LMBYRW 4

1.6K 81 7
                                    

Tanpa terasa waktu istirahat telah tiba. Hari ini kantor terasa membosankan. Tragedi pertemuanku dengan Beautiful yang mempunyai dua sosok telah membuang habis banyak energiku. Setelah mendapat penjelasan dari om Daud-pria sangar yang merupakan sopir pribadi keluarga pak Syarif-barulah aku paham kalau Beautiful itu kembar. Kembaran Beautiful bernama Pretty. Bahkan nama kembarannya juga sama-sama tidak wajar. Pretty terus memotretku tadi hingga aku masuk ke kantor, membuatku ingin menangis saat itu juga setelah menyimpulkan apa yang akan terjadi selanjutnya begitu aku mengenal lebih banyak lagi keluarga pak Syarif. Hidupku tidak akan tenang.

Delia, rekan satu ruanganku, menghampiriku yang sedang melamun di pojok kantin kantor. "Kenapa mukamu mengkerut begini, Rei?" tanyanya.

"Lagi pusing, nih," jawabku datar. Entahlah, rasanya aku malas untuk bicara sekarang.

"Jangan pusing-pusing kenapa, sih." Delia senyum-senyum. "Belum punya anak kok udah pusing-pusing. Pusing mikirin jodoh, ya?"

Kata orang, kalau punya masalah dan diceritakan pada orang terpercaya, maka beban kita akan terasa berkurang. Namun aku tidak bisa, aku tidak ingin banyak orang tahu masalah tidak jelasku ini. Belum. Ya, kupikir ini belum waktunya. Bukan berarti aku tidak percaya pada Delia atau teman-temanku yang lain, hanya saja aku masih terkejut dan belum terbiasa dengan masalah seperti ini.

"Makanya, Rei, cepat punya suami. Jadi ada tempat berbagi kalau ada masalah."

Delia tidak tahu, yang bakal jadi suami yang tak kuinginkan inilah penyebab masalahnya.

Suara dering smartphoneku menginterupsi Delia yang tampak ingin melanjutkan perkataannya. Aku segera meraih smartphone putih dekil yang kuletakkan di atas meja di hadapanku, kemudian menatap layarnya sejenak. Beberapa digit nomor tertera di sana. Sambil mengerutkan kening karena melihat nomor asing, kuangkat panggilan itu.

"Halo."

"Halo. Reina, jam berapa kamu pulang hari ini?" Suara berat seorang lelaki menyahut, terdengar familiar bagiku. Aku menatap layar handphoneku lagi, meyakinkan diri kalau yang menelponku ini bukan orang yang menjadi masalahku. Tapi yang kulihat masihlah nomor tak dikenal.

"Reina!" serunya. Terkesan tak sabar karena aku masih belum menjawab pertanyaannya. "Reina! Di mana kamu?!"

Delia terus memperhatikanku, membuatku salah tingkah. Pilihanku hanya dua, mematikan panggilan itu dan menjelaskan pada Delia kalau yang tadi itu adalah panggilan salah sambung, atau meladeni si penelepon dan bersikap cuek kalau Delia ingin tahu.

"Reina!"

"Iya!" Spontanitasku lebih cepat bekerja daripada pikiranku. Aku menghela napas kesal. "Siapa ini?" tanyaku ogah-ogahan.

"Saya calon suami kamu. Jam berapa kamu pulang?" tanyanya.

Aku ingin sekali mendatanginya saat ini juga dan menantangnya. Sudah dibilang berulang kali, aku tidak mau menikah dengannya. Kenapa dia mengaku-ngaku sebagai calon suamiku segala? "Maaf, salah sambung," jawabku ketus.

Aku sudah bersiap untuk memutuskan sambungan panggilan dari pak Han, tapi dia lebih cepat menginterupsi, "Reina, jangan kamu matikan dulu. Saya bertanya baik-baik."

Bagaimana dia bisa tahu kalau aku mau mematikan panggilannya? Apa dia memasang sesuatu di smartphoneku? Aku menahan diri untuk tidak langsung memeriksa keadaan smartphoneku.

"Memangnya Anda mau apa tanya-tanya jadwal saya?"

"Kita harus fitting baju pengantin dan belanja."

Aku otomatis bangkit dari kursi setelah mendengar jawaban pak Han. Aku bertanya lantang, "Untuk apa?!"

"Untuk pernikahan kita." Lagi-lagi pak Han menjawab enteng. Hal itu membuatku semakin kesal bercampur bingung. Masih kudengarkan suaranya sambil mondar-mandir. "Jadi, jam berapa kamu pulang?"

Let Me Be Your Real Wife [Repost, Rewrite]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang