LMBYRW 21

342 21 8
                                    

"Gimana, Rei? Kamu udah dapetin hati suamimu?"

Delia berbisik sambil menaikturunkan alisnya saat aku masuk ke toilet berbarengan dengannya. Di depan pintu toilet ada seorang petugas cleaning service yang sedang mengepel. Mungkin itu yang menyebabkan Delia berhati-hati dalam bertanya mengenai kehidupan rumah tanggaku.

Aku tak berniat menjawab. Bingung. Aku dan Han baik-baik saja, tapi hubungan kami lebih cocok disebut sebagai hubungan teman satu rumah. Karena ya memang seperti itu kenyataannya. Hubungan kami masih jauh dari kata romantis, tidak bisa dibandingkan dengan pasangan-pasangan normal lain yang menikah karena cinta. Jadi aku belum bisa mengatakan kalau aku sudah mendapatkan hatinya. Meskipun... meskipun... duh, aku tidak bisa menahan senyum kalau mengingat ini. Kemarin malam aku dan Han berciuman... untuk yang pertama kali. Tidak mungkin aku bilang-bilang pada Delia. Tidak penting sekali bagi orang lain untuk tahu. Itu kan rahasia pasangan... ah, aku malu. Aku jadi terbayang-bayang lagi. Aaaah!

Diam-diam aku memegangi bibirku sambil bercermin. Ada yang berubah tidak, ya? Ya ampun, bibirku sudah tidak perawan. Hatiku tertawa-tawa mendadak gila.

"Ah, kayaknya udah, ya?" Delia masuk ke bilik toilet. Aku lanjut mencuci muka sambil sesekali (masih) meraba bibir. "Kelihatan sih," sambung Delia, "aku bisa lihat pancaran penuh cinta dari cara kalian bertatapan waktu itu, yang malam-malam kita ditraktir pak Bos di restoran langganannya."

"Eh? Bukannya waktu itu kamu duduknya membelakangi aku, ya? Gimana kamu bisa tahu cara kami menatap?" tanyaku bingung. Rasanya caraku dan Han biasa saja dalam bertatapan. Apa orang lain melihatnya berbeda? Terkadang Delia suka membual, mengada-ngada, ya, agar ada bahan perbincangan. Jadi agak sulit mempercayai omongannya.

Tak ada jawaban dari Delia sampai dia keluar dari bilik toilet dan berdiri di sebelahku, mencuci tangannya. "Aku punya mata batin, Rei. Aku bisa melihat semua itu," jelas Delia sok dukun. Aku mendengus mendengar perkataannya. Dia memang asal bicara. Dia lalu tersenyum lembut setengah mesum ke arahku melalui pantulan cermin di depan kami. "Ngomong-ngomong, Rei, kamu udah isi belum?"

Aku melotot sangar pada Delia. Berani-beraninya dia memberi pertanyaan haram itu. Dia tega sekali pada pengantin baru seperti aku. Seandainya tidur sekamar bisa bikin hamil, aku bisa-bisa saja menjawab 'lagi proses pembuahan'. Tapi faktanya berbeda. Tanganku sudah terangkat bersiap menjambak rambutnya, tapi Delia lebih dulu menyela, "Ya, siapa tau... kalian lancar. Walaupun kalian belum sebulan menikah, bisa aja kan ngegas terus." Delia tersenyum penuh maksud padaku.

Aku masih melotot pada Delia, memprotes ucapan asalnya itu. Untungnya di sini hanya ada kami berdua. "Udah ah, Del. Apaan bicarain kayak gitu!" sungutku ketus lalu melangkah ke luar kamar mandi. Delia tersenyum santai sambil mengikutiku dari belakang.

"Ya pembicaraan semacam itu kan biasa, Rei. Kita kan sama-sama udah punya suami."

"Pembicaraan macam apa?! Kamu bicara nggak penting! Pertanyaanmu juga, jangan tanya-tanya soal isi dulu deh, Del."

Delia melemparkan kotak tissunya padaku begitu kami tiba di ruangan. Ibu yang satu ini, hobi sekali melempar-lempar. "Kamu sok polos ih, Rei," cibirnya.

Aku duduk cemberut di kursiku, mengabaikan Delia dan keusilannya. Aku jadi sensi, bad mood, karena topik yang disinggung Delia di toilet tadi. Dia... seandainya dia tahu....

"Reina, itu tadi ada telepon dari satpam. Katanya ada kiriman makan siang buat kamu," kata Sarah dari balik layar komputernya.

Aku terperangah mendengar apa yang dikatakan Sarah barusan. Makan siang? Aku selalu makan siang berlangganan dari catering kantor. Tentu mengherankan sekali kalau bisa mendapat kiriman makan siang. Apa aku menang undian dari belanja online? Atau aku punya fans tersembunyi? Mustahil.

Let Me Be Your Real Wife [Repost, Rewrite]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang