi yang nomor satu sekalipun lo udah nikah dan punya isteri! Jangan egois dong Mas...," Kareen tetap keukeuh.

Sammy tersenyum sesaat.

"Thanks ya Rin, gue tahu apa yang lo katakan itu benar. Tapi lo juga harus ngerti, kalau gue udah benar-benar nggak sanggup," balas Sammy.

* * *

Sammy pulang dari tempatnya bekerja malam itu dengan perasaan yang sangat gamang. Di satu sisi, ia menginginkan adiknya hidup kembali, namun di sisi lain kenyataan yang ia hadapi terlalu berat dan membuatnya lelah.

Ia berjalan pelan menuju ke Rumah Sakit untuk menandatangani Surat Persetujuan Pencabutan Alat Bantu Hidup yang disarankan oleh Dokter, apabila dirinya tak bisa membayar biaya operasi lanjutan untuk Syifa.

Semakin dekat jarak yang ia tempuh ke Rumah Sakit, semakin berat langkah kakinya untuk berpijak.

Airmata yang berusaha ia tahan selama sepuluh tahun ini akhirnya tumpah ruah di wajahnya. Ada yang terasa sakit di hatinya ketika menghadapi kenyataan bahwa dirinya tak mampu mempertahankan nyawa adik satu-satunya yang ia miliki.

Kareen benar, bahwa dirinya terlalu egois karena tak berjuang lebih keras untuk mempertahankan Syifa. Kareen juga benar bahwa Syifa adalah orang nomor satu dalam hidupnya sekalipun dirinya suatu hari nanti menikah dengan seseorang.

Kareen benar!

Namun Sammy masih saja merasa tak mampu untuk mempertahankannya. Langkahnya tak terhenti. Bahkan Kareen ataupun Diandra tak mampu menghentikannya.

Hingga orang lain lah menghentikan langkahnya.

"Maaf, anda Sammy Ananta ya?," tanya wanita itu.

"Ya, benar. Saya Sammy Ananta. Ada apa?," tanya Sammy.

Wanita itu menyodorkan sebuah undangan berwarna hijau pada Sammy.

"Itu undangan reuni dari SMP Wijaya, untuk anda," jawab wanita itu.

"Reuni? Kok mendadak? Kamu siapa? Bukannya kalau reuni itu harusnya diberitakan oleh . . . ."

BUGH!!!

Satu pukulan telak di belakang kepala membuat Sammy jatuh tersungkur di tanah. Wanita itu tersenyum jahat dalam kegelapan.

"Pria ini terlalu pintar," ujar Lizzy pada dirinya sendiri.

* * *

My ROOMATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang