LMBYRW 1

3K 117 10
                                    

#repost #rombak #rombak :)

.
.
.

Aku menangis tersedu-sedu, kemudian berlari ke kamarku. Aku sedih sekali. Ibu sungguh keterlaluan. Selama ini aku sabar saja dikatai perawan tua, didesak menikah dan semacamnya. Tapi kali ini, kenapa ibu tega mau menikahkanku dengan seorang kakek berumur delapan puluh tahun? Aku tidak bisa, sungguh. Aku ingin mengatakan padanya, aku masih ingin menikmati masa-masa usia awal tiga puluhanku, tapi ibu tidak pernah mau menerima perkataanku. Ayah bahkan tidak berkata apa-apa saat ibu dengan bangganya mengatakan maksud kehadiran kakek tua itu ke rumah.

Sudah entah berapa lembar tissu kubuang setelah kugunakan untuk mengusap air mataku yang tak kunjung berhenti. Membayangkan akan tinggal satu rumah dengan kakek itu saja aku sudah tidak sanggup. Jika kukatakan ingin mati saja, itu artinya aku menyia-nyiakan waktu yang diamanahkan kepadaku. Entahlah, aku terlalu lelah memikirkan ini semua. Apakah dosaku terlalu berat hanya karena belum menikah pada usia tiga puluh satu tahun?

Aku sangat menyayangi ibu. Ibu sudah berperan menggantikan ibu kandungku yang telah meninggal sejak umurku lima tahun. Ibu begitu peduli padaku, apalagi semenjak mengetahui dirinya tidak juga dikaruniai keturunan hingga mencapai usianya yang sekarang. Aku sudah benar-benar menjadi anak baginya.

"Reina!"

Tak kuhiraukan panggilan ibu. Kekesalanku membuatku jadi anak pembangkang sekarang. Sisi lain diriku menyuruhku minta maaf pada ibu, tapi yang lain menyuruhku mengabaikannya. Ingatanku akan ibu yang tidak mau mendengar perkataanku membuatku semakin kesal.

"Reina, buka pintunya! Reina!"

Cukup lama aku berpikir hingga akhirnya sadar. Seorang anak tidak boleh melawan pada orang yang sudah merawatnya dari kecil. Segera kuusap air mataku dengan tergesa-gesa, lalu kubuka pintu untuk menghadap ibu.

"Reina! Kamu ini buat malu saja, ya! Harusnya kan tidak perlu nangis-nangisan begini!" Ibu langsung memarahiku. Ibu menghela napas, lalu melanjutkan, "Temui Pak Syarif di ruang tamu. Dia mau nego sama kamu."

"Nego apa, bu? Tolonglah, bu, Reina gak mau menikah sama kakek tua itu."

Ibu menggeleng-geleng mendengar bujukanku. "Dia pak Syarif, Reina! Jangan kamu panggil dia seperti itu di depannya. Cepat kamu temui dia sekarang, kalau tidak mau bertemu, kamu akan dinikahkan sama dia!"

Seketika mataku melebar takjub mendengar perkataan ibu. '... kalau tidak mau bertemu, kamu akan dinikahkan sama dia!', pernyataan itu sepertinya mempunyai arti bagus bagiku yang sedang kalut ini. Rasa lega seketika menjalar di setiap pembuluh darahku. Sambil menahan senyum, aku melenggang ke ruang tamu.

Di ruang tamu, kakek atau yang inginnya disapa pak Syarif, sedang berbincang dengan ayah. Teringat pada apa yang dikatakan ibu sebelumnya bahwa kakek ini akan menikahiku membuatku bergidik ngeri. Tapi, barusan tadi ibu bilang dia tidak akan menikahiku kalau aku menemuinya. Sekarang aku bisa happy.

Pak Syarif terkekeh saat melihatku. Aku jadi serba salah dalam bersikap. Sementara itu ayah masih diam saja.

"Sudahlah, Cah Ayu, saya sadar kok, mana ada gadis muda sepertimu yang bersedia dinikahi duda tua seperti saya. Hahaha..." kekehnya.

Suasana hening sesaat sebelum ibu menjawab dengan lantang, "Reina bukan gadis muda lagi, Pak Syarif. Umurnya sudah tiga puluh satu, tapi calon saja tidak pernah ada."

Ayah terbatuk-batuk mendengar omongan ibu. Ibu buru-buru memberinya minuman yang tersedia di atas meja.

Aku sudah biasa mendengar omongan ibu yang terkesan jelas tidak suka dengan status single menahunku ini. Jadi aku tetap berdiri kaku, tak memberikan reaksi apa-apa. Pak Syarif sendiri malah tersenyum sambil memandangiku. Salah satu hal yang tidak kusukai: dipandangi oleh laki-laki. Pandangannya tentu bukan pandangan biasa yang wajar, dia seperti ingin menerkamku. Dari sini aku dapat menilai, pak Syarif ini tipe kakek-kakek genit. Pakaiannya saja seperti anak muda, dengan rambut diberi pomade dan dibentuk asal-asalan, dan parfum dengan entah berapa kali semprotan hingga aromanya sangat menyengat.

"Ah, Reina kan belum punya calon dan dia tidak mau sama saya, bagaimana kalau sama cucu saya? Fisiknya sebelas dua belas kok sama saya," kata pak Syarif dengan santai, padahal aku agak mual mendengarnya. Kakeknya saja seperti ini, cucunya tentu lebih parah. Sudah terbayang semuanya.

Ibu mencolek bahuku dengan keras, aku sampai meringis tertahan. "Mau, kan?" bisiknya.

Aku, antara takut dan bingung. Bukannya apa-apa, kalau mau menikah kan harus melihat calonnya dulu.

"Bagaimana, Cah Ayu?" tanya pak Syarif.

Kuberanikan diri balik bertanya, "Cucu kak-ehm, bapak, orangnya seperti apa?"

Ibu menginjak kakiku.

"Oh, hahahaha. Kamu gak percaya kalau cucu saya mirip saya? Nih, saya ada fotonya." Sambil cengengesan tidak jelas, pak Syarif mengeluarkan smartphonenya, mencolek-colek layarnya beberapa saat, lalu menyerahkannya padaku. Dalam hati aku mengagumi kelihaian pak Syarif dalam hal menggunakan smartphone. Sepertinya memang benar kata orang, age is just a number. Tetap saja, hal itu tidak mengubah pendirianku hingga lantas aku mau menerima tawaran pak Syarif. Huh.

Sedikit ragu, kuterima smartphone berukuran layar 5,5 inci itu. Tampak foto close up seorang lelaki muda. Kupandangi lama wajah kebarat-baratan yang terpampang di situ. Entah mengapa sepertinya aku tidak asing dengan wajah ini. Kucoba mengingat di mana aku pernah melihat wajah cucu pak Syarif ini.

"Kesengsem, ya? Lama sekali melihatnya," tegur pak Syarif yang membuatku spontan melemparkan smartphone itu ke arahnya. Untungnya smartphone itu dapat dengan tepat ditangkapnya. Tapi aku tetap mendapat cubitan ibu di lengan kananku, lengkap dengan pelototannya.

"Namanya Handoko Legi Syaputro, seorang pengusaha. Butik Dwi Purnama, Restoran Yummy Seafood, dan radio Big FM, semua itu miliknya, hehehe," jelas pak Syarif terkekeh-kekeh.

Tunggu dulu, radio Big FM....

Big FM... itu kan....

"Big FM?!" jeritku bersamaan dengan ibu. Luar biasa, penjelasan sekilas tentang cucu Pak Syarif bisa membuatku dan ibu kaget.

"Berarti dia mantan bosmu, Rei?" tanya ibu, masih kaget.

"Pantas, Bu, sewaktu Reina lihat foto itu Reina merasa gak asing dengan wajahnya," akuku sambil mengingat-ingat wajah bos saat aku masih bekerja sebagai penyiar di Big FM delapan tahun lalu. Ketika itu aku memang hanya pernah bertemu muka dengan pak Handoko Legi Syaputro atau yang biasa disapa pak Han beberapa kali, karena itu aku tidak terlalu mengingatnya.

Seketika memoriku memutar ulang ingatan mengenai pak Han. Dari cerita-cerita atau sebut saja gosip para karyawan, pak Han itu sosok yang sangat professional. Dia tidak pernah mau menggoda gadis-gadis kenalannya atau tertawa lebar bersama para karyawannya. Bahkan banyak yang bilang dia sebenarnya gay.

Tiba-tiba kepalaku terasa berat. Pak Han itu gay! Jadi pak Syarif mau menjodohkanku dengan cucunya yang gay itu?!

*bersambung...*

L.A.

Let Me Be Your Real Wife [Repost, Rewrite]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang