LMBYRW 22

300 26 4
                                    


Seorang gadis muda tampak mengintip-intip rumah Budi Pengkhianat. Dia membawa serta sebuah tas jinjing besar di tangan kanan. Ada tas yang agak kecil namun padat di tangan kirinya, sementara di punggungnya dia menggendong ransel. Aku, Han, dan Tayo berdiri di belakangnya. Sama-sama menaruh curiga. Eh, tidak juga sih. Tayo terlihat santai di gendongan Han. Mulutnya mengunyah tempura, sikapnya tenang luar biasa.

"Permisi, Dik," tegurku. "Adik ini lagi ngapain, ya?"

Gadis itu terlonjak mendapati kehadiran kami di halaman rumah Budi Pengkhianat. Sepertinya dia tidak menyadari kami memperhatikan gerak-geriknya sejak tadi. "Maaf, Mbak, saya ART baru di rumah ini," jelas gadis itu sambil memamerkan sebuah surat kepadaku. Semacam surat perjanjian. Membuatku menghela napas setengah lega. "Tadi saya nelpon mbak April, pemilik rumah ini. Katanya datang aja ke rumahnya. Tapi pas saya nyampe, rumah ini kayaknya nggak ada orang."

Aku saling berpandangan dengan Han. Kemudian mengangguk. "Pemilik rumah ini sebentar lagi pulang, kok," tuturku kemudian. "Kamu mau mampir dulu ke rumah kami? Duduk dulu, ngeteh sambil nunggu April pulang. Mungkin kamu capek."

Gadis itu tampak ragu menanggapiku. Mulutnya terbuka dan mengatup seperti ikan-ikan milik Han di akuarium raksasanya. Ikan-ikan yang kuanggap sebagai komplotan selingkuhan baru Han di rumah kami. Tinggal menunggu waktu saja hingga mereka cukup umur untuk berenang di penggorenganku.

"Rumah kami persis di depan rumah ini," terangku sambil menunjuk rumah kami yang gelap karena sebelum pergi makan sore tadi antara aku dan Han sama-sama lupa menyalakan lampu beranda. "Ayo, Dik."

"Maaf merepotkan, Mbak."

"Nama kamu siapa?" Aku menuangkan teh hangat ke gelas yang telah kutadahkan di atas meja, menyilakan gadis itu untuk menyendokkan gulanya sendiri. Begitu masuk ke rumah kami tadi, aku segera menyuruhnya duduk dan membiarkannya meregangkan tangan dari barang-barang bawaannya yang terlihat berat sekali.

Han tidak ikut masuk ke dalam. Dia bilang dia mau menemani Tayo menunggui orang tuanya pulang. Padahal dari balik jendela juga bisa diintip apakah mereka sudah pulang atau belum. Tapi ya sudahlah terserah dia saja.

"Nama saya Desi, Mbak."

Aku tersenyum kepada Desi. Kuharap senyumanku yang tidak seberapa ini bisa membuatnya merasa nyaman. Karena yang dapat kuperhatikan darinya hanyalah sikap polos dan gerak-gerik awkward. "Saya Reina," balasku. "Sebelumnya kamu kerja di mana?"

Desi mengaduk-aduk tehnya dengan gerakan kaku. "Ini pertama kalinya saya kerja, Mbak," jelasnya kemudian. "Saya baru tamat SMA. Kebetulan yang kerja di penyalur ART ini temannya paman saya. Katanya gajinya lumayan, jadi saya mau."

"Oh, gitu." Aku mengangguk. Dalam hati kebingungan soal apa yang harus kubicarakan dengannya selanjutnya. Aku tidak terlalu mahir berbasa-basi. Malahan aku suka kesal pada segala bentuk hal-hal basi. Apa aku boleh bertanya berapa tinggi badannya setelah ini? Atau shampo yang dipakainya? Bagaimana dengan nomor sepatunya? Tapi untuk apa?

Berpikir, berpikir, berpikir.

Ternyata susah juga duduk bersama orang pendiam dan pemalu tanpa ada kehadiran orang ketiga. Baiklah, ini memang hanya perspektif awalku saja. Tapi gadis bernama Desi ini memang jelas sekali terlihat pendiam dan pemalu. Bayangan Beautiful tiba-tiba muncul di kepalaku. Seandainya anak cerewet itu ada di sini, dia pasti mampu mencairkan suasana dan membahas apa saja dengan Desi.

"Berarti umur kamu berapa?"

"Delapan belas, Mbak."

Padahal aku tahu kalau perempuan paling tidak suka ditanyai umur. Meskipun itu hanyalah pernyataan subjektif, tapi kenyataannya perempuan-perempuan di sekitarku banyak yang begitu. Kalau aku sih tidak masalah.

Let Me Be Your Real Wife [Repost, Rewrite]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang